Beda Pilihan dengan Penguasa oleh Ali Murtadlo, jurnalis di Surabaya.
PWMU.CO-Antara B (birth) dengan D (death) ada C (choice). Maka hidup adalah pilihan. Agar tidak tersesat, kita diberi bekal. Yakni, kitab suci. Sungguh jelas antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat (al-Baqarah 256). Untuk itu kita tidak dipaksa untuk memilih agama. Toh, sudah jelas jalan yang benar dengan yang tidak.
Untuk itu, kita disuruh berilmu. Karena tidak sama antara yang berilmu dengan yang tidak. Sesungguhnya hanya orang yang berakallah yang bisa mengambil pelajaran (az-Zumar: 9). Dan sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya hanyalah orang yang berilmu (al-Fathir 28).
Lalu, ada tokoh yang beda pilihan. Ada jenderal yang berbeda. Misalnya, Luhut Binsar Panjaitan dengan Gatot Nurmantyo. Sesama jenderal purnawirawan beda pilihan. Yang satu di pemerintahan, yang satu berada di seberang.
Ada Mahfud MD dan Din Syamsudin dan Rochmat Wahab. Mahfud, profesor yang berada di pemerintahan. Sedang Din dan Rochmat, dua profesor yang berada di seberang. Mahfud adalah tokoh NU, Din tokoh Muhammadiyah. Sedang Rochmat adalah mantan Rektor UNY yang juga tokoh NU.
Mahfud dan Luhut telah menjelaskan panjang lebar mengenai Omnibus Law yang ramai didemo. Gatot, Din, dan Rochmat telah menyampaikan surat kepada presiden agar mengevaluasi UU sapu jagat yang dianggap bermasalah ini.
Mahfud dan Luhut telah menunjukkan maksud baik pemerintah Jokowi mengenai UU ini. ”Tidak mungkin Pak Jokowi mau mencelakakan rakyatnya. Beliau sering mengatakan begini: biar saya sajalah yang merasakan menjadi rakyat yang susah,” kata Mahfud dan Luhut yang tampil bareng di Mata Najwa.
”Saya tahu persis bagaimana kesederhanaan Pak Jokowi. Beliau itu ingin sekali negeri ini maju lewat perundangan yang kondusif terhadap kemajuan. Kalau tidak ada payung hukumnya, Indonesia akan begini terus,” kata mereka.
Pengalaman Ditipu
Luhut menambahi. ”Saya punya cucu 17 tahun. Dia pesan begini: Opung. Nanti, jangan meninggalkan warisan yang membuat kami ikut disalahkan. Jadi kita ini ingin meninggalkan legacy yang baik untuk negeri. Jangan dianggap kita mau menjual negeri kepada asing,” katanya.
Yang berada di seberang juga berargumentasi dengan sangat kuat. ”Mengapa tergesa-gesa, mengapa bikin gaduh, mengapa tidak disebarkan dulu draftnya, mengapa begitu dipaksakan jika masih berpotensi bikin gaduh, mengapa menangkapi 9 tokoh KAMI,” kata mereka.
Najwa yang menjadi moderator menengahi dengan sindiran tajam. ”Karena kita-kita sudah pernah tertipu dengan UU KPK, Pak. Kita kan tidak mau tertipu dua kali,” katanya.
Adu argumen, menyampaikan aspirasi, berdemo adalah ciri pilihan kita memilih negara berdemokrasi. Maka sebaiknya menyikapi itu bagian dari demokrasi. Tidak menangkapi apalagi menggebuki.
Rakyat pasti memilih jalan yang benar dari yang sesat. Dan keduanya sudah sama-sama menjelaskan. Berargumentasi. Akhirnya faktalah yang paling tepercaya dan dipercaya. Bukan adu mulut yang berbuih-buih. Facts speak louder than words. Mari berlomba membuktikannya. Jadikan fakta, bukan sebatas kata. Salam!
Editor Sugeng Purwanto