UU Cipta Kerja, Pintu Menuju Orde Babu? Kolom ditulis oleh Prima Mari Kristanto, akuntan berkantor di Surabaya.
PWMU.CO – Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang diusulkan pemerintah dan disahkan DPR 5 Oktober 2020 lalu, digadang-gadang sebagai jembatan emas perbaikan ekonomi, bisnis, dan investasi di Indonesia.
Belajar dari sejarah, keberadaan investasi asing bukan hal baru. Bahkan telah hadir sejak empat abad yang lalu di Nusantara bersama kehadiran VOC—persekutuan dagang dari Belanda.
Kehadiran VOC itu tak lepas dari pendirian bursa saham pertama di dunia tahun 1602 dan bank sentral pertama di dunia tahun 1606 di Amsterdam. Keduanya memperkokoh posisi Amsterdam dan Belanda dalam ekonomi dunia.
Posisi kota Amsterdam, Ibukota Belanda, sebagai kiblat keuangan dunia pada masanya memudahkan VOC memperoleh modal dalam ekpansi ke seluruh dunia termasuk Nusantara.
Jawa Tanah Harapan
Sejak pendaratan pertama kapal VOC di pelabuhan Banten tahun 1596, VOC melihat Nusantara, khususnya Jawa, sebagai tanah harapan sebagaimana bangsa Eropa menemukan benua Amerika.
Perlahan dan pasti awalnya VOC melakukan praktik perdagangan, berlanjut pada kegiatan perkebunan. Ketersediaan lahan yang subur dan tenaga kerja yang melimpah memudahkan VOC menggunakan tenaga kerja lokal yang murah. Berbeda dengan perkebunan-perkebunan di Amerika yang harus impor budak dari Afrika.
Bangsa Belanda yang melakukan praktik imperialisme dan kolonialisme di Nusantara menggunakan kata koeli untuk para pekerja bawah. Kini koeli atau kuli telah menjadi kosa kata bahasa Indonesia yang artinya kurang lebih pekerja kasar pada level paling bawah, resiko kerja paling berat dengan gaji atau upah paling sedikit.
Kata kuli sendiri berasal dari bahasa India/Hind, quli yang artinya pekerja sewa. Kata quli selanjutnya populer di kalangan bangsa imperialis Eropa di Asia. Kuli-kuli di Nusantara pada era VOC tahun 1596-1799 sebagian besar dipekerjakan pada perkebunan atau bekerja di lahan mereka sendiri sebagai kuli tanam paksa.
Memasuki era kolonialiasme mulai tahun 1800 setelah bangkrutnya VOC, peralihan status administratif menjadi Hindia Belanda (Netherland Indies) tidak membawa perubahan pada nasib masyarakat pribumi.
Trans Jawa: Anyer-Panarukan
Project pertama pemerintahan kolonial di bawah Gubernur Jenderal Daendels adalah pembangunan jalan trans Jawa: Anyer-Panarukan. Ini sebuah gebrakan. Project prestisius yang dimulai tahun 1816 mempekerjakan kaum narapidana dan rakyat jelata sebagai tenaga kerja rodi.
Tidak jauh berbeda dengan sistem-sistem ketenagakerjaan sebelumnya, sistem kerja rodi memakan korban jiwa dalam jumlah yang besar. Jalan trans Jawa menjadi urat nadi orientasi baru ekonomi “negara” Netherland Indies yaitu industri berbasis perkebunan khususnya industri gula.
Penemuan-penemuan ladang minyak dan bahan tambang lainnya serta perkebunan-perkebunan yang tetap dipertahankan menjadikan “negara” Netherland Indies cukup diperhitungkan sebagai tujuan investasi.
Penindasan dan Perjuangan Kemerdekaan
Sepintas “negara” Netherland Indies memberi banyak lapangan kerja pada masyarakat serta menyediakan jalur infrastruktur yang lengkap sebagai gaya hidup baru.
Akan tetapi kemajuan-kemajuan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi hasil perkebunan dan industri hanya sedikit dinikmati masyarakat pribumi sebagai penghuni kasta ekonomi paling rendah.
Kondisi di atas membangkitkan ghirah kaum nasionalis untuk mewujudkan Indonesia merdeka. Kemerdekaan sebagai tujuan politik setali tiga uang dengan tujuan ekonomi yaitu menjadikan warga negara Indonesia menjadi pelaku utama dalam politik dan ekonomi di tanah airnya sendiri.
Cita-cita merdeka terwujud dengan pembacaan Proklamasi 17 Agustus 1945 dan pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949 dari Belanda. Kemerdekaan menjadikan bangsa Indonesia bebas merumuskan cita-cita ekonomi dan politiknya.
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan cita-cita tersebut adalah, “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial.”
Petunjuk-petunjuk pelaksanaan cita-cita tersebut dijabarkan di dalam Batang Tubuh UUD 1945 pada pasal demi pasal yang jelas. Mengenai cita-cita ekonomi Indonesia merdeka menurut Bung Hatta—konseptor ekonomi dan Proklamator Kemerdekaan RI—ada pada pasal 27, pasal 33, dan pasal 34.
Pasal 27 tentang hak warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Pasal 33 tentang sistem ekonomi kekeluargaan, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara, bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pasal 34 dasar pemberian jaminan sosial pada fakir miskin dan anak-anak terlantar yang seharusnya dipelihara oleh negara.
Periode Indonesia Medeka tahun 1945 hingga 1965 yang dikenal sebagai Orde Lama belum mampu mewujudkan cita-cita ekonomi dan politik yang ideal.
Sistem ekonomi terpimpin dan politik demokrasi terpimpin yang anti-modal asing tamat setelah pertanggungjawaban Presiden Sukarno ditolak MPRS pada tahun 1967.
Presiden Soeharto tampil menggantikan Presiden Sukarno sebagai pejabat presiden pada tahun 1967 untuk melanjutkan cita-cita kemerdekaan dalam Orde Baru. Program-program ekonomi periode Orde Baru tertolong oleh kenaikan harga minyak mulai tahun 1969. Berturut-turut memasuki tahun 1970-an hingga 1980-an pembenahan sektor pertanian, perkebunan, perikanan dan industri tidak menemui hambatan yang berarti.
Dari Macan Asia hingga Teradinya Krisis
Tahun 1990-an ekonomi Indonesia mendapatkan julukan sebagai Macan Asia dengan kepercayaan lembaga-lembaga keuangan dunia memberi pinjaman modal pada sektor swasta. Tetapi tanpa disadari, banjirnya modal asing di Indonesia pada swasta menjadi masalah memasuki tahun 1997.
Kebutuhan devisa yang besar untuk pengadaan bahan baku impor dan membayar angsuran pinjaman menyebabkan guncangan sektor moneter. Puncaknya tahun 1998 nilai tukar mata uang dolar Amerika terhadap rupiah yang melonjak drastis menyebabkan krisis ekonomi, politik dan merambah segala bidang.
Tanpa disadari Indonesia menjadi korban praktik liberalisme ekonomi yang ditandai masuknya modal asing secara besar-besaran tanpa kemampuan melakukan pengendalian akan dampaknya, baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Era Reformasi setelah pergantian Presiden Soeharto oleh Presiden BJ Habibie pada 21 Mei 1998 sebagai era transisi menata ulang landasan ekonomi dan politik di Indonesia.
Dasar-dasar politik ekonomi yang penting pada era reformasi antara lain independensi Bank Indonesia, pemberdayaan UKM, koperasi, penyehatan BUMN dan perbankan.
Pergantian Presiden Habibie ke KH Abdurrahman Wahid, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Joko Widodo saat ini masih mengemban misi pemulihan ekonomi akibat krisis moneter tahun 1997/1998.
UU Cipta Kerja dan Kekhawatiran Terulangnya Sejarah
UU Cipta Kerja diyakini pemerintah dan DPR akan membawa kemajuan ekonomi di Indonesia. Tapi tidak mudah mewujudkan stabilitas ekonomi pascareformasi, sebagaimana stabilitas ekonomi dan politik era Orde Baru.
Kesadaran seluruh elemen bangsa untuk menjaga ketenangan penting demi mencari jalan keluar pro kontra UU Cipta Kerja. Investasi asing sebagai dilema atau seperti buah simalakama. Di satu sisi dibutuhkan namun pada sisi lain dikhawatirkan menjadikan hadirnya penjajahan ekonomi.
Orde Baru yang ditopang modal asing besar-besaran pada akhirnya terguncang. Kekhawatiran sejumlah pihak pada UU Cipta Kerja—termasuk dari Ormas Muhammadiyah, NU dan sejumlah akademisi perguruan tinggi—layak didengar pemerintah dan DPR.
Semua tidak ingin bersama omnibus law Indonesia memasuki era Orde Babu. Babu sebagaimana kuli, hanya menjadi pesuruh bangsa lain dalam tata kelola ekonomi di tanah air sendiri.
Maka pendidikan berkelanjutan dan berkemajuan sebagai salah satu metode terbaik agar bangsa Indonesia tidak menjadi bangsa babu di era milenial. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.