Borgol Itu Indah Pada Waktunya, kolom ditulis oleh Ady Amar, penikmat buku dan pemerhati sosial.
PWMU.CO – “Konsep hak-hak individuallah yang telah melahirkan masyarakat bebas. Bersama dengan kehancuran hak-hak individulah kehancuran kebebasan dimulai.” (Ayn Rand, The Virtue of Selfishness, A New Consept of Egoism)
Borgol itu menakutkan, punya kesan seram. Borgol bisa berbentuk apa dan dari bahan apa saja. Bisa dari bahan logam, tali, atau bahkan dari plastik sekalipun.
Borgol itu bermakna dua tangan seseorang yang diikat menjadi satu, agar yang bersangkutan tidak dapat melarikan diri dari apa yang diperbuat. Dan itu selalu berkonotasi negatif.
Borgol menjadi seram bagi siapa yang melihat, karena persepsi sudah dibentuk, dan lalu terbentuk, bahwa yang diborgol itu orang jahat.
Nelangsa Lihat Borgol KAMI
Hati ini agak nelangsa, saat Kamis (15/10/2020) sore melihat di sebuah televisi nasional, para aktivis yang menamakan diri Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) dipertontonkan pada khalayak oleh Kepolisian RI dengan tangan yang terborgol, meski dengan borgol plastik, dan baju tahanan oranye yang digunakannya.
Tampak Bung Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Anton Permana, dan lainnya dijejer bak teroris, atau seseorang yang melakukan kejahahan berat, saat konperensi pers di hadapan jurnalis media. Mengenaskan.
Kenapa mesti diperlakukan demikian kepada mereka yang mengkritisi kebijakan pemerintah, meski mereka disangkakan mentwit tulisan bernada keras yang menunjukkan perbedaan pandangan dengan pemerintah, dan itu tentang Omnibus Law.
Perbedaan pandangan dalam negara demokrasi itu hal biasa, dan justru itu positif, menjadi alat kontrol terhadap penyelenggaraan negara. Hanya negara otoriter yang memberangus perbedaan pendapat, yang hanya ada satu suara tunggal tentang kebenaran, dan itu suara rezim yang berkuasa.
Melihat perlakuan negara terhadap pengurus KAMI, mempertontonkan Syahganda cs, jika itu diikhtiarkan untuk mempermalukan KAMI di hadapan publik, maka bisa dipastikan ikhtiar itu melenceng jauh dari yang diharapkan.
Justru tidak mustahil akan memanen yang sebaliknya, muncul antipati dan rasa muak dari berbagai lapis kalangan. Bahkan dari kalangan yang selama ini disebut sebagai pembela presiden Jokowi sekalipun. Misal, apa yang disampaikan relawan Jokowi Mania (JoMan), Imanuel Ebenezer, yang mengkritisi penangkapan terhadap sejumlah aktivis KAMI.
Haris Rusly, aktivis yang turut menumbangkan rezim Orde Baru, merasa sedih melihat rekan sejawatnya diperlakukan layaknya pelaku kriminal berat.
“Saya sakit dan perih rasanya menyaksikan sahabat diborgol tangannya dan dikenakan rompi oranye kayak Djoko Tjandra,” tandasnya.
Gde Sriana Yusuf, Deklarator dan Komite Politik KAMI, dengan haru menyatakan, “Saya yakin, rakyat tidak bisa ditipu dengan tontonan borgol. Pejuang tetap pejuang meski dia diborgol…!”
Jika penangkapan aktivis ini diterus-teruskan, dan jika itu dimaksudkan untuk mem-pressure kelompok KAMI atau kelompok kritis lainnya, itu upaya sia-sia.
Akan Indah pada Waktunya
Ada ungkapan klise, tapi jarang jadi perhatian para pihak yang sedang berkuasa yang hanya mengandalkan power untuk menekan, pada tingkatan apa pun, bahwa “puncak dari ketakutan itu adalah keberanian”. Itu sulit dijelaskan. Semakin ditekan, maka semakin menjadi kekuatan besar, yang jika meledak dampaknya akan dahsyat. Tentu itu tidak kita inginkan.
Prof Din Syamsuddin, pagi ini setidaknya yang saya baca, mengeluarkan peringatan (tazkirah) cukup keras, yang itu bukan tabiatnya:
“Rezim ini semakin menunjukkan kelaliman. Para cendekiawan dipertontonkan kepada khalayak dalam konperensi pers dengan tangan diborgol. Adakah mereka lakukan hal yang sama terhadap para koruptor? Adakah mereka juga menangkap penyebar ujaran kebencian yang ada di depan mata mereka? Sungguh bentuk ketakadilan yang nyata. Allah Yang Maha Adil tidak tidur. Presiden Jokowi hentikanlah!”
Hal demikian memang seharusnya tidak perlu diterus-teruskan. Mendengar suara rakyat itu perintah konstitusi, meski sekalipun suara itu berbeda dengan apa yang dimauinya.
Gelombang demonstrasi akan terus menggelora. Bisa jadi akan makin besar dan membesar, sampai tujuan tercapai, yaitu dicabutnya undang-undang yang tidak berbasis pada kemauan rakyat, khususnya kaum buruh: Omnibus Law.
Tidak ada rezim yang mampu menahan kemauan mayoritas rakyatnya, meski penekanan demi penekanan diberikan. Rakyat akan terus bergerak mengambil hak untuk masa depan yang lebih baik. Tidak ada kekuatan yang bisa membendungnya, itu bagai air bah yang jika ditahan akan meledak dengan hentakan luar biasa. Blarr… mengerikan!
Berbahagialah Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Anton Permana, dan yang lain, mereka akan dicatat sejarah dengan tinta emas. Sejarah tidak akan melupakan borgol yang dikenakannya. Borgol itu pada masanya akan berbicara dengan decak kagum, seperti juga borgol itu dulu pernah dikenakan Soekarno, Hatta dan pahlawan lainnya. Sekali lagi, berbahagialah! (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.