Burung dari India dan Metafora Syahganda ditulis oleh Ady Amar, peminat buku dan pemerhati masalah sosial.
PWMU.CO – Seorang saudagar akan berangkat berniaga meninggalkan negerinya menuju India.
Sebelum berangkat, dia sempatkan mendatangi burung peliharaannya dalam sangkar, berpikir jika saja burung kesayangannya itu meminta oleh-oleh dari negara asalnya, India.
Namun, permintaan si burung mustahil dipenuhinya, karena ia minta dibebaskan. Lalu, burung itu hanya menitip pesan, “Maukah Tuan menyampaikan salamku pada keluargaku di sana, sampaikan bahwa aku baik-baik saja, dan hidup dalam sangkar.”
Sang saudagar itu menyanggupinya. Dia sempatkan mampir ke hutan di belahan India, dan menyampaikan pesan dari burung peliharaannya tanpa sedikitpun menambah atau menguranginya.
Setelah saudagar menyampaikan pesan itu, seekor burung dari jenis yang sama dengan yang dipeliharanya, yang bertengger di dahan, seketika pingsan dan jatuh ke bawah
Melihat itu, saudagar berpikir bahwa bisa jadi burung yang pingsan itu saudara dari burung yang dipeliharanya, dan dia merasa sedih karenanya, tersebab olehnya burung itu pingsan atau bahkan mati.
Sekembalinya saudagar itu dari India, sang burung bertanya padanya, adakah kabar menggembirakan yang engkau bawa?
“Tidak,” jawab saudagar itu, ” Sebaliknya aku membawa kabar buruk.” Diceritakanlah kejadian sebagaimana kejadian di hutan itu.
Mendengar cerita sang saudagar, burung peliharaannya itu pun pingsan, tampak tidak bergerak.
Kabar tentang saudaranya di hutan India itulah yang menyebabkannya ikut pingsan tak sadarkan diri.
Sang saudagar tampak bingung dan merasa menyesal hingga dua kali, bagaimana ini, gumamnya.
Diamatinya dalam-dalam, tidak terlihat nafas sang burung. “Oh, mati juga ternyata burung kesayanganku ini,” teriaknya penuh sesal.
Lalu diambilnya pelan-pelan burung itu dari sangkar, ditaruhnya di kisi-kisi jendela, sambil diamatinya burung yang lunglai itu dengan kesedihan mendalam.
Apa yang terjadi kemudian? Dengan sekejap burung itu terjaga dan secepat kilat terbang ke dahan pohon yang ada di sekitar rumah itu.
Sambil burung itu berkata, “Sekarang engkau tahu, bahwa yang menurutmu kabar buruk itu, bagiku itu kabar baik. Itulah sejatinya pesan dari saudaraku, sebuah cara untuk membebaskanku. Tentu engkau manusia tidak akan mampu menangkap isyarat itu.”
Lalu, burung itu terbang bebas merdeka, entah ke mana sesuka hatinya.
Bukan Sekadar Kisah Biasa
Kisah-kisah dalam khazanah Sufi, acap mengajarkan kebaikan hidup lewat kisah dengan menggunakan objek fabel, terutama burung.
Ada kisah yang dengan mudah ditangkap maknanya, namun ada juga yang sulit dipahami.
Kisah di atas adalah kisah fabel dari Jalaluddin Rumi. Kisah yang saya baca dari kumpulan Kisah Berhikmah, karya Idries Shah.
Tidak persis sama kisah di atas dengan aslinya, karena saya mereka-reka kisah yang pernah saya baca beberapa saat lalu, tapi substansinya lebih kurang sama.
Kisah di atas itu tentu metafora, yang penuh simbol-simbol. Dan tampaknya Rumi membebaskan kita untuk berselancar menafsirkan sesuka hati.
Karenanya, dalam konteks tertentu, “sangkar” itu pun sah-sah saja jika dimaknai upaya membungkam para aktivis kritis, khas negara otoriter.
Sedang “burung” dalam sangkar itu silakan pula jika ingin dinamakan dengan burung Syahganda, burung Jumhur, burung Kinkin, atau pakai nama lain sesuka hati.
Burung-burung itu pastilah menunggu waktu yang tepat untuk bisa bebas kembali berbicara dan berekspresi, sebagaimana kisah “burung dari India”. Tentu itu pada waktunya, dan dengan beragam cara yang dimungkinkan.
Kisah yang dibangun Rumi ini bukan sekadar kisah biasa, yang akan pupus ditelan zaman. Ia akan terus dikisahkan, pun dicantolkan pada peristiwa yang muncul. Itu tentang apa saja, termasuk kemerdekaan berpendapat, yang tidak seharusnya disekat dalam “sangkar” ketidakadilan… Wallahu a’lam. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.