PWMU.CO – Shalat mengelus jenggot, nabi pun berkata: “Sesungguhnya orang ini seandainya khusyuk hatinya, tentu pula juga khusyu badannya.”
Demikian salah satu nukilan kajian Ustadz Dr H Syamsuddin MA dalam Pengajian Rutin Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Sidoarjo, Ahad (20/9/20). Bertema Enam Ajaran pada Sepuluh Ayat Pertama al-Mukminun, kajian digelar via Zoom dan streaming YouTube.
Di awal ayat dalam surat al-Mukminun, kata Syamsuddin, menjelaskan tentang ciri orang-orang beriman. “Yakni dari shalatnya yang khusyuk,” ujar Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur tersebut.
Syamsuddin lalu menjelaskan, suasana ruhani orang beriman itu dikatakan khusyuk, jika dia menggabungkan bainal khauf wal raja’, yaitu antara takut dan penuh harap. “Takut jika amalnya tidak diterima, dan penuh harap semua amalnya diterima di sisi Allah SWT,” kata dosen UINSA Surabaya itu.
Pada ajaran kedua, lanjut dia, orang beriman itu menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang sia-sia. “Para mufasirin menerangkan, yang dimaksud dengan kesia-siaan itu adalah dusta, caci maki, dan hal-hal yang sifatnya gurauan yang tidak bermanfaat,” ungkap dia.
Menjauhkan Perbuatan Sia-sia
Itulah kenapa Ibnu Katsir mengatakan, al-laghwu itu berarti yang meliputi semua bentuk penyimpangan perilaku. “Mulai syirik, kemaksiatan, dan termasuk di dalamnya kata-kata dan perbuatan yang tidak memberi manfaat kepada manusia,” papar Syamsuddin.
Dia juga menerangkan, orang yang beriman akan memanfaatkan betul waktunya untuk sesuatu yang bermanfaat. “Tidak ada sisa waktu yang disisakan untuk sesuatu yang tidak bermanfaat, baik itu terkait ucapan maupun perbuatan,” tambahnya.
Ketiga, sambung Syamsuddin, adalah orang-orang yang menunaikan zakatnya. “Di antara misi Islam adalah membawa kepada kehidupan yang suci, baik jasmani maupun rohani. Islam mengajarkan kebersihan, menjauhkan diri dari yang kotor dan najis, ada wudhu, mandi, siwak, dan gosok gigi. Termasuk memakai parfum saat hendak ke masjid dan itu termasuk dalam kesucian jasmani,” terangnya.
Namun, kata dia, ada yang lebih penting lagi yaitu kesucian rohani. “Yaitu disucikannya dari berbagai macam syirik, kemaksiatan, dan perilaku yang menyimpang, yang menjadikan kehormatan manusia hilang bahkan kemudian jatuh serendah-rendahnya,” tuturnya.
Maka menurutnya, zakat yang ditunaikan akan membersihkan jiwa, bukan untuk membersihkan harta. Karena zakat membersihkan jiwa yang punya harta tersebut.
“Orang-orang yang menunaikan zakat dalam rangka membersihkan jiwa manusia dari kemunafikan tadi. Jangan sampai bilangnya beriman pada Allah dan rasulnya, tapi dalam praktiknya, dia tidak mau menjalankan ajaran-ajaran yang merupakan konsekuensi logis dari keimanannya,” terangnya.
Agama untuk Kesucian Manusia
Keempat, menurutnya adalah orang-orang yang memelihara kemaluan mereka. Manusia pada dasarnya memiliki naluri untuk berkembangbiak. “Maka ada ungkapan, seandainya tidak turun kitab suci dan tidak diutus para nabi, manusia tetap akan kawin dan menikah. Bagaimana menikah dan kawinnya itu soal lain,” canda Syamsuddin.
Agama, sambungnya, diturunkan sebagai syariat yang mencerahkan, untuk menjamin kesucian manusia walaupun mereka tetap melakukan perkawinan itu.
“Maka dikatakan, orang-orang yang memelihara kesucian dirinya dan jika itu dilakukan pada jalur yang benar dan sesuai ketentuan-Nya, maka itu bukan termasuk perbuatan yang tercela. Yang tercela adalah barangsiapa yang mencari di luar yang ada dalam syariat ini, maka mereka dianggap melampaui batas,” tegasnya.
Syamsuddin melanjutkan, jika pernikahan merupakan sesuatu yang sakral. Karena di dalamnya ada mitsaqan galidha, walaupun sederhana tapi ada konsekuensi dan perubahan yang revolusioner. “Yang sebelumnya haram, jadi halak dari yang keji menjadi terpuji. Yang sebelumnya maksiat jadi ibadat. Sebelumnya berdosa menjadi berpahala. Hanya karena sebuah ungkapan yang sederhana yang disebut al ijabal qabul,” terang dia.
Dia lalu melanjutkan pada ayat kedelapan, tentang orang-orang yang memelihara amanah dan janjinya. Amanah itu dipikulkan di pundak dan diberikan pada yang berhak menerimanya. “Maka, menukar kewenangan yang dimilikinya dengan sesuatu yang orientasi jangka pendek dan kesenangan sesaat atau biasa disebut korupsi, adalah kianat dari amanat yang diberikan padanya,” tutur dia.
Munafik Ideologis dan Praktis
Syamsuddin mengatakan, dari banyak kitab tafsir dijelaskan bahwa kemunafikan dibagi menjadi dua, yaitu munafik i’tiqadi atau munafik ideologis dan munafik ‘amali atau munafik praktis. “Munafik ideologis adalah orang yang sejatinya kafir. Tapi karena tujuan-tujuan tertentu yang biasanya bersifat politis dan ekonomis, maka dia berpenampilan layaknya orang beriman,” ungkapnya.
Aktivitasnya juga layaknya orang beriman, masuk masjid pake kopiah, baju kokoh dan sarung. “Orang-orang tersebut punya hidden agenda tersembunyi untuk menghancurkan atau melakukan pembusukan dari dalam terhadap Islam dan kaum muslimin,” papar Syamsuddin.
Namun, lanjut dia, ada juga munafik amali, yakni orang yang sejatinya beriman dan tidak ada niatan melalukan pembusukan terhadap Islam dan kaum muslimin. Tetapi mempunyai karakter dan sifat yang sudah menjadi ciri khas orang-orang i’tiqadi tadi.
“Yaitu kalau bicara dusta, diberi amanat khianat, dan kalau berjanji mengingkari janjinya. Karena orang beriman tidak akan ingkar janji. Adapun jika dia tidak dapat menunaikan janjinya dia akan izin dan minta maaf sebelumnya,” katanya.
Shalat Mengelus Jenggot
Terakhir, sambung Syamsuddin adalah orang-orang yang memelihara shalat. Ayat ini diawali dengan kata shalat dan diakhiri kata shalat. Khusyuk itu terkait suasana hati dan spiritualitas seseorang.
“Tapi untuk memelihara shalat itu terkait dengan sesuatu yang measurable, terukur. Seperti melaksanakan shalat tepat pada waktunya, dilakukan secara berjamaah, bacaannya, gerakannya sesuai yang dicontohkan nabi. Merupakan sesuatu yang terukur,” jelas dia.
Suasana hati, menurutnya, memang tidak bisa dibaca, tetapi indikatornya bisa muncul dalam fisik seseorang. Nabi pernah melihat seseorang yang ketika shalat mengelus jenggotnya. “Lalu beliau bilang, sesungguhnya orang ini seandainya khusyuk hatinya tentu pula juga khusyuk badannya. Nah, ini maka khusyuk-nya hati bisa juga muncul dalam fisik seseorang,” ungkap Syamsuddin.
Jadi, kata dia, shalat yang dapat membawa orang ke dalam falah, untung, akan sukses dan bahagia, jika di dalamnya ada unsur khusyuk dan mukhafadhah. “Jika khusyu berkaitan dengan unsur hati. Maka mukhafadhah atau memelihara shalat berkaitan dengan fisik, waktu, atau hal-hal yang terukur,” tutur Syamsyuddin.
Penulis Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni