Jangan Ada Lagi Tumbal Nyawa saat Pilkada, Kolom ditulis oleh Mohammad Nurfatoni, Pemimpin Redaksi PWMU.CO.
PWMU.CO – Kehidupan harus dijaga dan diselamatkan, karena nilainya tak terkira. Harta dan tahta pun tidak bisa menggantikannya. Maka sangat ironis jika demi harta dan atau tahta, nyawa dikorbankan.
Padahal seharusnya harta dan tahta digunakan untuk menyelamatkan jiwa. Seperti dalam kejadian yang sangat dramatis tentang penyelamatan nyawa pada tahun 2010. Saat itu terjadi peristiwa kecelakaan pertambangan San Jose de Capiapo, Chili. Sebanyak 33 penambang “terkubur” sedalam 700 meter di perut bumi.
Strategi, tenaga, dan dana–mencapai US$ 20 juta, dikerahkan untuk penyelamatan itu. Tak kurang 130 tim diterjunkan. Menteri Pertambangan Laurence Golborne dan Presiden Chili Sebastian Pinera, berkali-kali ikut turun ke lokasi.
Medan yang dalam dan sulit ditembus, mengharuskan berbagai strategi dirancang. Gagal plan A, berganti plan B, lalu dipakai plan C, dicoba lagi plan B. Akhirnya, 33 nyawa yang terkubur reruntuhan sejak 5 Agustus “baru” bisa diselamatkan seluruhnya pada 13 Oktober. Ya, perlu waktu 69 hari. Tanpa putus asa, karena ada 33 nyawa. Lebih dari itu ada ratusan kerabat yang berharap keselamatan 33 nyawa itu.
Bukan hanya itu, ratusan juta warga dunia pun ikut larut. Tercekam lebih 3 bulan tetapi akhirnya plong, menangis haru, dan bersyukur; saat satu per satu para pekerja tambang itu muncul ke permukaan dengan kapsul penyelamatan.
Pentingnya Nyawa Seekor Semut
Nyawa 33 manusia memang sangat bernilai. Karena itu, penting untuk diselamatkan. Ini soal jiwa, soal kemanusiaan. Tapi mari kita selami juga kisah nyata yang saya kutip dari buku Slilit Sang Kiai, karya Emha Ainun Nadjib (Pustaka Utama Grafiti, 1991, h 6).
Terlalu asyik ber-gugur gunung bersama penduduk memperbaiki jembatan, Kiai Muhammad, tampaknya, lupa untuk segera bersalat lohor. Ketika sadar, bergegas ia pergi ke mesjid. Asar sudah menjelang. Ia sudah pergi ke sumur. Ketika tengah memegang tali timba, tampak olehnya seekor semut terkatung-katung di permukaan air.
Kiai Muhammad menahan tangannya. Amat perlahan ia mencoba menggeser letak timba agar mendekati semut. Ia melakukannya dengan hati-hati, sebab ia akan dihinggapi rasa dosa kalau kerena kegagalannya menolong, sang semut akan lenyap di sumur.
Alhamdulillah, ia berhasil. Semut itu telah berada di air dalam timba. Tetapi begitu Kiai Muhammad hendak menggerakkan tangannya untuk menaikkan timba, terdengar suara azan dari corong mesjid.
Kiai Muhammad menarik napas panjang. Lebih besar manakah dosa tak salat lohor dibanding dengan “jasa”menyelamatkan seekor semut? Kiai Muhammad menaikkan timba. Dan sesudah meletakkan kembali tubuh semut di tanah, ia berwudu dan berangkat salat. “Allah hukumlah kelalaianku sehingga kehilangan waktu lohor yang Kau anugerahkan,” ia berkata dalam doanya. “Adapun mengenai semut itu, serta segala hal yang mungkin baik yang pernah kukerjakan, rasanya belum pantas untuk kujadikan alasan memohon pahala dari-Mu….”
Jangan Undang Kematian
Masih segar dalam ingatan kita tentang Pemilu 2019. Saat itu ratusan nyawa melayang. Mereka adalah anggota KPPS, yang gugur ketika mengemban amanah menyelengarakan pesta demokrasi: memilih presiden dan wakil presiden, serta anggota DPR(D) dan DPD.
Bertugas hingga dini hari membuat mereka lelah. Lalu tewas. Menurut Ketua KPU Arief Budiman, seperti dikuti kompas.com, saat itu total ada 894 petugas yang meninggal dunia dan 5.175 petugas mengalami sakit.
Permintaan investigasi atas kematian yang hampir serentak itu tak direspon. Kecurigaan sejumlah pihak bahwa ada “sesuatu” di balik kematian itu tak pernah diusut. Berlalu begitu saja hingga kini. Seperti ratusan nyawa itu tak punya nilai.
Di tengah ingatan itu, kini publik kembali dibuat was-was akan terulang terjadinya (potensi) kematian bila digelar pemilihan kepada daerah (pilkada) serentak tahun 2020. Bahkan kali ini lebih gawat. Sebab ada pandemi Covid-19 yang mengintai.
Menurut kompas.id total per Selasa (22/9/2020) ada 252.923 warga Indonesia yang terinfeksi positif Covid-19. Dengan rincian: dirawat 58.788; meninggal 9837, dan sembuh 184.298.
Menjelang digelarnya tahapan Pilkada 2020, terjadi kenaikan kasus positif Covid-19. Sekarang perhari sekitar 4000 kasus. Karena itu sejumlah pihak, termasuk Muhammadiyah dan NU, menyarankan agar Pilkada yang dijadwalkan 9 Desember 2020 itu ditunda sampai keadaan memungkinkan. Tujuannya, agar tidak semakin banyak jatuh korban.
Permintaan penundaan itu sangar wajar. Sebab Pilkada 2020 ini dilakukan serentak dan akan menimbulkan kerumunan. Padahal kerumuman adalah salah satu yang harus dihindari dalam memutus rantai penyebaran virus SARS CoV-2 penyebab Covid-19.
Pada Pilkada 2020 ada 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota yang mengikutinya. Setidaknya ada 738 bakal pasangan calon atau setara dengan 1.476 orang yang telah mendaftar di KPU (data 7 September 2020). Belum lagi ditambah dengan calon perorangan dan tim sukses tiap bakal calon.
Data lain menunjukan Pilkada 2020 akan melibatkan 109 juta pemilih (data Juli 2020). Ada 304.927 tempat pemungutan suara (TPS) dengan jumlah ketua dan anggota KPPS sebanyak 2,1 juta orang. Sementara pengawas pemilu ad hoc di tingkar TPS sebanyak 304.927 orang. Belum ditambah dengan saksi dari tiap calon peserta plkada (Kompas, 23/9/2020). Betapa banyak yang akan terlibat dalam Pilkada 2020. Tentu ini sangat membahayakan di tengah Pandemi Covid-19.
Sebenarnya jadwal 9 Desember 2020 itu sudah merupakan penundaan jadwal semula September 2020. Dengan asumsi akhir tahun 2020 pandemi Covid-19 sudah berlalu—setidaknya grafknya melandai. Tapi seperti data di atas, grafiknya justru menaik.
Bukan hanya soal itu. Protokol kesehatan yang dijanjikan akan dipatuhi dalam tahapan Pilkada 2020 ternyata hanya macan kertas. Dalam pendaftaran calon, ratusan orang menumpuk mengantarkan jagonya mendaftar ke KPUD. Tampak tak ada lagi jarak (physical distancing) dan masker pun tak digunakan sebagaimana mestinya.
Mulai Jatuh Korban
Yang lebih memprihatinkan lagi, sejumlah penyelenggara dan peserta pilkada telah terinfeksi Covid-19, termasuk Ketua KPU Arif Budiman serta anggotanya Pramono Ubaid Tanthowi dan Evi Novida. Juga anggota Badan Pengawas Pemlu Ratna Dewi Pettalolo. Belum lagi anggota KPU dan Bawaslu daerah yang terpapar Covid-19.
Sementara itu per 14 September 2020 sudah terdata 60 calon kepala daerah yang terpapar penyakit mematikan itu. Bahkan satu orang bakal calon petahana, Bupati Berau Kalimantan Timur H Muharam telah meninggal dunia akibat serangan Covid-19, Selasa (23/9/2020).
Apakah data-data di atas dianggap pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu sekadar angka-angka? Tak ada lagi rasa “kemanusiaan” lagi dengan dalih demi memenuhi hak konstitusional rakyat untuk memilih dan dipilih?
Kehidupan itu harus dirawat. Termasuk keselamatan rakyat di tengah pandemi Covid-19. Harga nyawa tak boleh dikalahkan oleh perebutan tahta.
Maka, jika nyawa seekor semut “saja” begitu gigih diselamatkan oleh Kiai Muhammad, mengapa Pilkada 2020 kita biarkan berpotensi mengancam jiwa ribuan nyawa manusia? Masih mereka ngotot pilkada digelar 9 Desember 2020.
Ah, jangan lagi ada tumbal nyawa di tengah perebutan kekuasaan di era demokrasi modern ini! (*)