
Testimoni:Jangan Lagi Percaya Covid-19 Itu Rekayasa, testimoni diitulis oleh Sarjono pasien Covid-19 RSML; Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Porodeso, Kecamatan Sekaran; Pengawas Madrasah Kemenag Kabupaten Lamongan, Jawa Timur.
PWMU.CO – Sampai saat ini, masih banyak yang ragu—bahkan tidak percaya—bahwa Covid-19 itu nyata. Ada juga yang percaya tapi tidak menganggap sebagai sesuatu yang berbahaya. Malah ada yang mengatakan sebagai rekayasa untuk komoditas ekonomi dan politik.
Salah satu yang jadi tertuduh adalah rumah sakit. Mereka ada yang beranggapan vonis positif Covid-19 adalah rekayasa rumah sakit. Menurut mereka pihak rumah sakit sedang “memburu” dana dari pemerintah lewat pasien Covid-19. Dan yang lebih miris, kata mereka, apapun sakit yang diderita pasien, ketika dibawa ke rumah sakit akan divonis positif Covid-19.
Anggapan-anggapan seperti di atas membuat anggota masyarakat kita banyak yang abai akan protokol kesehatan. Tak mau pakai masker. Kalaupun pakai, tidak sesuai standar. Juga banyak yang malas cuci tangan dengan sabun dan air mengalir. Tak terhitung yang mengesampingkan imbauan menghindari kerumuman.
Ini yang membuat korban terus berjatuhan. Grafik pandemi Covid-19 di Indonesia belum pernah mencapai puncaknya, apalagi melandai. Itu karena kasusnya terus bertambah, terus menaik.
Menurut kompas.id, per Ahad 27 September 2020, angka kasus positif sudah mencapai 275.213. Dari angka itu, yang meninggal 10.368, dirawat 61.813, dan sembuh 203.015.
Beratnya Jadi Pasien Covid-19
Pengalaman saya dirawat di Rumah Sakit Muhammadyah Lamongan (RSML), sebagai pasien Covid-19, penting saya kemukakan kepada masyarakat. Ini sekaligus menjawab segala ketidakpercayaan, keraguan, dan sikap meremahkan adanya Covid-19.
Saya masuk RSML tanggal 1 September 2020 karena mengalami gangguan sesak nafas yang semakin memburuk. Hasil sweb test menunjukkan saya positif Covid-19 dan harus masuk ruang isolasi. Saat itu juga seluruh keluarga ikut menjalani isolasi mandiri di rumah selama 15 hari.
Sepekan pertama di ruang isolasi sungguh merupakan pengalaman teramat pahit di sepanjang hidup saya. Terutama karena harus beradaptasi dengan situasi dan kondisi yang sangat berbeda.
Tapi kemudian saya mulai berfikir positif. Menyadari keadaan yang ada. Berusaha menerima kenyataan. Belajar sabar dan ikhlas menerima ujian. Saya pasrahkan semuanya pada Allah.
Saya lepas beban pikiran yang ada di otak. Saya berusaha lebih fokus untuk mendekatkan diri kepada Allah: memperbanyak dzikir, istighfar, shalawat, tahlil, tahmid, takbir, dan doa-doa.
Kebetulan di dalam ruang isolasi tersedia mushaf al-Quran sehingga saya gunakan banyak-banyak membacanya terutama di setiap selesai shalat. Alhamdulillah, hati saya berangsur-angsur mulai tenang, tidak ada lagi rasa berontak atau putus asa. Yang ada hanyalah kepasrahan.
Pentingnya Ketanangan Batin
Dan saya medapatkan hikmah, ternyata untuk mengatasi segala persoalan hidup, berat atau ringan, kuncinya adalah suasana batin yang tenang (good mood).
Sejak saat itu nafsu makan berangsur-angsur mulai muncul meskipun belum banyak karena makan harus disuapi oleh perawat. Duduk untuk makan saja tidak bisa karena jika dipaksa nafasku akan tersengal-sengal dibuatnya. Oleh karena itu selama kurang lebih dua pekan pertama saya tidak diperbolehkan gerak ke mana-mana.
Setelah seluruh petugas medis melakukan perawatan dan pemeriksaan secara intrnsif selama dua pekan pertama, keluhan-keluhan yang terjadi sebelumnya secara pelan-pelan hilang pada hari-hari selanjutnya.
Selang catheter dan pempes sudah mulai dilepas. Untuk buang air kecil di pekan ketiga masih harus memakai tabung corong—tempat buang air kecil yang diletakkan di sebelah tempat tidur.
Karena di pekan ketiga ini kondisi pernafasan masih belum stabil, sehingga hanya pada saat buang air besar (BAB) saya yang terpaksa harus ke toilet. Namun demikian, untuk mempersiapkan langkah menuju ke toilet membutuhkan waktu untuk menstabilkan ketersediaan oksigen dalam paru-paru.
Sekiranya sudah cukup kuat untuk berjalan, saya baru mulai melangkah pelan supaya sampai bisa di tempat dengan aman. Saat saya sudah sampai di atas closed, saya berusaha dapat mengatur pernafasan sambil mengeluarkan kotoran. Tenang sambil tangan memegang tiang penyangga infus sebagai sandaran.
Hari-hari yang amat berat menahan sesak nafas yang demikian hebat, seolah-olah nafas akan segera putus. Alhamdulillah, dengan sisa tenaga yang ada, saya berusaha bangkit setelah membersihkan segala sesuatunya dan berhasil kembali ke tempat tidur.
Dengan perasaan lega meskipun masih harus memulihkan pernafasan yang hampir-hampir hilang, saya berusaha tetap konsentrasi fokus memperbanyak dzikir.
Pada hari-hari berikutnya beban berat itu sudah mulai berkurang, terus berkurang, hingga akhirnya hilang sama sekali. Alhamdulillah, Allah SWT telah menujukkan kuasa dan kasih sayang-Nya kepada saya.
Begitu berat penderitaan selama menjalani perawatan pasien Covid-19. Saya dalam situasi kesendirian, tanpa teman pendamping—-hanya petugas medis rumah sakti. Tapi alhmadulillah, pada hari Senin (28/9/2020) ini saya sudah dinyatakan sembuh dan diperbolehkan pulang. Sesuai prosedur, di rumah saya akan melakukan isolasi mandiri selama 14 hari.
Bagi saya, kejadian ini pasti ada hikmahnya. Kemandirian hidup itu merupakan sesuatu yang sangat penting untuk kita latihkan pada diri kita, agar kita selalu bisa tetap survive (bertahan hidup).
Saya juga ingin menyampaikan pesan kepada siapapun agar menyadari betapa kita tidak boleh menyepekan persoalan Covid-19 ini. Sekaligus saya berpesan: jika sudah terpapar seperti saya, jangan disembunykan karena takut medapat stigma negatif.
Pelayanan Nyaman Rumah Sakit
Di sini saya ingin mengatakan, bahwa sesungguhnya Covid-19 itu benar adanya, seperti yang saya alami. San ketika menjalani perawatan di rumah sakit, saya merasakan hal yang berbeda soal stigma negatif pasien Covid-19 dalam perawatan.
Salah satu yang menghilangkan bayangan rasa takut adalah kondisi nyaman di ruangan. Para petugas medis begitu santun, peduli, ramah, dan sabar dalam merawat pasien.
Para perawat merawat setiap pasien dengan begitu sabar, tulus, dan selalu merespon apa yang menjadi keluhan pasien. Bahkan mengenai hal yang paling jorok dan jijik sekalipun mereka dengan sabar melayaninya dengan penuh keikhlasan.
Para perawat dan dokter secara berkala dan terus-menerus mengontrol dan memantau perkembangan kesehatan pasien. Tentu dikengkapi dengan APD (alat pelindung diri) yang memadai.
Sepanjang yang saya ketahui dan alami selama menjalani perawatan, semua petugas medis telah melaksanakan tugas sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP).
Situasi nyaman dan ramah selama menjalani perawatan membuat saya semakin tenang dan damai sehingga mempercepat penyembuhan. Bahkan membuat saya tidak bertanya-tanya kapan pulang.
Dengan demikian, tuduhan miring di masyarakat mengenai penanganan pasien Covid-19 di rumah sakit yang tidak sesuai dengan prosedur, sama sekali tidak benar.
Jadi, jangan lagi percaya Covid-19 itu rekayasa! (*)
Naskah Testimoni: Jangan Lagi Percaya Covid-19 Itu Rekayasa; Editor Mohammad Nurfatoni.
Discussion about this post