Perpecahan Umat, pemicu awalnya karena belum ada lembaga peralihan kekuasaan sehingga tiap kelompok kekuatan merasa paling berhak mewarisi kepemimpinan.
PWMU.CO-Ketika Nabi Muhammad saw wafat, umat Islam terbagi dalam tiga kelompok kekuatan politik. Pertama, orang-orang Anshar, penduduk asli Madinah, yang merasa paling berhak mewarisi kepemimpinan Nabi.
Kedua, orang-orang Muhajirin, kaum pendatang dari Mekkah, pengikut awal Nabi. Ketiga, keluarga Nabi yang dikenal dengan ahlul bait. Masalah transisi kepemimpinan di masa kritis itu hampir saja memicu perpecahan umat.
Bersyukur, dua kelompok pertama setelah berdebat akhirnya tercapai kesepakatan mengangkat Abu Bakar menjadi khalifah melanjutkan kepemimpinan Nabi Muhammad saw mengendalikan negara dan pemerintahan yang saat itu sudah seluas jazirah Arab. Ancaman perpecahan pun bisa merekat kembali.
Namun pengangkatan sepihak tanpa melibatkan kelompok ahlul bait ini, kemudian hari menjadi multi tafsir sehingga membentuk kelompok oposisi yang semula laten tapi lama kelamaan mengkristal menjadi kekuatan yang mengganggu keutuhan umat Islam.
Lembaga Peralihan Kekuasaan
Satu penyebab kurang mulusnya transisi kepemimpinan di masa itu karena tidak ada lembaga peralihan kekuasaan yang secara eksplisit diatur Nabi. Akibatnya elite politik di Madinah kala itu masing-masing merasa punya hak dengan menafsirkan perkataan dan perbuatan Nabi yang berkaitan dengan siapa orang yang kira-kira pantas menggantikannya. Perpecahan umat selalu mengintai di saat ada transisi kepemimpinan mendadak.
Karena itulah pergantian khalifah tidak sama caranya. Umar bin Khattab menjadi khalifah karena ditunjuk oleh Abu Bakar menjelang akhir hayatnya. Sedangkan Utsman bin Afan terpilih berdasarkan musyawarah enam orang anggota formatur yang dibentuk Umar di saat sakit parah akibat penusukan Abu Lu’luah al-Majusi. Sementara Ali bin Abi Thalib langsung dibaiat penduduk Madinah menjadi khalifah begitu Utsman mati terbunuh.
Sepeninggal Ali yang juga mati terbunuh terjadi dualisme khalifah. Rakyat Kufah membaiat Hasan menggantikan ayahnya tapi di Damaskas Gubernur Syam, Muawiyah, memproklamasikan dirinya sebagai khalifah yang sah. Dengan kekuatan pasukannya, Muawiyah mengancam Hasan untuk menyerahkan tahta kepadanya dengan pemberian sejumlah kompensasi. Sejak itu Muawiyah memutuskan transisi kekhalifahan dimiliki anak keturunannya.
Di masa Khalifah Ali, perpecahan umat Islam makin pelik. Selain muncul kelompok-kelompok Khawarij yang menolak pemerintah, para sahabat Nabi juga terbagi dalam kelompok kepentingan yang memicu perang Jamal dan perang Shiffin.
Syiah Muncul
Kelompok lainnya adalah pendukung Ali yang digalang oleh Abdullah bin Saba’ yang kemudian dikenal dengan julukan Syiah. Kelompok ini sama militan dan ekstremnya dengan Khawarij dari sisi berbeda. Bahkan Ibnu Saba’ menciptakan dalil-dalil tentang Ali sebagai pewaris sah kekhalifahan seolah-olah pernah diucapkan Nabi. Bahkan dibangun mitos tentang Ali adalah nabi yang punya kelebihan dan karomah.
Ali sendiri khawatir dengan gerakan kelompok Ibnu Saba’ yang berlebihan memujanya. Akhirnya kelompok ini disingkirkan dan Ibnu Saba’ diasingkan ke Madain. Namun gerakan telanjur meluas kemana-mana.
Lebih-lebih ketika Ali akhirnya terbunuh oleh Abdurrahman bin Muljam, pengikut Khawarij, yang menuduh Ali penyebab kekacauan negara dan umat. Khawarij sebenarnya punya dua target lainnya yaitu Muawiyah dan Amru bin Ash. Tapi dua orang ini lepas dari maut.
Oposisi Dipersekusi
Ketika Muawiyah merebut tahta, maka pendukung Ali, baik dari kalangan Syiah, Khawarij dan oposisi lainnya ditangkapi, dikejar, dan dibasmi. Kelompok Syiah paling menderita karena hidup dalam ancaman dan tekanan. Sampai-sampai Muawiyah mewajibkan khotib Jumat mengecam dan mengutuk Ali, anak keturunan dan pendukungnya.
Dalam kondisi seperti ini makin membuat Syiah mengkristal. Sangat militan dan ekstrem baik gerakannya maupun ajarannya. Mereka menyebar ke penjuru bumi untuk menyelamatkan diri. Masyarakat yang hidup dalam penderitaan dan tekanan selalu mengharapkan adanya sang penyelamat yang bakal membebaskannya.
Maka Syiah membangun mitos tentang Imam Mahdi atau Ratu Adil. Muncullah keimanan kepada Dua belas Imam dari garis keturunan Ali bin Abi Thalib lengkap dengan balutan mukjizat yang melekat kepadanya sehingga layak disebut sebagai Sang Pembebas.
Ketika Revolusi Iran tahun 1979 berhasil menumbangkan Syah Reza Pahlevi maka semangat revolusioner itu menular ke penjuru umat Islam termasuk ajaran Syiah. Kini Syiah telah menjadi fakta sejarah. Secara fisik Syiah hampir sama dengan Islam tapi aqidah dan ajarannya ada yang berbeda dengan kalangan Sunni.
Sepanjang zaman, perbedaan ini bakal memicu pertentangan. Persoalannya, kelompok dominan bakal menuduh yang kecil sebagai devian atau menyimpang. Kelompok yang dianggap menyimpang hari ini, seperti Syiah, Ahmadiyah, Bahai, terus berjuang menjadi dominan agar terlepas dari tekanan dan persekusi. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto