Daya Magnet Amien Rais dan Nasib Partai Ummat tulisan Ainur Rafiq Sophiaan, dosen Ilmu Politik UPN Surabaya.
PWMU.CO-Di tengah reputasi politiknya yang makin menurun, Amien Rais mengumumkan partai barunya, Partai Ummat. Pengumuman disampaikan melalui kanal Youtube Amien Rais Official, Kamis (1/10/2020).
Dengan demikian PAN resmi terbelah lagi. Dahulu kala telah muncul serpihan Partai Matahari Bangsa tahun 2006 karena Imam Addaruqutni kecewa. Kini partai ini tak terdengar lagi.
Tapi Partai Ummat punya Amien Rais, sang tokoh reformasi dan sesepuh Muhammadiyah. Mampukah daya magnet Amien Rais mendulang suara untuk partai ini?
Tak perlu mengulas Mukadimah Partai yang isinya normatif itu. Sebab pemilih tak peduli. Pemilih saat ini sangat pragmatis. Nomer Piro Wani Piro. Tentu Amien Rais tak mau bermain di sisi pragmatis ini karena itu kita lihat kemampuan partai ini berkeliat di politik jual beli.
Kalau dibandingkan dengan munculnya Partai Gelora oleh Fahri Hamzah yang keluar dari PKS atau Masyumi Reborn oleh MS Ka’ban yang kecewa terhadap PBB, Partai Ummat dengan Amien Rais ketokohannya masih lebih kuat.
Menarik pula dibandingkan dengan Grace Natalie bersama PSI yang kehadirannya di beberapa daerah saat Pemuli 2019 cukup mengagetkan karena bisa meraih kursi DPRD. Jargon sebagai partai milenial yang progresif ekstrem layak dicermati sebagai saingan Partai Ummat yang berideologi Islam dengan pemilih eksklusif.
Mengukur Daya Tarik Amien Rais
Bagi PAN, kehadiran partai baru ini tak serta merta akan menggerogoti partai berlogo matahari bersinar itu. Sebab pertama, daya magnet Amien Rais seiring dengan usia dan dinamika politik tidak sekuat saat euforia Reformasi dulu.
Pada Pilpres 2004 Putaran I pemilih pasangan Amien Rais-Siswono Yudohusodo meraih peringkat ketiga 14, 65 persen. Pasangan SBY-JK (33,57 persen), Mega-Hasyim (26,6 persen), dan terakhir Hamzah-Agum (3,01 persen).
Jauh dari ekspektasi pengamat ketika Amien masih kuat menjadi ikon perubahan. Sekarang sudah pasti berkurang lagi. Merosotnya daya magnet Amien harus diakui terjadi pula di Muhammadiyah. Apalagi kader ormas ini dikenal sangat rasional dan cair dalam berpolitik.
Kedua, sikap Amien dinilai banyak elite PAN sekarang membawa hikmah (blessing in disguise). PAN tak lagi terbebani dengan manuver politik pribadinya. Sehingga lebih bebas menentukan haluan politik. Terlebih tuduhan Amien sering terbantahkan dengan striker PAN di parlemen yang cukup kritis dan menohok, seperti Saleh Daulay, Yandri Susanto, Ali Taher, dan Zainuddin Maliki.
Dalam konteks kepemimpinan, justru PAN telah menjadi partai modern dan rasional yang meninggalkan era kepemimpinan kharismatis dan personal. Ini mirip dengan Partai Golkar yang membawa paradigma baru pasca Soeharto. Bandingkan dengan PDIP, Demokrat, Gerindra, dan PBB yang masih mengandalkan figur pendirinya.
Prospek Partai Ummat
Yang kini menjadi pertanyaan besar adalah bagaimana prospek Partai Ummat? Kita belum saksikan grand launching dengan sejumlah nama-nama di barisan terdepannya. Yang diumumkan Amien baru soft launching. Namun, paling kurang ada beberapa faktor yang menarik diperbincangkan.
Pertama, sudah bisa diprediksi pengikut partai ini adalah loyalis Amien karena pertimbangan fanatisme dan patronase. Tampaknya ceruk ini yang akan dieksploitasi pentolan partai, seperti Agung Mozin dan Putera Jaya Husein, dua nama yang tidak memiliki basis sosial dan tidak marketable.
Kedua, gagasan untuk merangkul lebih besar kelompok Islam tampaknya tidak semudah membalik telapak tangan. Seolah sudah menjadi jalan sejarah umat Islam Indonesia sangat terfragmentasi dalam kelompok-kelompok politik. Baik karena perbedaan figur maupun motivasi politik (Denton dan Woodward, 1990).
Alih-alih bersatu dalam koalisi besar atau bahkan satu kekuatan, umat Islam justru tak berbeda dengan aliran politik lainnya hobi membuat jamaah sendiri.
Dari sudut ini munculnya partai Islam atau partai yang berbasis umat Islam baru akan makin menjauhkan cita-cita konsolidasi umat yang bila dikapitalisasi dengan baik bisa menjadi bargaining power menghadapi kekuatan sekular. Apalagi mau menarik segmen nasionalis akan butuh energi besar.
Ketiga, panggung politik kita yang sangat oligarkis dan berbiaya tinggi (high cos politic) membutuhkan sumber daya logistik yang sangat besar. Perindo dengan Hary Tanoe yang dengan jaringan media massa dan logistik sangat besar di Pemilu 2019 harus puas menerima 2,67 persen suara.
Sedangkan ambang batas parlemen 4 persen. Konon pada Pemilu 2024 akan dinaikkan menjadi antara 5 hingga 6 persen. Batas yang mengancam partai tengahan, seperti PAN, PKS, PPP, dan Demokrat (satu digit). Apa yang bisa dilakukan partai baru, seperti Partai Gelora, Partai Ummat, dan Masyumi Reborn?
Siapa Dapat Apa
Ala kulli hal, atas jaminan UUD 1945 dan UU Politik kehadiran partai baru selalu menjadi agenda rutin bangsa ini dari Pemilu ke Pemilu. Tak terkecuali umat Islam yang secara politik dan ekonomi termarginalisasi akibat pertarungan bebas neoliberalisme dan kapitalisme. Meskipun para pejabatnya paling rajin mengutip sila-sila Pancasila. Dan tokoh Islam, termasuk Amien Rais sendiri, paling rajin mengutip ayat al-Quran dan hadis tentang persatuan dan kesatuan umat (wihdat al ummat).
Yang kasat mata justru rumus politik Harold D. Laswell yang mendefinisikan politik sebagai who gets what, when, and how. Saya tambahkan agar pas di republik ini, how much!
Para tokoh partai Islam perlu membuka lagi buku Imam Mawardi al Ahkaam al Sulthoniyah yang menyatakan fungsi politik adalah hirasat al diin (menjaga agama) dan siyasat al dunya (mengatur dunia). Politik memang selalu menggiurkan. Sekaligus memabukkan, kata Aid al Qarni dalam La Tahzan (Jangan Bersedih). (*)
Editor Sugeng Purwanto