Omnibus Law Cipta Jongos, kolom ditulis oleh Daniel Mohammad Rosyid, Ketua Yayasan Pendidikan Tinggi Dakwah Islam (PTDI) Jawa Timur.
PWMU.CO – Beberapa hari ini, Pemerintah bersama DPR sedang kejar tayang untuk segera menyetujui RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi UU. Tujuan utama RUU ini adalah mempermudah investasi yang dalam kesempitan finansial saat ini serta sistem keuangan ribawi akan sangat didominasi oleh asing.
Rezim penguasa saat ini, bahkan di tengah pandemi Covid-19, berupaya melalui prosedur legislasi yang mencurigakan untuk mempermudah investasi asing serta kedatangan tenaga kerja asing ke Indonesia di hampir semua sektor penting yang oleh UU lainnya sudah diliberalkan. Mengapa ini terjadi?
Biaya politik yang tinggi, baik bagi eksekutif maupun legislatif telah menyebabkan bangsa ini masuk ke mulut singa berupa hutang yang makin menggunung, dan mulut buaya investor asing yang dengan leluasa mengeksploitasi berbagai kekayaan alam negeri ini sambil menjadikan massal masyarakatnya sebagai buruh dengan hak-hak minimal.
Rekrutmen politik yang makin mahal menyebabkan banyak pejabat harus bersekongkol dengan para cukong domestik maupun asing yang makin menguasai sumber-sumber ekonomi nasional. Pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD baru-baru ini membenarkan sinyalemen ini.
Rakyat Indonesia Bersiap Jadi Jongos?
RUU Omnibus Law sejatinya merupakan instrumen pamungkas untuk benar-benar menjadikan masyarakat Indonesia sebagai jongos di negeri sendiri.
Upaya sebelumnya dilakukan melalui pemlintiran pendidikan menjadi persekolahan massal paksa terutama sejak reformasi 20 tahun silam saat Republik ini dibelokkan ke jurang kapitalisme liberal.
Pendidikan melalui persekolahan massal bukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Persekolahan paksa massal dimaksudkan untuk menyiapkan tenaga kerja yang cukup terampil untuk menjalankan mesin-mesin pabrik.
Sekaligus cukup dungu untuk menerima pekerjaan yang makin kotor, dan makin beresiko dengan upah yang rendah sedemikian sehingga para istri buruhpun harus keluar dari rumah untuk ikut bekerja. Posisi tenaga kerja dalam rancangan RUU Omnibus Law ini makin lemah dalam menghadapi pemilik modal.
Bahkan melalui UU No. 18 tahun 2019 tentang Pesantren, rezim ini telah mulai menyekolahkan pesantren. Pesantren bakal kehilangan kemandiriannya, baik secara kurikulum maupun keuangannya. Persis seperti persekolahan massal paksa milik pemerintah sebagai instrumen teknokratik penyiapan masyarakat buruh yang sekuler, pesantren akan direposisi sebagai bagian dari mesin penjongosan massal.
Upaya lainnya adalah UU yang mengatur keuangan ribawi sesuai dengan konstitusi IMF. Persekolahan bersama televisi merupakan institusional duo dalam rangka menyiapkan masyarakat konsumtif yang hidup dari utang.
Riba itu menjadikan hutang tidak sekedar hutang, tapi hutang yang memperbudak manusia, sekaligus merampas kedaulatannya. Hutang adalah instrumen penjajahan. Melalui riba ini, proses pemiskinan bangsa ini terjadi melalui proses koruptif yang dilegalkan. Sekalipun korupsi di Indonesia masih berlangsung, skalanya masih relatif kecil dibanding korupsi legal melalui riba ini. Riba adalah akar pemiskinan bangsa ini.
Saat Work from Home (WFH) dan Study from Home (SFH) menjadi kegiatan selama enam bulan terakhir ini, pandemi ini membuka peluang agar masyarakat Indonesia kembali ke rumah sebagai satuan edukatif dan produktif.
WFH harus digeser menjadi Work at Home, sedangkan SFH diubah menjadi Study at Home. Memang ini membutuhkan keberanian untuk berpikir dan bekerja dengan cara baru. Tapi ini adalah cara paling masuk akal dalam menghentikan proses penjongosan bangsa ini.
Namun kaum buruh harus segera diingatkan bahwa mereka akan diperalat oleh kaum komunis baru untuk mewujudkan rencana-rencana kotornya. Kaum komunis sanggup mengahalalkan semua cara untuk mencapai tujuannya, bahkan dengan cara-cara yang haram dan biadab sekalipun termasuk indoktrinasi massal melalui persekolahan dan riba. (*)
Rosyid College of Arts,
Gunung Anyar, 5 Oktober 2020
Editor Mohammad Nurfatoni.