Menarik memerhatikan definisi tersebut yang, alih-alih menekankan peran guru sebagai pengajar dengan tugas utamanya sekedar mengalihkan pengetahuan tertentu kepada murid-muridnya. Tetapi, ini yang sangat penting, guru adalah merupakan seorang figur yang menjadi model, sumber inspirasi, dan membantu murid-muridnya dalam pencapaian evolusi spiritual.
Sekedar mengajar, guru hanya dituntut memperkaya kaya dirinya dengan ilmu pengetahuan tertentu yang terkait dengan mata pelajaran yang diampu. Penting juga guru menguasai metode yang lebih variatif untuk mengalihkan ilmu pengetahuan tersebut. Tetapi itu masih jauh dari memadai. Artinya, ‘pinter’ saja belum cukup.
Aku mengimajinasikan keberadaan guru yang pada dirinya, di samping memiliki keunggulan dari sisi pengetahuan, juga melekat sifat-sifat kepribadian yang positif yang melejitkan murid-muridnya bertransformasi dalam berbagai aspek.
Mungkin contoh berikut ini terlalu membias kepada pengalamanku. Sejak kecil, kira-kira berusia 7 tahun, saya sudah menyukai guru. Salah satu permainan favoritku adalah ‘sekolah-sekolahan’. Dalam setiap permainan itu, aku selalu menjadi guru. Nah, keinginan menjadi guru kian melejit ketika berjumpa dan diajar oleh Ustadz Manaf di sebuah madrasah ibtidaiyah atau Sekolah Dasar (SD) yang tidak terlalu jauh dari rumahku. Ustad Manaf inilah yang kian menambah semangatku menjadi guru.
Bukan karena motif ekonomi. Karena antara tahun 70-an dan 80-an, alih-alih punya sepeda motor, guru saya jalan kaki dari rumahnya ke sekolah lantaran tidak punya sepeda ontel. Namun, Wajah ustadz Manaf memancarkan kebersahajaan, ketelatenan, ketulusan, dan ketegasan.
Wajah itulah yang menjadi magnet bagiku, sehingga aku mengafirmasi untuk kali kesekian, kelak aku harus menjadi guru agama. Pada diri, atau tepatnya wajah Ustadz Manaf, terpancar sifat-sifat asasi pendidik sebagaimana dikemukakan Abdullah Nashih Ulwan dalam kitabnya, Tarbiyatul Aulad fil Islam. Dalam kitab ini, disebutlah lima sifat-sifat asasi pendidik. Di antaranya ikhlas, taqwa, berilmu, santun/pemaaf, dan menyadari tanggung jawab. Kalau ingin ditambahkan sifat zuhud (tidak terlampaui mencintai kesenangan duniawi), salah satu sifat yang harus melekat pada guru sebagaimana ditulis oleh KH. M. Hasyim Asya’ari dalam Etika Pendidikan Islam, maka pada wajah Ustadz Manaf juga terpancar sifat tersebut.
Bagiku, Ustadz Manaf adalah contoh the living curriculum. Aku tidak tahu apakah Ustadz Manaf mengikuti beraneka ragam workshop, training, seminar seperti sekarang ini. Sepertinya kok tidak pernah. Karena Ustadz Manaf selalu terlihat di sekolah. Kalau dugaanku benar, berarti Ustadz Manaf bisa melakukan CPD secara mandiri. CPD yang kumaksud adalah ‘continues personal development’.
Apakah keikutsertaan guru dalam PLPG bisa mentransformasikan dirinya sebagai the living curriculum? Aku mengharapkan bisa seperti itu.
catatan Prof Syamsul Arifin, Guru Besar dan Wakil Rektor 1 Universitas Muhammadiyah Malang
Malang, 7 Oktober 2016 (Ditulis di beberapa tempat seperti di kampus 2 jelang mengajar di Farmasi; Masjid Muhajirin jelang menyampaikan khutbah Jum’at, kampus 1 jelang ujian)