Abdul Rahman Saleh dan Adisucipto adalah pahlawan nasional yang namanya diabadikan untuk Bandar Udara Malang dan Yogyakarta. Inilah kisah gugurnya dua perwira AURI ini.
PWMU.CO-Pada bulan Juli 1947, pasukan Belanda merebut sebagian besar kota besar di Jawa dan Sumatra. Palang Merah Malaya menyumbangkan obat-obatan kepada para pejuang perang kemerdekaan.
Perwira tertinggi Angkatan Udara Indonesia, Agustinus Adisucipto dan Abdul Rahman Saleh meminta Biju Patnaik untuk mengangkut bahan-bahan tersebut dari Singapura dengan pesawat Dakota miliknya.
Penulis Anil Dhir dalam artikelnya di odishabyte.com menuturkan, Biju Patnaik pengusaha India, sejak 1946 diminta oleh Jawaharlal Nehru membantu pejuang kemerdekaan Indonesia dengan mengangkut bantuan obat-obatan dan bantuan kemanusiaan lainnya.
Dia memiliki maskapai Kalinga Airline dengan selusin pesawat Dakota. Dia dan para pilotnya terbang harus menghindari blokade Belanda di darat dan laut ketika membawa bantuan ke Indonesia..
Kali ini mengangkut bantuan dari Palang Merah Malaya memakai pesawat Douglas C-47B-20-Dakota dengan Nomor Panggil VT-CLA. Pesawat meninggalkan Singapura pada tanggal 29 Juli 1947 pukul 01.00 WIB. Pesawat ini sudah mendapat persetujuan dari pasukan Inggris maupun Belanda untuk terbang.
Malam sebelum penerbangan, radio Malaya menyiarkan bahwa penerbangan dengan nomor registrasi itu melakukan misi kemanusiaan. Sudah mendapat izin mendarat di Lapangan Terbang Maguwo di Yogyakarta dan jaminan jalur yang aman.
Pesawat membawa kargo tiga ton itu dipiloti Alexander Noel Constantine, mantan perwira Angkatan Udara Australia. Bersamanya ada co-pilot Roy Hazlehurst, teknisi Zainal Arifin, dan pilot Bidha Ram. Ada dua perwira AURI Agustinus Adisucipto dan Abdul Rahman Saleh dan istri pilot Beryl Constantine.
Mendarat Diberondong Tembakan
Setelah tiga jam penerbangan, pesawat sampai Yogya dan menuju Lapangan Terbang Maguwo dengan memperpanjang undercarriage untuk pendaratan.
Saat itu, dua Kittyhawk Belanda muncul dan menembak ke arah pesawat. Peluru menghancurkan mesin kiri. Akibatnya pesawat menabrak sawah tiga kilometer dari lapangan terbang. Bagian ekor putus karena benturan dan sisa pesawat hancur total.
Dari sembilan penumpang dan awak, tujuh tewas di tempat. Dua lainnya, istri pilot Beryl dan Abdulgani Handonotjokro dilarikan ke Rumah Sakit Bethesda Yogya.
Beryl Constantine meninggal karena luka-lukanya di rumah sakit, sementara Handonotjokro selamat. Jenazah Abdul Rahman Saleh dan Adisucipto disemayamkan di Hotel Tugu yang menjadi markas sementara TNI AU. Usai upacara pengormatan kedua pahlawan ini dimakamkan di Makam Kuncen Yogyakarta.
Pilot dan anggota kru dimakamkan di Pemakaman Inggris. Bagian ekor pesawat ditemukan dan disimpan dengan di hangar lapangan terbang.
Balas Dendam Belanda
Biju Patnaik marah atas penembakan pesawatnya. Dia menghubungi Nehru yang segera menangani masalah ini dengan Belanda dan Inggris. Belanda awalnya membantah terlibat dalam kecelakaan itu. Namun, saksi-saksi Indonesia di lapangan melaporkan, Kittyhawk telah menembak Dakota.
Visum post mortem dari penerbang yang tewas memastikan bahwa mereka telah ditembak, karena ada peluru di tubuh mereka.
Belanda kemudian menyangkal mengetahui penerbangan kemanusiaan ini. Lalu beralasan tidak ada tanda Palang Merah di pesawat. Pada akhirnya mereka harus mengakui kesalahannya dan terungkap bahwa penembakan itu sebagai balasan atas pemboman yang dilakukan oleh dua taruna TNI yang bersemangat pada posisi Belanda di Semarang, Salatiga dan Ambarawa pada pagi yang sama. Protes keras Nehru membuat Belanda memberi India Dakota tua dan kompensasi finansial.
Pada tanggal 1 Maret 1948, sebuah monumen dibangun di Desa Ngoto tempat jatuhnya pesawat Dakota itu sebagai peringatan perjuangan kemerdekaan. Abdul Rahman Saleh dan Adisucipto dideklarasikan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada tahun 1974.
Sejak 1979, Angkatan Udara Indonesia memperingati Hari Bhakti untuk memperingati peristiwa itu dan mengenang semua yang meninggal.
Bantuan Nehru
Setelah Perang Dunia II, Jawaharlal Nehru menaruh perhatian besar pada perjuangan kemerdekaan di Asia Tenggara. Gerakan kemerdekaan di Indonesia di bawah Sukarno mendapat banyak dukungan terbuka dan diam-diam dari India. Nehru sangat ingin membangun supremasi India di wilayah tersebut.
Pada tahun 1946, Biju Patnaik ditunjuk membantu dengan pesawatnya. Dia menjalin persahabatan yang erat dengan Sukarno. Seringkali, istrinya Biju, Gyan, juga menemaninya dalam misi rahasia ini. Patnaik juga melatih terbang pilot AURI dengan pesawat Dakotanya seperti Abdul Rahman Saleh dan Adisucipto.
Rute pesawat terbangnya dari Kolkata dengan pemberhentian mengisi bahan bakar di Mohanbari dan Singapura. Misi rahasia yang pernah Biju Patnaik lakukan membawa Wapres Muhammad Hatta, Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan Dubes Sudarsono ke India. Selama membantu perjuangan Indonesia, penerbangan pesawat Biju ada empat kali kecelakaan fatal. (*)
Editor Sugeng Purwanto