PWMU.CO – STAIM Tulungagung berdiri Tahun 1986 atas inisiatif pimpinan persyarikatan setempat. Dalam pendiriannya didampingi oleh Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya).
Pada saat itu secara formal masih bernama Fakultas Tarbiyah UMSurabaya yang bertempat di Tulungagung. Sedangkan mulai berdiri sendiri dengan nama Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Muhammadiyah Tulungagung pada tahun 1987.
Tokoh pendirinya adalah Jahdin dan Masrun. Para pengajar awal kebanyakan aktivis persyarikatan yang juga dosen di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung. Termasuk Drs Moh Shoim.
Ketua pertama adalah Umar Daham (1986-1987). Kemudian digantikan oleh Jahdin (1987-2012). Lalu berturut-turut dipimpin oleh Prof Munardji (2012-2013) dan Nurul Amin (2013—sekarang).
Animo Masyarakat Meningkat
Saat kali pertama berdiri, yang bergabung ada sekitar 50 mahasiswa. Hingga tahun 1992 animo masyarakat mulai meningkat. Ada 100-an mahasiswa yang diterima setiap tahun.
Saat fenomena meningkatnya guru madrasah diniyah (madin) hingga tahun 1997 STIT Muhammadiyah Tulungagung dapat menampung lebih dari 200 mahasiswa per angkatan. Namun pada tahun 1998-2006 angkanya menurun ke 100-an mahasiswa. Setelah itu kondisi kembali stabil sekitar 150 mahasiswa per angkaa hingga sekarang.
Perluasan Lahan
Lahan yang digunakan untuk kampus—terutama Masjid Ikhwanul Muslimin—merupakan wakaf dari salah satu warga Muhammadiyah. Lambat laun tanah di sekitar masjid pun ikut dibeli oleh STAIM Tulungagung.
Perkembangan pembangunan cukup pesat hingga mendekati jalur rel kereta api di sisi barat. Total luas tanah yang sepenuhnya milik persyarikatan ini mencapai 5.000 meter persegi dengan dua lantai. Luasan ini belum termasuk kampus unit Kecamatan Campurdarat yang berdiri tahun 2.000 dan Kecamatan Bandung yang sudah ada sejak 2006.
Terhitung sejak tahun 1990 ketika Kementerian Agama (Kemenag) mewajibkan semua guru termasuk pendidik di madrasah mempunyai ijazah minimal D2, maka animo masyarakat untuk kuliah di STAIM Tulungagung mulai meningkat.
Tercatat saat itu menjadi masa emas perguruan tinggi Muhammadiyah (PTM). Tuntutan profesi memaksa para guru menuntut ilmu di kampus yang saat itu masih bernama STIT Muhammadiyah Tulungagung. Dan hampir semua mahasiswanya justru warga Nahdlatul Ulama (NU).
Lebih dari 85 Persen Warga Nahdhiyin
Jika didata, ada lebih dari 85 persen mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan yang bukan warga Muhammadiyah. Namun, ini justru menjadi kelebihan perguruan tinggi yang terletak di Kecamatan Kedungwaru, Kabupaten Tulungagung tersebut.
STAIM Tulungagung pun pernah mencatat fenomena yang membanggakan. Hampir semua guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di Tulungagung adalah lulusan di STIT Muhammadiyah Tulungagung. Bahkan beberapa di antara mereka sukses menjadi kepala sekolah bahkan juga menduduki orang nomor satu di Kemenag Tulungagung dan Trenggalek.
Dua warga NU yang sukses berkat kuliah di STIT Muhammadiyah Tulungagung adalah Sumarit dan Damanhuri. Sumarit berhasil menjadi nahkoda Kemenag Trenggalek dan Damanhuri menduduki jabatan serupa di Kabupaten Tulungagung.
Salah satu kelebihan STIT Muhammadiyah Tulungagung dijadikan tempat menimba ilmu adalah karena status keswastaannya. Justru karena kampus “plat hitam” maka para mahasiswa dapat menjalankan aktivitas utamanya sebagai guru.
Tidak dapat dipungkiri bahwa motivasi sebagian dari para pendidik tersebut adalah mencari ijazah. Namun, tidak sedikit pula yang memang murni ingin mencari wawasan tambahan.
Pemprov Jatim Percayakan Beasiswa Guru Madin
Puncak dari dominasi mahasiswa Nahdliyin di STIT Muhammadiyah Tulungagung terjadi tahun 2010. Saat Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur (Jatim) mempunyai program beasiswa Peningkatan Kompetensi Guru Diniyah.
STIT Muhammadiyah Tulungagung ketiban sampur menjadi penyelenggara pendidikan beasiswa tersebut. Seperti disampaikan Ketua STAIM Tulungagung Nurul Amin dalam wawancara virtual melalui aplikasi Zoom Sabtu, (26/9/2020).
STIT Tulungagung resmi menjadi STAIM pada tanggal 30 September 2012. Prasati peresmian gedung Sekolah Tinggi Agama Islam Muhammadiyah (STAIM) Tulungagung ditandatangani langsung oleh Wakil Gubernur Jawa Timur 2008-2018 Drs Saifullah Yusuf.
Para guru diniyah yang menangkap peluang tersebut 95 persen justru dari kalangan NU. Sesuatu yang bisa dimaklumi karena madrasah diniyah yang tersebar di Kota Marmer ini hampir semua bisa dipastikan berafiliasi dengan organisasi yang berlambang bola dunia dengan bintang sembilan tersebut. Guru diniyah Muhammadiyah memang ada yang ikut namun sedikit sekali.
Beasiswa ini terus berlanjut hingga tahun 2019. Dan tetap saja warga Nahdliyin yang mendominasi. Hal ini tidak pernah dipermasalahkan oleh pihak STAIM Tulungagung. Karena menurut Nurul Amin ini memberikan secercah cahaya. “Tidak perlu harus memilah. Semua berhak mendapatkan akses pendidikan,” katanya.
Mata Kuliah AIK Menjadi Penetral
Cerita unik sempat muncul saat para guru madin tersebut hendak mendaftar sebagai mahasiswa di STAIM Tulungagung. Mereka awalnya takut. Khawatir jika setelah resmi menjadi mahasiswa maka wajib menjadi anggota organisasi yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan tersebut.
Ternyata setelah dijalani tidaklah sengeri yang dibayangkan. Para guru madin itu semakin terbuka pikirannya tentang Muhammadiyah.
Mereka justru bertambah wawasan. Tidak lagi terlalu fanatik dan membenci persyarikatan. Keberadaan mata kuliah Agama Islam dan Kemuhammadiyahan (AIK) dapat menjadi penetral ‘kebencian’ yang sempat ada. Dalam proses perkuliahan juga tidak pernah terjadi perdebatan yang berarti. Para guru madin ini juga menikmati kuliah di STAIM Tulungagung dan tidak merasa terbebani.
Meskipun begitu, sedikit dari mereka yang pada akhirnya bergabung dengan Muhammadiyah. Mereka tetap istikamah di NU, namun ketika sudah lulus para pendidik tersebut bersedia mempromosikan STAIM Tulungagung melalui jaringan ikatan alumni yang dimiliki.
Rasa bangga tetap terpatri di dada. Tidak ada perasaan malu sama sekali. Hal yang patut diapresiasi dari mereka adalah tidak membenci Muhammadiyah sama sekali. Pemandangan seperti ini bukan hanya ada pada mahasiswa yang mendapatkan beasiswa Pemprov Jatim, namun juga mereka yang berbiaya mandiri dan berasal dari kalangan Nahdliyin.
Dosen NU Punya KTA Muhammadiyah
Dominasi non-Muhammadiyah di kampus yang berdiri tahun 1986 ini juga ada di level dosen. Meskipun begitu mereka juga tidak membenci organisasi berlambang matahari tersebut.
Bahkan hampir semua mempunyai kartu tanda anggota (KTA) Muhammadiyah. Para dosen tersebut memang tidak mempunyai latar belakang Muhammadiyah. Namun, mereka bersedia menyesuaikan dan tidak mempermasalahkan.
Sebelum resmi menjadi dosen, mereka terlebih dahulu diberikan pembekalan mengenai Kemuhammadiyahan. Para dosen yang sebenarnya tidak memiliki hubungan dengan Muhammadiyah tersebut lama kelamaan juga menerima pemahaman yang bagi mereka terhitung baru.
Sekali lagi, kampus yang terletak di Desa Ketanon, Kecamatan Kedungwaru, Kabupaten Tulungagung tersebut menebar manfaat bagi warga di luar Muhammadiyah. Tenaga kependidikan (tendik) pun mayoritas bukan warga persyarikatan.
Tahun 2000, STIT Muhammadiyah Tulungagung mulai membuka unit baru di Campurdarat. Sebenarnya kampus ini menginduk ke STIT Muhammadiyah Bangil, Pasuruan. Kebanyakan mahasiswanya adalah lulusan madrasah aliyah (MA) Ummul Akhyar, Campurdarat yang secara penampilan berpakaian sedikit berbeda dengan warga Muhammadiyah pada umumnya.
Mereka cenderung memanjangkan jenggot, bercelana di atas mata kaki, dan bagi perempuannya mengenakan cadar. Lagi-lagi sedikit perbedaan manhaj ini tidak mereka permasalahkan.
Kampus yang kemudian di tahun 2007 sepenuhnya dikelola oleh STIT Muhammadiyah Tulungagung tetap memberikan pencerahan bagi mahasiswa yang tidak sepemahaman.
Pada tahun 2006, di Kecamatan Bandung, Kabupaten Tulungagung didirikan sebuah kelas jarak jauh yang menginduk ke Universitas Muhammadiyah Surabaya. Lambat laun kelas tersebut juga dialihkelolakan kepada STIT Muhammadiyah Tulungagung. Seperti halnya di kampus pusat, pada waktu itu yang mendominasi adalah para guru Madin yang tentu saja berlatar belakang NU.
Majukan Umat Bangsa walau Berbeda
Tahun 2009 STIT Muhammadiyah Tulungagung sempat mempunyai kampus cabang di Kecamatan Watulimo, Kabupaten Trenggalek. Setidaknya bertahan hingga empat tahun untuk menampung para alumnus perguruan Muhammadiyah di daerah itu sebelum akhirnya merger dengan kampus cabang di Kecamatan Bandung, Kabupaten Tulungagung.
Berbeda dengan narasi sebelumnya, untuk konteks Watulimo yang dominan adalah warga persyarikatan sendiri. Namun, saat bergabung ke kabupaten tetangga lagi-lagi kader Nahdliyin yang mayoritas.
Begitu lah sejarah singkat STAIM Tulungagung, khususnPerubaya peran serta kiprah dalam melayani maupun memajukan umat dan bangsa, tanpa membeda-bedakan. Tidak patah semangat juga meski menjadi minoritas. (*)
Penulis Shubi Mahmashoni Co-Editor Nely Izzatul Editor Mohammad Nurfatoni