PWMU.CO-Saat Kongres Pemuda II berlangsung di Jakarta, 28 Oktober 1928, di meja pimpinan sidang Mohammad Yamin menyodorkan kertas dan berbisik kepada Ketua Panitia Soegondo Djojopuspito.
”Ik heb een eleganter formulering voor de resolutie,” kata Yamin dalam bahasa Belanda. Artinya, saya punya formulasi yang lebih elegan untuk keputusan kongres ini. Begitu yang diceritakan Sugondo Djojopusito dalam tulisannya Ke Arah Kongres Pemuda II, Media Muda Tahun I No. 6 & 7.
Soegondo membaca kemudian setuju dan memberi paraf pada kertas itu. Formulasi resolusi Kongres Pemuda itu yang sekarang dipolitisasi dan terkenal menjadi Sumpah Pemuda. Isinya
Pertama: Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia.
Kedua: Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia.
Ketiga: Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Di situ ada ironinya. Resolusi ketiga berbunyi menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia tapi saat kongres para peserta ternyata berbicara bahasa Belanda. Bukan bahasa Melayu yang dalam kongres itu kemudian dinamakan bahasa Indonesia.
Peserta kongres adalah para pemuda yang bersekolah Belanda sehingga mahir berbahasa Belanda yang sehari-hari dipakai di sekolah dan pergaulan. Mereka baru pakai bahasa Jawa atau Melayu ketika berbicara dengan orang tak berpendidikan yang tak bisa berbahasa Belanda.
Setelah kongres pun bahasa pergaulan kaum terdidik ini masih pakai bahasa Belanda dalam pergaulan. Budayawan Umar Khayam yang juga dosen UGM pernah mengeluarkan guyonan bahwa di antara kaum feodal, Bahasa Belanda menjadi bahasa kromo inggil paling tinggi yang hanya dipahami golongan mereka.
Walaupun begitu setidaknya Kongres Pemuda ini telah menetapkan identitas baru sebagai bangsa Indonesia. Bukan lagi memakai nama Hindia Belanda, Nederland Indie, atau Oost Indies alias Hindia Timur.
Meskipun nama Indonesia itu sebenarnya juga ciptaan orang asing yang juga masih berbau kata India. Sebab artinya pulau India.
Notulen Juga Bahasa Belanda
Sejarawan Batara R. Hutagalung dalam tulisannya menjelaskan, notulen dan keputusan hasil Kongres Pemuda I dan II ditulis dalam bahasa Belanda karena saat itu menjadi bahasa pengantar. Juga belum ada kesepakatan pemakaian bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan.
Dia menceritakan, Kongres Pemuda II 1928 merupakan pematangan dari pembahasan satu nusa, satu bangsa, satu bahasa di Kongres Pemuda I pada tanggal 30 April – 2 Mei 1926.
”Jadi yang dibacakan pada 28 Oktober 1928 adalah hasil belasan kali pertemuan besar tokoh-tokoh organisasi pemuda pribumi sejak tahun 1925 dan puluhan kali diskusi-diskusi yang intensif,” jelasnya merujuk buku sejarah 45 Tahun Sumpah Pemuda.
Putusan kongres yang dibacakan pada 28 Oktober 1928 sudah sangat rinci dibahas dalam Kongres Pemuda I. Namun masih ada kendala, antara lain, belum ada kesepakatan tentang nama bahasa persatuan untuk bangsa yang dibentuk.
Mohammad Yamin menginginkan agar Bahasa Melayu ditetapkan sebagai bahasa persatuan dengan nama Bahasa Melayu. Tapi Mohammad Tabrani Soerjowitjitro, Ketua Panitia Kongres I, mengusulkan nama Bahasa Indonesia. ”Karena belum tercapai kesepakatan, maka perumusannya ditunda sampai kongres kedua,” tuturnya.
Bung Karno Tak Hadir
Dalam Kongres Pemuda di Jakarta itu rasanya ada yang kosong. Yaitu tidak ada nama Sukarno alias Bung Karno menjadi peserta. Padahal Bung Karno sejak kuliah di Technische Hoogeschool Bandung sudah menjadi aktivis.
Pada tahun itu usia Bung Karno dengan pemuda lainnya juga sebaya. Memang dia lebih tua terpaut satu-dua tahun di antara aktivis pemuda. Mohammad Yamin dan Soegondo waktu itu umurnya 25 tahun. Sunario umurnya 26 tahun, Amir Syarifuddin 21 tahun.
Kalau Mohammad Hatta alias Bung Hatta tidak hadir karena masih berada di Belanda antara tahun 1921 hingga 1932. Hatta kuliah di Handel Hoogeschool. Setelah lulus masih bekerja dan aktif menjadi ketua Perhimpunan Indonesia.
Bung Karno kuliah di Bandung tahun 1922-1926. Setelah tamat kuliah masih menetap di kota itu lalu membentuk Perserikatan Nasional Indonesia tahun 1927 sebagai cikal bakal Partai Nasional Indonesia (PNI).
Boleh jadi Bung Karno lebih mengutamakan urusan PNI daripada menghadiri Kongres Pemuda. Kemungkinan pula Bung Karno sudah mengutus peserta dari anggota Algemeense Studie Club pimpinannya untuk hadir di acara itu.
Kegiatannya di politik menjadikan Sukarno ditangkap Belanda pada 24 Desember 1929 saat berada di Yogyakarta. Lantas dia diadili di Bandung tahun 1930 yang melahirkan pledoi Indonesia Menggugat. Masuk penjara Sukamiskin 9 Desember 1930 hingga 31 Desember 1931.
Terjun ke Politik
Setelah Kongres Pemuda, sebagian besar aktivisnya memilih terjun ke dunia politik untuk mewujudkan cita-cita membentuk tanah air dan bangsa Indonesia.
Ketua Panitia Soegondo Djojopuspito setelah lulus kuliah tahun 1930 menjadi guru Taman Siswa di Bandung dan aktif di PNI. Tahun 1934 ditangkap Belanda karena aktivitas politiknya. Karena tak terbukti makar dia dilepas lalu pindah ke Bogor.
Kemudian pindah Semarang dan Surabaya menjadi wartawan De Indische Courant Soerabaia. Setelah itu pindah ke Bandung menjadi guru lagi. Pindah lagi ke Jakarta bekerja sebagai wartawan De Bataviaasch Nieuwsblad. Tahun 1941 menjadi Direktur Kantor Berita Antara.
Zaman kemerdekaan masuk anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Lalu dangkat menjadi Menteri Pembangunan Masyarakat di masa RIS. Tahun 1950 dia pensiun di dunia politik memilih hidup tenang sebagai guru Taman Siswa di Yogyakarta hingga wafat tahun 1978.
Yamin juga aktif di politik masuk di Partai Indonesia (Partindo) tahun 1932 lalu Gerakan Indonesia (Gerindo). Menjadi anggota Volksraad tahun1938-1942. Lalu menjadi anggota BPUPKI. Zaman kemerdekaan menjadi anggota DPR lalu Menteri Kehakiman, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Sosial, dan Menteri Penerangan. Meninggal tahun 1962.
Sunario aktif di PNI. Lalu menjadi anggota KNIP. Kemudian diangkat sebagai Menteri Luar Negeri. Pensiun dunia politik menjadi Rektor Universitas Diponegoro Semarang dan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Amir Sjarifuddin juga aktif di politik bersama tokoh komunis Muso. Aktif di PKI dan Partai Sosialis Indonesia (Pesindo). Bekerja sama intelijen dengan pemerintah kolonial Belanda untuk menghadapi Jepang. Zaman kemerdekaan menjadi menteri dan Perdana Menteri.
Terlibat dalam pemberontakan PKI Madiun tahun 1948. Kemudian dieksekusi mati setelah tertangkap 19 Desember 1948. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto