Gajah Turki, Palestina, dan Jejak Khilafah China. Kolom ditulis Dhimam Abror Djuraid, wartawan senor tinggal di Surabaya.
PWMU.CO – Turki menjadi anggota pakta pertahanan NATO sejak 1950-an dan selalu menjadi kerikil dalam sepatu yang membuat jalan tidak nyaman, seperti duri dalam daging selalu bikin nyeri.
Turki dianggap bagian dari Eropa meskipun posisi geografisnya nanggung antara Asia dan Eropa. Posisinya di Mediterania menjadikan penyambung antara dua benua besar itu.
Ada sikap yang mendua di kalangan orang-orang Eropa. Untuk urusan pertahanan Turki dianggap bagian dari Eropa. Tapi untuk urusan ekonomi sampai sekarang Turki tidak dianggap bagian dari Eropa dan tidak boleh masuk ke organisasi Uni Eropa.
Gajah Turki dianggap terlalu berbahaya kalau berada di luar, tapi merepotkan kalau berada di dalam. Seperti yang dikatakan mantan Presiden Amerika Serikat Lyndon B. Johnson, lebih baik ada di dalam tenda lalu kencing keluar, daripada ada diluar tapi mengencingi tenda. Maka Turki dibiarkan ada di tenda dan kencing keluar.
Yang terjadi kemudian di dalam tenda saling mengencingi. Turki tidak rukun dengan sesama anggota, terutama Prancis yang punya sejarah dan ambisi masa depan di Afrika dan Timur Tengah.
Pasca-Ambruknya Uni Sovyet
Di masa Perang Dingin 1990-an konflik apapun di Timur Tengah, dan seluruh dunia, lebih sederhana pemetaannya yaitu tarik-menarik pengaruh antara Amerika Serikat vs Uni Soviet.
Pasca-ambruknya Uni Soviet 1990 sampai sekarang konflik geopolitik di Timur Tengah menjadi sangat ruwet karena terlalu banyak pemain yang terlibat.
Amerika yang sudah kecapekan masih tetap bergaya raja preman di Timur Tengah. Preman lama Rusia masih tetap punya pengaruh. Lalu muncul jawara-jawara baru seperti Turki, China, Iran, Arab Saudi. Peta politik menjadi benang kusut tak ketahuan mana ujung mana pangkal.
Di antara para jawara baru itu si Gajah Turki yang paling diwaspadai karena berani terang-terangan menentang premanisme Amerika dan Eropa meskipun formalnya mereka sama-sama berada dalam satu tenda.
Turki di bawah kepemimpinan Recep Tayep Erdogan jelas-jelas menunjukkan ambisi geopolitik untuk menantang dominasi Amerika sebagai adidaya tunggal dunia.
Manuver-manuver si Gajah untuk merebut kembali kepemimpinan internasional dengan menghidupkan gagasan kelhilafahan Utsmaniah sangat merepotkan dan menakutkan.
Ibarat sesama bus dilarang saling mendahului. Gaya kepemimpinan Presiden Amerika Donald Trump dengan Erdogan adalah sebelas-dua belas, beti, beda tipis, kalau tidak mau disebut sama.
Kedua-duanya adalah pemimpin populis kanan, nasionalis-chauvinis. Bedanya, Trump membawa bendera khilafah kapitalisme global, Erdogan membawa bendera khilafah Islam.
Karena Trump rada malas berhadap-hadapan dengan Erdogan maka yang banyak muncul di garis depan adalah Emanuel Macron, Presiden Prancis. Tapi Macron adalah petinju kelas bantam dibanding Erdogan yang kelas super-heavyweight.
Erdogan berhasil merebut kembali Haga Sofia dan mengubahnya menjadi masjid. Langkah simbolis ini sangat penting dan strategis. Erdoga mengetes air, dan ternyata air tidak terlalu dalam. Karena itu dengan pede, Erdogan mengumumkan “The next stop is Masjid Al-Aqsa”, membebaskan Jerusalem dan memerdekakan Palestina.
Erdogan berhasil menghidupkan kembali romantisme sejarah kekhilafahan Islam. Para aktivis khilafah Islam–wabil khusus di Indonesia–menasbihkannya sebagai The New Alfatih, menyejajarkan Erdogan dengan Sultan Mehmed II yang dijuluki Alfatif, Sang Pembebas yang berhasil menggulingkan kekuasaan Kristen Konstantinopel dan mengokohkan kekuasaan khilafah Utsmaniah.
Jejak Khilafah di Indonesia: China atau Utsmanyah?
Euforia khilafah menjalar ke Indonesia. Jejak khilafah Utsmaniah disebut-sebut terasa sampai ke Nusantara seperti diungkap dalam dokumenter “Jejak Khilafah” yang kontroversial dan setengah dipaksakan.
Kalau toh ada jejak itu tidak terlalu kuat. Justru Khilafah China yang kehadirannya di Nusantara tidak terbantahkan. Ekspedisi Laksamana Muslim Cheng Ho ke Nusantara pada abad ke-15 terlihat jelas buktinya di Surabaya, Gresik, Tuban, sampai ke Palembang. Kelenteng dan Patung Sam Poo Kong di berbagai kota itu sebagai bukti hadirnya Khilafah China di Nusantara.
Pembebasan Palestina dari Mana?
Tapi aktivis Islam di Indonesia mengabaikan jejak Khilafah China dan memaksakan jejak Khilafah Utsmaniah, karena Turki diharapkan menjadi komandan baru pembebasan Palestina yang akan menandai era baru kebangkitan kembali Islam.
Palestina menjadi core of the core dari semua manuver geopolitik internasional.
Bulan ini Trump berhasil mencetak brace, dua gol dengan menjadi makelar perdamaian Uni Emirat Arab dan Bahrain untuk berdamai dengan Israel.
Sebentar lagi Qatar akan menyusul. Dalam tempo singkat Trump berhasil membuat hattrick cetak tiga gol. Lumayan untuk mengatrol popularitas yang anjlok melawan Joe Biden di Pilpres Amerika 3 November nanti.
Genap 43 tahun yang lalu pada 17 September 1978 Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter menjadi makelar perdamaian Camp David antara Presiden Mesir Anwar Sadat dan Perdana Menteri Israel Menachem Begin.
Tiga tahun berselang, 6 Oktober 1981 dalam parade militer di Kairo untuk memeringati kemenangan Israel dalam perang Yom Kippur, Khalid Islambouly, Atha Thayal, Abdul Hamid Abdus Salam, dan beberapa tentara Mesir yang ikut dalam parade, melemparkan granat ke podium kehormatan dan melepaskan rentetan senjata otomatis menewaskan Anwar Sadar dan tujuh jenderal Mesir. “Saya telah membunuh Firaun,” teriak Khalid Islambouly.
Kali ini strategi yang dipakai berbeda. Palestina akan dikepung dari berbagai arah, seperti strategi desa kepung kota. Palestina akan terperangkap tak berdaya dan dipaksa berdamai dengan Israel. Solusi yang ditawarkan adalah satu negara dua sistem, Israel berkuasa dan Palestina menjadi negara otonom.
Ini konsep yang diajukan Amerika dan didukung konco-konconya termasuk Arab Saudi. Tapi, Turki dan Iran pasti menolak. Rusia dan China akan mendukung Turki dan Iran untuk kepentingan politiknya sendiri.
Lebih dari 70 tahun sejak diproklamasikan menjadi negara boneka bentukan Inggris pada 1948, Israel menjadi episentrum persoalan geopolitik internasional yang tidak pernah selesai.
Yahudi Israel yang mengaku menjadi korban Holocaust Nazi pada Perang Dunia II sekarang melakukan kekejaman yang jauh lebih sadis terhadap bangsa Palestina.
Rezim apartheid Afrika Selatan yang bercokol sejak 1948 akhirnya tumbang pada 1994 berkat perjuangan Nelson Mandela. Penindasan orang kulit putih terhadap pribumi kulit hitam Afrika berakhir setelah 48 tahun.
Penindasan dengan skala yang jauh lebih masif dan laten dilakukan secara sistematis oleh Yahudi Israel terhadap bangsa Palestina selama 70 tahun dan didukung oleh bangsa-bangsa kulit putih Amerika dan Eropa.
Turki dan Iran yang paling istikamah membela Palestina. Lainnya hanya lukewarm, hangat-hangat kuku, sekadar abang-abang lambe, lips service untuk pencitraan internasional.
Posisi Indonesia tarhadap Palestina
Turki dan Iran yang paling istikamah membela Palestina. Lainnya hanya lukewarm, hangat-hangat kuku, sekadar abang-abang lambe, lips service untuk pencitraan internasional.
Posisi Indonesia tarhadap Palestina
Pendukung Jokowi memuji pidato itu dan bahkan ada yang menyebut Jokowi layak menjadi Sekretaris Jenderal PBB.
Sebaliknya, haters Jokowi mengatakan Jokowi tidak paham apa yang dibaca di depan sidang PBB itu. Jangankan memahami kompleksitas masalah Palestina, menghadapi China di perairan Natuna saja Jokowi gak mudeng.
Seperti diungkap Ben Bland dalam “Joko Widodo, Man of Contradiction” (2020), latar belakang Jokowi yang hanya walikota dan pengusaha mebel membuat pemahamannya terhadap masalah internasional sangat minim.
Meski demikian, bangsa Palestina menggantungkan harapan yang besar kepada bangsa Indonesia untuk memerdekakan mereka. Harapan ini lebih didasarkan pertimbangan ekskatologis-ideologis daripada pertimbangan geopolitik riil.
Sampai sekarang lembaga-lembaga swadaya Indonesia paling aktif membantu masyarakat Palestina mulai dari membangun sekolah sampai rumah sakit.
Bangsa Palestina yakin bahwa Indonesia akan menjadi pembebas mereka, bukan negara lain.
Di Indonesia keyakinan ini semakin luas di kalangan aktivis Islam. Banyak bermunculan kajian-kajian akhir zaman oleh ustad-ustad eskatologis yang dipelopori oleh Ustad Rahmat Baequni dan kawan-kawan.
Mengutip hadis-hadis shahih, Muhammad SAW mengatakan kebangkitan Islam akan muncul dari bangsa Timur yang membawa bendera berwarna hitam.
Hal ini menjadi keyakinan aktivis khilafah di Indonesia bahwa pembebasan Palestina akan datang dari Indonesia. Maka bendera hitam pun berkibar di mana-mana dengan antusias.
Prof Azyumardi Azra dan Prof Peter Carey meragukan jejak Khilafah Utsmaniyah. Butuh debat ilmiah yang meliuk-liuk untuk mencari jejak itu. Ustad Salim A. Fillah “menemukan” jejak itu dalam novelnya “Sang Pangeran dan Janissary Terakhir” (2019).
Tidak butuh orang jenius untuk membuktikan jejak Khilafah China di Nusantara.
Kalau Sampean di Surabaya datanglah ke Kelenteng Mbah Ratu di Jalan Demak. Kalau Anda di Tuban lihatlah (reruntuhan) patung raksasa Dewa Kong Co. Kalau Panjenengan di Semarang mampirlah ke Kelenteng Sam Poo Kong di Bongsari.
Itulah jejak Khilafah China yang cetho welo-welo, tak terbantahkan. (*)
Gajah Turki, Palestina, dan Jejak Khilafah China; Editor Mohammad Nurfatoni.