PLPG akan berlanjut sampai 10 hari ke depan, kendati tidak diawali dengan pembacaan Basmalah yang sekalipun hanya bersifat simbolik. Nyaris alpa pada bagian tersebut, sangat mungkin disebabkan oleh atmosfir yang coba kuciptakan saat memberi sambutan pembukaan PLPG yang diikuti oleh sebanyak 150 peserta. Pak Kadir, sapaan akrab Dr. Adulkadir Rahardjanto, M.Si menyodorkan dua permintaan sekaligus, yakni pembukaan dan pengarahan.
(Baca juga:Satu Tanggal Satu di Bumi yang Satu: Catatan Penulis Buku “Ayat-Ayat Semesta” soal Kalender Hijriyah Global)
Saya tidak begitu mempersoalkan dua hal tersebut, karena memang sudah lazim. Tetapi Pak Kadir ternyata juga mempertegas durasi. Bukan 10 atau 15 menit, tetapi diharapkan selama 60 menit. Bahkan ini durasi minimal. Sebab Pak Kadir memberikan keleluasaan kepadaku melampaui durasi minimal tersebut. Artinya, aku bisa menggunakan waktu lebih dari satu jam.
Menyampaikan sambutan dengan gaya yang begitu resmi dalam durasi yang lumayan lama, di hadapan peserta yang sebagian baru datang beberapa menit sebelum pembukaan dimulai. Dan di antara peserta berasal dari Blitar sebagian mungkin belum makan siang, bisa-bisa hanya dalam hitungan lima menit selepas memberi salam pasti ada peserta yang mulai mengantuk dan berlanjut pada ketiduran.
Kalau begitu, ini panggungku. Selepas memberi salam, dengan durasi yang hanya dalam hitungan detik, saya kemudian mengambil posisi berdiri, tetapi bukan di mimbar. Karena memang tidak ada. Bukan pula di tempat tertentu, tetapi bergerak secara mindfullness.
Dalam gerakan tubuh yang coba kuatur secara ritmes itu, saya mulai berbagi pengalaman dengan peserta. Baik pengalaman kognitif dan empiris dengan satu tujuan, yakni saya ingin memberikan penyadaran bahwa guru itu adalah kurikulum yang hidup (the living curriculum). Dengan kata lain, guru adalah kurikulum itu sendiri.
(Baca juga: Dua Versi Pandangan tentang Arah Kiblat, Anda Pilih Mana?)
Sampai pada suatu titik kesadaran ini, membutuhkan suatu proses penyadaran yang lumayan panjang, lebih-lebih yang kudu (harus,red) dilakukan oleh guru itu sendiri. Penyadaran sampai kemudian berada pada titik kesadaran, bahwa dirinya sebagai the living curriculum. Sejatinya itu dimulai ketika dalam dirinya muncul keterpanggilan yang sejati ingin memilih sebagai guru.
Seumpama ditanyakan kepada mahasiswa yang sedang belajar program studi yang secara linear menjadikan dirinya sebagai guru di bidang tertentu, atau ditanyakan kepada beberapa guru yang telah menekuni profesinya, bahkan telah melebihi satu dekade, mengapa memilih profesi guru?, jawabanya pasti mengejutkan.
Sebut saja namanya Karin. Salah seorang peserta PLPG yang berasal dari Blitar ini mengaku telah melewati satu dekade lebih sebagai guru. Ketika saya bertanya ihwal ketertarikannya berprofesi sebagai guru, mengingatkanku pada jawaban salah seorang mahasiswaku dengan substansi pertanyaan sejenis. Namun saya lebih menekankan ketertarikannya kepada program studi yang secara linear kelak akan menjadikan dirinya sebagai guru agama.
Inilah jawaban Karin. “Sejatinya saya tidak memiliki pilihan lagi selain profesi guru”. Itu artinya, Karin sebenarnya ingin menjauhi profesi guru. Sementara jawaban mahasiswaku. ”Karena saya tidak diterima di program studi Teknologi Informasi, Pak”. Tidak ada perbedaan secara substansial antara jawaban Karin dengan jawaban mahasiswaku itu.
(Baca: Ini Dia Pola Tokcer Pengasuhan Anak)
Peserta lainnya, juga dari Blitar, sebut saja namanya Santi. Santi juga telah lebih satu dekade menjadi guru. Santi memang semenjak awal menjatuhkan pilihan kepada profesi guru. Karena itu, selepas dari jenjang pendidikan menengah atas, Santi melanjutkan kuliah dan memilih program studi bidang keguruan.
Baca halaman 3