Nguri-Uri Budaya Jawa oleh Ali Murtadlo, penulis di Surabaya.
PWMU.CO-Saya dapat kiriman buku dari Mas Dirman, senior saya di JP yang kini menjadi Pemimpin Umum Jaya Baya. Namanya majalah berbahasa Jawa, maka penulisannya pun pakai bahasa Jawa. Bersyukur di sebelahnya ada terjemahan bahasa Indonesia sehingga memudahkan pembaca memahami.
Buku itu kumpulan geguritan K.Sudirman berjudul Memetri Budaya Jawa. Pemberi atur pengiring atau kata pengantar ternyata juga bukan orang sembarangan. Dahlan Iskan. Mantan bos kami di JP. Menariknya DI menulis kata pengantar dalam bahasa Jawa kromo inggil.
”Ngantos sakmenika kula tasih saget nyerat migunaaken basa Jawa. Kula gadhah kanca-kanca ingkang lumintu ngintun WA kangge kula migunaaken basa Jawa. Kula inggih mangsuli dhateng piyambakipun migunaaken basa Jawa,” tulis Dahlan.
Artinya, sampai sekarang saya masih bisa menulis menggunakan bahasa Jawa. Saya punya teman-teman yang pintar mengirim WA kepada saya menggunakan bahasa Jawa. Saya juga menjawab kepada mereka dalam bahasa Jawa.
Yang menarik, kata DI, salah satu teman yang selalu mengirim WA dalam bahasa Jawa adalah teman Tionghoanya. Yang luar biasa, kata bos DIS’Way ini, bahasa Jawanya lebih baik daripada dia. ”Basa, solah bawa, dalah unggah-ungguhipun ngedap-ngedapi. Kula piyambak kalah, ngungkuli wong Jawa,” katanya. Artinya: Bahasa, tingkah laku, dan tata kramanya menakjubkan. Saya kalah, melebihi orang Jawa.”
Hingga sekarang DI masih senang membaca majalah Jaya Baya, berita maupun geguritannya (puisi). Dia juga mengajak kita untuk menikmati buku geguritan karya Mas Dirman ini. Menurut DI ada manfaatnya belajar bahasa Jawa. ”Saged nentremaken manah dalah ngalusaken budi pekerti (bisa untuk menerntreramkan hati dan juga menghaluskan budi pekerti),” kata mantan Dirut PLN dan Menteri BUMN ini.
Geguritan Jurnalistik
Inilah cara dua senior saya memetri (merawat) Bahasa Jawa. Saya sendiri juga masih berusaha untuk ikut nguri-uri (melestarikan) dengan kromo inggil kepada istri maupun kepada anak-anak. Agar tidak hilang. Meski begitu, kalau pas mudik ke Pacitan tetap dianggap bahasa Jawa saya sudah beda. Terutama logatnya. Sudah terpengaruh dengan basane Arek-arek Suroboyo, tempat saya tinggal sejak jadi mahasiswa hingga sekarang. Sudah 40 tahun. Di sini, di kotanya Bu Risma ini, kalau kromo inggil, banyak yang keberatan, terutama anak mudanya. ”Gak ngerti, Pak. Maaf,” katanya.
Menurut Mas Amang Mawardi, sastrawan Surabaya yang juga memberikan atur pambuka di buku ini, keunggulan buku ini, pembaca disuguhi puisi jurnalistik. ”Ya, bisa dimaklumi. Mas Dirman puluhan tahun menjadi jurnalis. Jadi, geguritannya sangat menjurnalistik,” kata Mas Amang, sahabat dekat Mas Dirman.
Amang memberi salah satu contoh yang diambil dari tulisan Mas Dirman berjudul Kenjeran Pesisir Legendaris.
Omah-omah ing tlatah pesisir iki katon resik
Saben omah wis akeh sing dirawat apik
Genteng lan tembok dicet warna warni
Para wisatawan seneng mlaku-mlaku ing pesisir iki
Anda paham? Syukurlah. Kalau tidak, jangan khawatir, ada versi bahasa Indonesia di sebelahnya.
Anda juga ingin memetri budaya Jawa yang dikenal adiluhung ini? Masih menggunakannya tiap hari? Jaya Baya dan buku ini bisa membantu nguri-uri. Salam!
Editor Sugeng Purwanto