Film Pengkhianatan G30S/PKI di mata Pak Harto seperti diceritakan pemerannya Amaroso Katamsi.
PWMU.CO – Setiap bulan September, film Pengkhianatan G30S/PKI menjadi bahan pembicaraan. Dalam Surat Terbuka kepada Presiden Joko Widodo, Presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), misalnya, mereka meminta agar Presiden—sesuai kewenangan yang dimilikinya—menyerukan lembaga-lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga penyiaran publik, khususnya TVRI, untuk menayangkan film tersebut.
“Agar rakyat Indonesia memahami noda hitam dalam sejarah kebangsaan Indonesia,” salah satu isi surat tersebut, seperti diberitakan PWMU.CO, Rabu (23/9/2020). Baca: Ingatkan Kebangkitan PKI, Ini Surat Terbuka KAMI ke Presiden.
Salah satu stasiun yang akan menyiarkan film Pengkhianatan G30S/PKI tahun ini adalah SCTV. Seperti diberitakan liputan6.com, stasiun televisi nasional itu akan menayangkan film tersebut, Ahad (27/9/2020) pukul 12.00 WIB.
Komentar Pak Harto
Bagaimana sebenarnya penilaian Jenderal Soeharto alias Pak Harto—tokoh sentral dalam film yang disutratarai mendiang Arifin C Noer dan diproduksi tahun 1984 oleh G. Dwipayana lewat bendera Pusat Produksi Film Nasional (PPFN) Departemen Penerangan Republik Infonesia itu?
Amoroso Katamsi, pemeran Pak Harto dalam film tersebut punya kisah soal itu. Dalam buku Pak Harto The Untold Stories (PT Gramedia Pustaka Utama, 2011) dia bercerita.
“Saya adalah pemeran tokoh mayor Jenderal Soeharto dalam film Pengkhiantan G30S/PKI. Sebelum film itu dibuat, untuk pendalaman peran, tentu saya perlu bertemu dengan Pak Harto,” kata Dr Amoroso Katamsi SpKJ MM—dokter tentara itu.
Menurut dia, Pak Harto tidak banyak bicara, juga tidak ekspresif. “Beliau juga tidak menuntut saya harus begini atau begitu ketika memerankan dirinya,” ujar perwira Angkatan Laut dengan pangkat terakhir saat pensiun Laksamana TNI.
“Kami bertemu lagi setelah film itu selesai. Lagi-lagi Pak Harto tidak banyak bicara. Ia tidak memuji, juga tidak menggurui. Pak Harto hanya mengatakan, ‘Film itu bagus.’,” ungkap Direktur Utama PFN tahun 1991-1999 itu.
Pak Harto Lancar Berbahasa Inggris
Ada cerita lain soal Pak Harto saat Amaroso Katamsi mendalami perannya di film itu.
“Di antara observasi peran saya lakukan, suatu hari saya ikut Pak Harto ke perternakan Tapos, Bogor. Ketika membahas tentang perternakan dengan tamu-tamunya dari Australia, ternyata Pak Harto berbicara sangat lancar dalam bahasa Inggris,” ujar mantan Wakil Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka itu.
Keheranan Amaroso Katamsi itu lalu ditanyakan kepada Gufron Dwipayana, salah satu orang dekat Pak Harto waktu itu. “Pak Dipo, kenapa jika pidato Pak Harto selalu berbahasa Indonesia?” tanyanya.
“Saya juga pernah bertanya kepada beliau,” jawab Pak Dipo—sapaan Gufron Dwipayana seperti ditirukan Amoroso Katamsi.
Bagaimana jawaban Pak Harto atas pertanyaan itu? “Pertama saya sangat menghargai bahasa Indonesia. Coba kamu lihat pemimpin-pemimpin dunia lainnya, misal dari Jepang atau Cina, mereka pidato menggunakan bahasanya sendiri.
Apalagi kalau berunding, kan mewakili jangan sampai terjadi kesalahan karena akan berbahaya. Saya khawatir penguasaan bahasa Inggris saya untuk berunding atas nama bangsa kurang tepat. Jadi lebih baik orang lain yang ahli bahasa saja yang menerjemahkan omongan saya”, jelas Pak Harto seperti dituturkan Pak Dipo pada Amoroso Katamsi.
Kaget Ingatan Pak Harto
Sekitar sepuluh tahun kemudian Amaroso Katamsi kembali menghadap Pak Harto. Kali itu dalam rangka penulisan skenario film Trikora. Dia menyerahkan naskah yang tebal kepada Pak Harto dan sepekan kemudian mengambilnya.
“Saya kaget, ternyata Pak Harto membaca betul setiap katanya. Terbukti dengan banyaknya koreksi bertulisan tangan beliau sendiri,” ujarnya.
Menurut dia, Pak Harto benanr-benar membaca naskah tebal itu sampai mendetail. Daya ingat Pak Harto juga luar biasa terhadap peristiwa-peristiwa yang tertulis dalam naskah itu.
“Karena kemudian Pak Harto juga menuturkan berbagai peristiwa pada saat beliau menjadi Panglima Komando Mandala. Saya benar-benar kagum,” ungkap Amoroso Katamsi yang telah meninggal dunia pada tanggal 17 April 2018 pada usia 79 tahun. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.