KH Muchlis Sulaiman, Mubaligh-Politisi Hafidh Quran, ditulis oleh Fathurrahim Syuhadi, Ketua Majelis Pendidikan Kader (MPK) Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Lamongan.
PWMU.CO – KH Muchlis Sulaiman merupakan tokoh Muhammadiyah yang langka. Pada masa hidupnya, sangat langka dijumpai seorang mubaligh, politisi, dan pimpinan Muhammadiyah yang hafidz (hafal) al-Quran.
Muchlis Sulaiman lahir tanggal 22 Juli 1951, putra pasangan Kiai Sulaiman dan Sholihah yang berasal dari Desa Sedayulawas, Kecamatan Brondong. Dia adalah anak ketiga dari emat bersaudara. Yaitu Chafid Sulaiman, Shofiyah, Muchlis Sulaiman Sulaiman, dan Mahgfiroh.
Muchlis Sulaiman mulai menempuh pendidikan formal di madrasah ibtidaiyah (MI) di Sedayulawas, lulus tahun 1964. Pendidikan setingkat SLTP dan SLTA diselesaikan di Kertosono. Yakni di Madrasah Sanawijah-Alijah (Tsanawiyah-Aliyah), lulus tahun 1970.
Semasa menjadi pelajar, dia aktif sebagai pengurus Pelajar Islam Indonesia (PII) di Kertosono pada tahun 1966. Semasa di Kertosono ia juga aktif di Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM).
Setelah itu ia melanjutkan kuliah di Fakultas Ilmu Agama dan Dakwah (FIAD) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Namun tidak sampai selesai. Selama kuliah di Yogyakarta, ia aktif di persyarkatan dan banyak bergaul dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah seperti KH AR Fachrudin.
Sedangkan pendidikan non-formal banyak ditempuh di pesantren. Seperti menjadi santri ayahnya di Sedayulawas. Sulaiman—sang ayah—adalah kiai yang cukup disegani di daerah pantura Lamongan.
Dia juga pernah nyantri di Pondok Pesantren Taman Pengetahuan Kertosono, Nganjuk, tempat ia menempuh pendidikan Tsanawiyah-Aliyah. Juga Pesantren Persis Bangil, Kabupaten Pasuruan dan Pondok Langitan Widang, Tuban
Aktivis Muhammadiyah Babat dan Lamongan
Muchlis Sulaiman aktif di Muhammadiyah Babat sejak tahun 1975. Pada Musyda Muhammadiyah Lamongan di Babat tahun 1976, diberi amanat sebagai ketua panitia. Musyda ini sukses dan menghasilkan kepemimpnan KH Ahmad Zahri sebagai Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Lamongan periode 1976-1977.
Selain itu pemilik nomor baku Muhammadiyah (NBM) 482.131 itu pernah mendapat amanah sebagai Wakil Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Babat tahun 1978-2000. Pada periode selanjutnya ia menjadi penesihat.
Di PDM Lamongan ia menjadi Ketua Majelis Tarjih 1976-1985 dan Wakil Ketua PDM Lamongan sejak tahun 1985 sampai 2010. Karena itu bisa dibilang jika Muchlis Sulaiman adalah saksi sejarah periode kepemimpinan PDM Lamongan. Dari masa RH Moeljadi, KH Ahmad Zahri, KH Abdurrahman Syamsuri, KH Abdul Fatah, KH Afnan Anshori, hingga KH Abdul Hakam Mubarok.
Selain di Muhammadiyah, Muchlis Sulaiman aktif memimpin Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kecamatan Babat dan Kabupaten Lamongan. Dia menjabat sebagai wakil ketua. Fatwa-fatwanya menjadi rujukan anggota MUI lainnya.
Menurut salah satu anaknya: Ali Ahmadi alias Mamak, Muchlis Sulaiman sangat disegani oleh para kiai dan santri di Pondok Langitan—meskipun berbeda kultur. Tausiah dan nasihatnya sangat diperhatikan. Bahkan dia berkawan baik dengan mendiang KH Abdulah Faqih, kiai sepuh Pondok Langitan.
“Bapak juga ikut membidangi berdirinya YPPI 1945 Babat. Yayasan ini dipimpin H Yasin Rodli yang menaungi lembaga pendidikan MI, MTs, MA, dan balai pengobatan,” ungkap Mamak.
Mengasuh Pondok Muhammadiyah Babat
Muchlis Sulaiman adalah seorang guru sejati. Baik guru dalam pengertian formal maupun filosofis. Ia pernah menjadi guru MI di Jompong, Brondong, Lamongan; Madrasah Aliyah Yayasan Taman Pendidikan di Kertosono, dan SMA Muhammadiyah 1 Babat.
Beliau juga guru bagi masyarakat luas. Dia adalah pengasuh berbagai pengajian. Dan yang paling dikenal adalah sebagai Pengasuh Pondok Pesantren Muhammadiyah Babat dan Pondok Pesantren Putri Al Aqsho Babat.
Pondok Pesantren Muhammadiyah Babat didirikan pada tahun 1981. Pada tanggal 18 Nopember 1982 diresmikan oleh Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur KH Anwar Zain. Sementara Pondok Pesantren Putri al-Aqsho Babat menjadi bagian dari pondok keluarga.
Di pondok tersebut Muchlis Sulaiman dibantu oleh para santri senior seperti Abdul Muhaimin, Slamet Riyadi (alm), Helman Sueb, dan Sarmadi.
Alumni kedua pondok ini tersebar di mana-mana. Mereka kini memegang peran penting di masyarakat dengan berbagai profesi. Misalnya Mukayat Al-Amin yang aktif di Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah dan menjadi anggota Lembaga Sensor Film (LSF).
Ada pula Aziz Alimul Hidayat sang Wakil Rektor II Universitas Muhammadiyah Surabaya atau Mohammad Nurfatoni—Pemimpin Redaksi PWMU.CO dan Direktur Cakrawala Print.
Juga Ujik Silvian anggota DPRD Lamongan; Diyana Mufidati dan Yuli Widiawati, dua alumnni yang jadi aktivis Nasyiatul Aisyiyah dan Aisyiyah Kabupaten Lamongan.
Termasuk Rohim Aziz pengusaha antarpulau; Abdul Basith sang pemilik rumah makan Bajak Laut Tuban; Letkol Adm. Agus Kristiono Komandan Skadik 503 Wingdum, Bogor; dr Sriyono; dan sebagainya.
Dakwah lewat Partai Politik
Selain mengabdi sebagai guru dan mubaligh, Muchlis Sulaiman juga terjun ke dunia politik. Dia aktif di PPP (Partai Persatuan Pembangunan) sejak 1983 sampai era reformasi.
Keterlibatannya sebagai politisi didorong keinginannya untuk memperjuangkan aspirasi umat Islam. Menurutnya banyak kebijakan-kebijakan politik yang harus dikawal di lembaga legislatif.
Niatan itu semakin kuat karena mendapat dorongan politisi senior PPP, Muntholib Sukandar—kini Wakil Ketua PDM Lamongan.
Muntholib sebelumnya menjadi anggota DPRD II Kabupaan Lamongan. Setelah ia dicalonkan PPP sebagai anggota DPRD I Jawa Timur, maka ia meminta Muchlis Sulaiman menggantikan posisinya di Lamongan.
Muchlis Sulaiman akhirnya dua periode terpilih sebagai anggota DPRD II Kabupaten Lamongan dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan. Yaitu periode 1982-1988 dan 1988-1993.
Tidak mudah bagi Muchlis Sulaiman melakoni hidup sebagai politisi di masa Orde Baru. Banyak rintangan dan tekanan dalam memperjuangkan hak-hak rakyat. Tapi bagi dia untuk menegakkan amar makruf nahi mungkar di parlemen tidaklah jauh berbeda dengan medan perjuangan sebagai mubaligh.
Kritikan dia yang tajam di parlemen sering menjadi referensi bagi pemerintah Kabupaten Lamongan dalam bersikap.
Mubaligh Sederhana
Muchlis Sulaiman adalah mubaligh yang sederhana. Pada tahun 80-an, dia selalu bersepeda onthel saat akan berkhutbah atau menghadiri pengajian di sekitar Babat—juga ketika berangkat mengajar. Saat bersepeda, pandangannya selalu lurus ke depan. Tak pernah menoleh ke kanan atau ke kiri.
Pandangan lurus ke depan itu juga tergambar dalam dakwahnya. Beliau dikenal sebagai mubaligh yang sangat tegas memegang prinsip. Suaranya lantang memberikan peringatan: mengajak yang makruf dan mencegah kemungkaran.
Yang juga melekat dalam kesederhanaannya adalah pantang menolak menghadiri undangan pengajian, walaupun jaraknya cukup jauh. Beliau tidak mempermasalahkan dijemput dengan kendaraan jenis apa. Bahkan sering dibonceng sepeda motor padahal jarak tempuhnya lebih dari 50 km, di waktu malam lagi.
“Beliau tidak pernah menolak jika diminta mengisi pengajian meskipun mendadak atau payah,” kata Hilman Sueb.
Ketika diajak jamuan makan pun, Muchlis Sulaiman pantang menolak makanan yang dihidangkan. Ia juga tidak pernah menyisahkan sedikitpun makanan yang disuguhkan tuan rumah.
Hafal Quran sejak Muda
Muchlis Sulaiman sudah hafal al-Quran saat berusia 21 tahun. Dia menghafalkan al-Quran secara mandiri. “Biasanya dengan menyendiri di tempat favoritnya: di sebuah gubuk di tengah kebun milik keluarga Hj Siti Chodijah di daerah Wedung, Sedayulawas, Brondong, Lamongan,” ungkap Mamak yang kini menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Putri Al Aqsho, Babat.
Pada saat itu sangat langka ditemui seorang mubaligh dan pimpinan Muhammadiyah yang hafal al-Quran. Tradisi hafalan al-Quran belum sesemarak sekarang.
Muchlis Sulaiman sering berkata, jika menghafal al-Quran itu tak sesulit merawatnya. Karena itu banyak waktu yang dia gunakan untuk nglalar (mengulang-ulang hafalan)—bahasa sekarang murajaah. Misalnya sambil menunggu rapat beliau selalu ‘membaca’ hafalannya.
Begitu juga di waktu senggangnya. “Sering beliau terlihat nglalar di teras pondok di waktu sore. Selain rutinitas nglalar jam dua dini hari,” ungkap Mohammad Nurfatoni, salah satu santri tahun 1984-1987.
Mengulang-ulang hafalan juga dilakukan saat jalan-jalan berolah raga pagi. Kadang ia berolah raga sedirian, kadang bersama Bulek—sebutan khas santri untuk istrinya: Siti Wahyuni. Di momen seperti ini mulutnya pun tidak pernah berhenti melantunkan ayat-ayat suci.
Kadang dia tak segan-segan meminta orang lain, termasuk santrinya, untuk menyimak murajaah-nya. Salah satunya adalah Mubarok MZ—kini Sekretaris MPK PDM Lamongan.
Sebagai seorang kiai yang hafal al-Quran Muchlis Sulaiman akan tahu ketika ada bacaan santri yang darusan al-Quran di kamar-kamar pondok. “Beliau dari jauh sudah tahu dan langsung membenarkan bacaan santri yang salah,” kata Mohammad Nurfatoni, Selasa (27/10/2020).
Cerita soal hafalan ini juga dituturkan Helman Sueb. “Beliau mempunyai kebiasaan membangunkan santrinya sebelum adzan Subuh dengan sajadahnya, sambil menghafalkan al-Quran,” kenangnya.
Cara Mengkader Santri
KH Muchlis Sulaiman sangat sadar arti penting pengkaderan. Banyak santrinya yang dikader menjadi mubaligh dengan cara menjadi kader kintil. Seperti diakui Diyana Mufidati.
“Saat itu, saya santri yang sering diajak beliau ke mana-mana. Kalau beliau mengisi pengajian, yang mengundang ditanya, ‘Sudah adakah yang qiraah? Kalau belum, saya punya santriwati yang bisa qiraah” ungkapnya.
Tak hanya itu Diyana Mufidati juga merasa dikader sebagai guru TPA. “Paginya saya sekolah di SMA Muhammadiyah 1 Babat dan sorenya ngajar di TPA,” ujarnya.
Soal pengkaderan itu juga diakui Helman Sueb.
“Kalau diundang pengajian, beliau selalu mengajak salah satu santrinya. Beliau adalah seorang kiai yang sangat sabar dan telaten dalam membimbing santrinya. Contohnya melatih santrinya untuk menjadi imam shalat wajib, khutbah Jumat, dan beliau menjadi makmum.”
Pengalaman menarik soal itu pernah dialami Mohammad Nurfatoni. Usai tampil dalam acara muhadharah (latihan berpidato) Pak Muchlis—sapaan akrabnya—langsung menunjuknya sebagai khatib shalat Jumat menggantikan dirinya.
“Besok, Fatoni menggantikan saya jadi khatib Jumat! Saya ada acara di luar kota,” perintah sang kiai. Mendapat amanat itu, santri asal Desa Keduyung Kecamaran Laren itu tidak bisa menolak, meskipun dia grogi bukan main karena baru kali pertama itu akan menjadi khatib Jumat.
“Perintah itu cukup mengguncang saya. Bagaimana tidak? Saya, yang masih remaja kelas II SMA Muhammadiyah 1 Babat dan belum pernah sekalipun menjadi khatib Jumat, harus menggantikan khutbah seorang kiai ternama?” kisahnya.
Karena tidak boleh menolak perintah kiai, maka dia, mau tidak mau, harus siap dan mempersiapkan diri. Karena tak pantas santri menolak perintah kebaikan dari kiai.
“Tibalah hari Jumat yang penuh debar itu,” cerita dia. Dia pun berkhutbah. Yang bikin dia terkejut luar biasa, ternyata, Pak Muchlis tidak jadi pergi luar kota dan justru menjadi jamaah yang harus dia ceramahi.
“Saya berkhutbah sambil grogi setengah mati karena dilihat langsung oleh Pak Mucklis,” ungkap Mohammad Nurfatoni.
Namun usai shalat, hatinya merasa plong sebab Pak Muchlis langsung bangjit berdiri dan berkata pada jamaah, “Undur ma qala walatandur man qala (perhatikan apa yang disampaikan dan jangan lihat siapa yang menyampaikan).”
“Pak Mukhlis mungkin ingin meyakinkan pada jamaah, bahwa meskipun khatibnya masih remaja, tapi materi yang disampaikan tetap harus diperhatikan. Tapi begitulah Pak Mukhlis mendidik dan memberi kenangan hidup yang tak terlupakan pada saya,” ujar Mohammad Nurfatoni yang mengaku sejak itu dia sering ditunjuk menjadi khatib, termasuk saat pulang ke desa.
Wafat Usia 62 Tahun
Muchlis Sulaiman menikah dengan Siti Wahyuni pada Juli 1974 dan dikaruniai enam anak. Yaitu Hanif Nabawi (tenaga pendamping pertanian Kecamatan Laren); Nuha Nabawi (guru SMK Muhammadiyah 5 Babat); Burhan Ahmadi (karyawan di RS Muhamamdiyah Lamongan; Ali Ahmadi (guru SMA Muhammadiyah 1 Babat, Ziadah (pengajar TPQ dan pengasuh Pondok Putri Al-Aqsho); dan Fattimah Ummu Abdillah (pengajar TPQ dan pengasuh Pondok Putri Al-Aqsho).
Putra-putri Muchlis Sulaiman pernah mengenyam pendidikan di Muhammadiyah. Mereka juga mengikuti jejak Muchlis Sulaiman untuk aktif di amal usaha Muhammadiyah dan persyarikatan. Bahkan dua putrinya adalah hafidhah.
KH Muchlis Sulaiman wafat pada tanggal 17 Oktober 2013 di usia 62. Beliau dikebumikan di Makam Islam Banaran, berdampingan dengan makam mertuanya H. Yasin. Semoga jejak langkah perjuangannya bisa menginspirasi generasi penerusnya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.