Anarko, Kata Polisi, Kalau Menurut Anda? oleh Ali Murtadlo, jurnalis di Surabaya
PWMU.CO-Koran Tempo 16 Oktober berusaha menguaknya. Menganalisis 13 gambar CCTV yang diperolehnya selama 9 jam dikombinasi laporan lapangan. Kesimpulannya: perusakan dan pembakaran halte Transjakarta dan fasilitas umum lainnya dipastikan bukan oleh mahasiswa dan buruh.
Ciri pelakunya nyaris seragam. Pemuda 20-an tahun, mengenakan pakaian hitam, berbadan tegap, memakai sarung tangan sebelah dan menutupi mukanya dengan masker dan penutup kepala. Operasi pembakarannya nyaris bareng sekitar pukul 5 sore.
Mahasiswa tak mengenalnya. Ketika berhasil menghentikan dan menanyainya, keburu disemprot gas air mata. Lari terbirit. Baik mahasiswanya maupun perusuhnya.
Siapa mereka? Mengapa tega merusak fasilitas umum? Prof Pitoyo Hartono yang berkarier di Jepang menyampaikan keprihatinan lewat FB-nya. ”Mana ada orang yang lebih goblok dari merusak kotanya sendiri,” katanya.
Anarko Itu Kambing Hitam
Koordinator Media Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia, Andi Khiyarullah, mengatakan, mahasiswa pengunjuk rasa tak mengenal kelompok pemuda perusak ini. Sementara dua serikat buruh menyatakan, tidak ikut demo yang di Jakarta.
Versi polisi? ”Mereka pengangguran yang sengaja datang untuk merusuh,” kata Kahumas Polda Jakarta Kombes Yusri Yunus. Polisi menyebutnya sebagai anggota gerakan bawah tanah Anarko.
Koordinator Advokasi LBH Jakarta, Nelson Nikodemus Simamora, menyanggahnya. ”Anarko itu cuma narasi untuk mencari kambing hitam. Itu istilah bikinan polisi terhadap orang yang melakukan vandalisme,” katanya.
Pasal rusuh, anarkis dan ditunggangi memang dipakai aparat untuk menangkap 1.192 demonstran. Tak kurang tiga Menko langsung mengatakan itu: Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, dan Menko Polhukan Mahfud MD. ”Itu jelas ditunggangi,” kata mereka kompak.
Siapakah sesungguhnya mereka? Benarkah anarko, pemuda pengangguran yang sengaja bikin rusuh? Mengapa berseragam serba hitam? Mengapa gerakannya seperti terkoordinasi?
Lagi, demo besar menentang pengesahan Omnibus Law 8 Oktober itu meninggalkan tanda tanya? Seperti misteri kematian petugas Pemilu 2019 lalu? Siapa bisa menjelaskan dengan terang benderang investigasi koran Tempo dan pertanyaan kebanyakan rakyat ini? Salam!
Editor Sugeng Purwanto