PWMU.CO– Begini cara Pak AR Fachruddin memindahkan shalat Id dari masjid ke lapangan desa. Kisah ini terjadi sewaktu Pak AR menjadi Panitia Shalat Idul Fitri di desanya, Banaran, Brosot, Kulon Progo Yogyakarta.
Kebiasaan di kampung Banaran, shalat Id berlangsung di masjid. Sebagai pimpinan Muhammadiyah, Pak AR Fachruddin menganut paham shalat Id semestinya di lapangan. Tapi bagaimana cara menyampaikan pendapat ini agar tak menimbulkan gejolak dan ketersinggungan. Sebab tokoh agama di kampungnya adalah Kiai Abu Amar, guru dan mertuanya sendiri.
Sedari awal di rapat panitia, dia tak pernah menyinggung lokasi shalat. Dia ikuti pendapat warga desa dan tokoh agama yang sudah berjalan lama bahwa shalat Id selalu di masjid. Kecuali masjid tak menampung.
Akhirnya Pak AR Fachruddin menemukan akal. Sehari sebelum Lebaran, dia mengajak anggota panitia keluar masuk kampung menghubungi seluruh warga agar hadir untuk shalat Id besok pagi.
Dia yang datang ke rumah-rumah mengundang semua warga ternyata mendapatkan simpati dan rasa sungkan. Baru kali itu ada panitia shalat Id mendatangi tiap rumah mengundang hadir untuk shalat.
Melihat kerja keras panitia mengundang warga, dia yakin waktu shalat Id besok pasti yang hadir banyak sehingga masjid tak bisa menampung jamaah. Ternyata perkiraannya betul.
Seluruh warga mengikuti ajakan Pak AR. Mereka sekeluarga berbondong-bondong datang ke masjid pagi-pagi. Akibatnya masjid tidak mampu menampung semua jamaah yang sampai meluber keluar. Suasana berdesakan dan sempit menjadi tidak nyaman lagi untuk tempat shalat.
Kiai Setuju Shalat Id di Lapangan
Melihat kondisi ini dia bergegas menghadap Kiai Abu Amar pagi-pagi itu untuk melaporkan jumlah jamaah yang banyak sampai keluar masjid. ”Bagaimana kiai, jamaah banyak sekali, masjid ndak bisa menampung,” katanya.
”Ya sudah, ke lapangan saja. Shalat Id di sana,” jawab Kiai Abu Amar.
Pak AR lega mendengar keputusan itu. Kiai Abu Amar juga lega tak kehilangan wibawa di depan murid dan menantunya. Hari itu semua warga desa menjalankan shalat Id di lapangan seperti orang Muhammadiyah.
Begitulah cara pimpinan Muhammadiyah yang bijak ini tanpa menyinggung soal fikih madzhab tapi warga desa sudah menganut sesuai pemahamannya.
Kisah begini cara Pak AR memindahkan shalat Id bisa dibaca di buku Syaefudin Simon berjudul Pak AR Sang Penyejuk.
Editor Sugeng Purwanto