Penghina Nabi Alami Nasib seperti Ini oleh Sugeng Purwanto, Ketua Lembaga Informasi dan Komunikasi PWM Jawa Timur.
PWMU.CO-Ketika guru Perancis Samuel Paty mengajarkan kebebasan berpendapat kepada muridnya di kelas, mengapa dia memakai kartun Nabi Muhammad sebagai bahan olok-olok?
Seandainya saja dia memakai kartun Presiden Emmanuel Macron atau Presiden Donald Trump menjadi bahan olok-olok sepuasnya, pasti dia aman dan masih hidup hingga kini.
Melihat pilihan alat peraga itu, Samuel Paty bukan mengajarkan kebebasan berpendapat tapi membenci Islam dan Nabi Muhammad saw. Kalau hanya mengajarkan kebebasan berpendapat banyak cara dan alat peraga yang dipakai untuk memudahkan muridnya memahami.
Namun dia memilih objek seorang nabi yang sangat diagungkan umatnya. Itu menunjukkan Samuel Paty mengekspresikan kebencian dirinya terhadap Islam. Sebenarnya dia mengajarkan kebencian bukan kebebasan berpendapat.
Akibat ulahnya itu terjadilah peristiwa tragis. Dia mati di tangan pemuda 18 tahun yang membela kehormatan agama dan nabinya. Lalu Presiden Emmanuel Macron mengecam pembunuhan itu dengan menjelekkan Islam sebagai agama bermasalah dan teroris. Akibatnya dia mendapat tekanan dari penjuru dunia. Produk Perancis pun diboikot yang membuatnya termehek-mehek.
Sebenarnya di Perancis sudah beberapa kali penghinaan seperti ini terjadi. Misalnya, dilakukan majalah satir Charlie Hebdo yang berulang kali membuat karikatur menghina Nabi sehingga menimbulkan reaksi keras umat Islam. Mestinya itu bisa menjadi pelajaran untuk memahami dan menghormati agama orang lain. Tapi yang muncul justru makin keranjingan menjadikan bahan olok-olok. Kata pelawak Basman angel temen tuturane…..
Kebebasan berekspresi untuk mengeluarkan pendapat dalam praktiknya telah menyimpang menjadi menyebarkan ekspresi kebencian. Kebencian kepada agama, tuhan, nabi, ras. Ada orang yang mengatakan itu sah-sah saja. Atas nama demokrasi. Demokrasi seperti inikah yang kita inginkan?
Nasib Penghina di Zaman Nabi
Saat perjalanan perang Tabuk, ada sekelompok orang di barisan belakang ngrasani Nabi dan sahabat yang berada di barisan depan. Kelompok ini terpaksa ikut perang karena takut disebut laki-laki pengecut dan pecundang. Mereka mengolok-olok Nabi dengan perkataan seperti ini.
”Belum pernah kami melihat ahli baca al-Quran ini, orang yang lebih buncit perutnya, lebih dusta lisannya dan lebih pengecut dalam peperangan.”
Rasan-rasan itu terdengar oleh sahabat Auf bin Malik, maka dia laporkan kepada Nabi. Lalu turun surat At Taubah ayat 65-66. Ayat itu menerangkan, dan jika kamu tanyakan kepada mereka, tentu mereka akan menjawab, sesungguhnya kami hanya bercanda dan bermain-main saja. Katakanlah, apakah dengan Allah, ayat-ayatnya dan rasulnya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu minta maaf karena kamu kafir sesudah beriman.
Orang-orang itu, penghina Nabi, hanya mendapat sanksi moral. Dicap sebagai munafik. Menjadi orang-orang kafir sesudah beriman.
Lain lagi saat futuh Mekkah. Rasulullah memerintahkan pasukannya untuk membunuh tujuh orang penghina Nabi dan Islam. Di antaranya adalah Sarah, budak perempuan. Satunya lagi Abdullah bin Khathal bersama dua penyanyi wanitanya yang syair lagunya selalu menghina Nabi.
Begitu juga Asma’ binti Marwan, wanita munafik dari Bani Khatmah yang suka menghina Islam dan Nabi, maka seorang sahabat dari Bani Khatmah diizinkan membunuhnya. Setelah kematian wanita itu, orang-orang di kaum itu berani terus terang menyatakan keislamannya.
Penghina Nabi dan provokator lainnya seperti Sallam bin Abu al-Huqaiq, Ka’ab bin Asyraf, Rifa’ah bin Qais dieksekusi oleh sahabat yang berani melakukannya. Bahkan Abu Sufyan bin Harb pernah menjadi target pembunuhan dengan mengirim Amr bin Umaiyah tapi gagal.
Tanda Kezaliman
Sekarang, kalau ada orang menghina agama kemudian dikecam pasti mereka balik menuduh pengecamnya sebagai fanatik, primordial, rasialis, antibineka.
Lebih runyam lagi kalau penguasa membelanya. Maka dibuatlah berbagai alasan untuk memaklumi perkataan yang salah itu. Jeleknya, ternyata kekuasaan kemudian balik mencari-cari kesalahan orang yang memprotesnya untuk dibungkam. Kalau perlu dimasukkan penjara.
Jika itu terjadi maka gejala kezaliman kekuasaan mulai muncul. Kalau menemukan zaman ini, janganlah sungkan untuk mengingatkan penguasa. Bila penguasa tidak mengakui kesalahannya dan makin bertindak sewenang-wenang bisa dibenarkan menggunakan kekuatan hingga kezaliman itu tumbang.
Nabi Muhammad bersikap diam ketika dihina hanya waktu di Mekkah. Sebab saat itu Nabi belum punya kekuatan, kekuasaan, dan pasukan. Begitu hijrah ke Madinah kemudian membangun kekuasaan dan kekuatan, maka para penghina Allah, al-Quran, dan Nabi dieksekusi mati.
Berdemokrasi adalah praktik menghargai hak orang lain. Bukan mengumbar syahwat pribadi untuk kepentingan diri sendiri. Perilaku penguasa yang berdalih demokrasi pun ketahuan sikapnya kemana mereka berpihak. Kalau ada rakyat beramai-ramai menuntut keadilan sampai berdarah-darah, itu tanda ada yang tak beres dengan penguasa. (*)
Editor Sugeng Purwanto