Positif Tembus 300 Ribu, Pemerintah Masih Klaim Baik? Dengan hanya memakai angka-angka statsitik secara tidak fair?
PWMU.CO – Angka Kasus positif Covid-19 di Tanah Air sudah menembus angka 300 ribu. Menurut data yang dirilis kompas.id Ahad (4/10/2020) sebanyak 303.498 orang telah terinfeksi positif. Rinciannya: 63.894 dirawat, 11.151 meninggal, dan 228.453 sembuh.
Kasus setinggi itu rupanya masih dianggap sebagai prestasi oleh pemerintah Indonesia. Seperti diklaim Presiden Joko Widodo
“Saya bisa memastikan penanganan Covid-19 di Indonesia tidak buruk, bahkan cukup baik. Saya hanya bicara fakta,” ujar Jokowi melalui pernyataan yang diunggah di akun YouTube Sekretariat Presiden pada Sabtu, 3 Oktober 2020.
Jokowi mengganggap penanganan Covid-19 di Indonesia baik karena membandingngkan dengan beberapa negara besar yang memiliki penduduk besar pula.
“Bila dibandingkan dengan negara-negara berpenduduk besar kasus penyebaran dan tingkat kematian akibat Covid-19 di Indonesia masih lebih baik dibandingkan negara-negara dalam kategori yang sama tersebut,” ujarnya.
Menurutnya, kalau Indonesia dibandingkan dengan negara kecil yang penduduknya sedikit, tentu perbandingan seperti itu tidak menggambarkan keadaan sebenarnya.
Saat menyampaikan itu, Jokowi memakai data 2 Oktober 2020 di mana Indonesia berada pada posisi 23 di tingkat kasus positif Covid-19 dari semua negara-negara di dunia dengan jumlah sebanyak 295.499 kasus—atau kurang dari 7999 dari data hari Ahad kemarin.
Dalam laman WHO, per 4 Oktober 2020 jumlah yang terinfeksi virus Corona jenis baru SARS CoV-2 adalah 34.804.348 dengan angka kematian yang sudah menembus satu juta orang, tepatnya 1.030.738.
Dari data itu, Amerika menempati peringkat pertama (7.256.234); disusul India (6.549.373), Brasil (4.880.523), Rusia (1.215.001), Kolumbia (841.531), Peru (821.564), Spanyol (789.932), Argentina (779.689), Meksiko (753.090), Afrika Selatan 679.716), Perancis (580.703), dan Inggris (480.021).
Berdebat Definisi Kematian
Jika melihat secara statistik angka-angka itu, apa yang dikatakan Presiden Jokowi tidak salah. Jumlah kasus Covid-19 Indonesia tidak (atau belum) masuk 10 besar dunia.
Tetapi seperti disampaikan beberapa pihak, jumlah tes di Indonesia belum memadai. Artinya jika sedikit yang dites, maka yang tercatat positif Covid-19 akan lebih “indah” dari kenyatannya. Contoh kasus tes harian pada 1 Oktober 2020 seperti dirilis Our Word in Data. India melakukan 1,1 juta sedangkan Indonesia cuma 233,861 tes.
Sedangkan soal jumlah kematian yang masih dianggap kecil, juga menjadi “kecuriagaan” beberapa pihak. “Lupa bahwa kapasitas tes kita lemah, kemarian masih ‘underrepported’,” kata Pandu Riono— epidemiolog UI—dalam tweet-nya yang diunggah akunnya: @drpriono1, Ahad (4/10/2020), menanggapi pernyataan Jokowi bahwa Indonesia tidak terlalu buruk dibandingkan negara lain dalam kasus Covid-19.
Sudah lama menjadi perdebatan “definisi” kematian pasien Covid-19. Selama ini Indonesia hanya mengakui kematian Covid-19 jika pasien meninggal terkonfirmasi positif dari hasil tes laboratorium.
Seperti dikatakan epidemiolog Unair Masdalina Pane. “Saat ini Indonesia belum memasukkan data kasus kematian pada pasien probable dalam kasus kematian Covid-19. Padahal standar Badan Kesehaan Dunia (WHO) kasus kematian suspek dan probable masuk dalam kematian Covid-19,” jelas dia, dikutip cnnindonesia.com.
Artinya, WHO mendefinisikan pasien yang bergejala klinis Covid-19—meskipun belum diketahui hasil tesnya, dikategorikan kematian Covid-19. Selisih angka akibat beda definisi itulah salah satu hal yang disebut “underrepported”, kematian yang tak terlaporkan.
Lucunya, definsi kematian yang sudah tidak standar WHO itu masih akan “ditawar” lagi oleh Indonesia. Berkembang wacana redefinisi kematian Covid-19. Jika pasien terkonfirmasi positif Covid-19 meninggal disertai penyakit penyerta, maka tidak disebut kematian akibat Covid-19.
Meski definisi itu belum diberlakukan tapi wacana itu mengindikasikan jika pemerintah hendak menurunkan angka kematian Covid-19 dengan cara “tanpa berkeringat”. Tapi cukup mengintervensi definisi kematian. Dan itu akan membuat angka kematian bersifat semu.
Nyawa Jangan Dipelototi Sekadar Angka
Lebih dari sekadar membandingkan angka-angka statistik yang kurang fair itu, seharusnya pemerintah lebih berfokus dalam menjaga hak hidup warganya. Jangankan 11 ribu nyawa, satu nyawa pun harus sangat dihargai dan dijaga.
Seperti pesan Kitab Suci, “Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (al-Maidah ayat 32).
Selama ini pemerintah—sejak menggulirkan The New Normal—hingga ngotot tetap menggelar pilkada serentak 9 Desember 2020 terkesan menomorduakan kesehatan dan keselamatan nyawa. Meskipun, tentu saja, dalam basi-basi politiknya, pemerintah tetap mengatakan mengutamakan kesehatan bersama ekonomi dan hak konstitusi (dipilih dan memilih) dalam pilkada.
Tapi seringkali hal itu hanya di atas kertas. Di lapangan praktiknya tak terkontrol. Kampanye yang menurut aturan harus memperhatikan protokol kesehatan, nyatanya ambrol. Tidak bisa dibayangkan, bagaimana jika ambrolnya peraturan itu terus-menerus terjadi.
Penambahan 100 ribu positif Covid-19 dari 8 September menjadi 300 ribu pada 4 Oktober, bukanlah laju yang lambat. Hanya butuh waktu 26 hari.
Bandingkan capaian angka 100 ribu sejak kasus pertama di Indonesia 2 Maret hingga 27 Juli yang butuh waktu sekitar lima bulan. Lalu tambahan 100 ribu menjadi 200 ribu dari 27 Juli sampai 8 September yang butuh sekitar 1,5 bulan.
Inikah yang dianggap penanganan Covid-19 yang lebih baik?
Penulis/Editor Mohammad Nurfatoni.
Discussion about this post