Bukti Cinta Kita pada Rasulullah ditulis oleh Ustadz Muhammad Hidayatulloh, Pengasuh Kajian Tafsir al-Quran Yayasan Ma’had Islami (Yamais), Masjid al-Huda Berbek, Waru, Sidoarjo.
PWMU.CO – Kajian Bukti Cinta Kita pada Rasulullah ini berangkat dari hadits riwayat Bukhari.
عن عبد الله بن هشام قال: كُنَّا مع النبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ وهو آخِذٌ بيَدِ عُمَرَ بنِ الخَطَّابِ، فَقالَ له عُمَرُ: يا رَسولَ اللَّهِ، لَأَنْتَ أحَبُّ إلَيَّ مِن كُلِّ شيءٍ إلَّا مِن نَفْسِي، فَقالَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: لَا، والذي نَفْسِي بيَدِهِ، حتَّى أكُونَ أحَبَّ إلَيْكَ مِن نَفْسِكَ فَقالَ له عُمَرُ: فإنَّه الآنَ، واللَّهِ، لَأَنْتَ أحَبُّ إلَيَّ مِن نَفْسِي، فَقالَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: الآنَ يا عُمَرُ. رواه البخاري، ومسلم
Dari Abdullah bin Hisyam berkata: “Kami pernah bersama Rasulullah ﷺ dan beliau memegang tangan Umar bin Khattab. Lalu Umar berkata, “Ya Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali diriku sendiri.”
Kemudian Rasulullah ﷺ berkata, “Tidak, demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, (imanmu belum sempurna) hingga aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.”
Kemudian Umar berkata, “Sekarang, demi Allah, engkau (Rasulullah) lebih aku cintai daripada diriku sendiri.”
Kemudian Rasulullah ﷺ berkata, “Saat ini pula wahai Umar (imanmu telah sempurna).”
Cinta Rasulullah
Sebagaimana Allah berfirman:
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ. فَإِن تَوَلَّوْا فَقُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ ۖ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ.
“Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami. (Dia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman.
Maka jika mereka berpaling (dari keimanan), katakanlah (Muhammad), ‘Cukuplah Allah bagiku. Tidak ada tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘Arsy (singgasana) yang agung.” (at-Taubah 128-129).
Rasulullah mencintai umatnya secara totalitas, dan hal itu merupakan wujud pengejawantahan terhadap konsepsi langit yaitu dienul Islam. Dan terpenting merupakan pengejawantahan terhadap sifat Allah yang ar-Rahman dan ar-Rahim.
Sehingga dalam hal ini cinta Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia sungguh merupakan cinta yang tidak ada batasnya. Dan wujud cinta itu adalah diturunkan islam sebagai konsepsi kehidupan bagi umat manusia.
Cinta Umat pada Allah dan Rasul
Lalu bagaimana cinta umat manusia kepada Allah dan Rasul-Nya? Cinta kepada Allah tidak dapat dipisahkan dengan cinta kepada Rasulullah. Cinta kepada Rasulullah juga tidak dapat terpisah dengan cinta kepada Allah.
Di sinilah makna syahadatain itu. Asyhadu anla ilaaha illallah wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhu wa rasululuh. Yakni persaksian setiap diri bahwa tidak ilah kecuali hanya Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya.
Selama kita tidak dapat merasakan kasih sayang Allah dan Rasul-Nya, maka kita juga tidak akan mampu membalas cinta Allah dan Rasul-Nya dengan baik pula.
Karena seolah semua yang kita rasakan dalam hidup ini biasa-biasa saja, bahkan semua ini dirasakan sebagai anugerah karena prestasi kita sendiri yang hebat dan luar biasa, sehingga tidak ada hubungannya dengan kasih sayang Allah.
Atau merasa karena Allah sangat sayang kepada diri kita sendiri sehingga tidak ada hubungannya dengan orang lain yang juga turut berjuanga demi meraih cita-cita.
Syariat Allah tidak menjadi pertimbangan dalam hal ini. Akan tetapi seringkali terjebak pada hukum kapitalis yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai islam. Jika demikian selanjutnya semua permasalahan akan diselesaikan dengan cara kapitalism.
Rasulullah selama dalam kehidupannya tercurah dalam rangka memberikan kasih sayang kepada umatnya. Bahkan sampai akhir hayat—dalam satu riwayat, terucap dari lisan beliau yang mulia: ummati … ummati … ummati … umatku … umatku … umatku. Begitulah kekhawatiran beliau sangat besarnya kepada umatnya ini.
Tentu sudah sepantasnya kita senantiasa membalas dengan mencintai Rasulullah dengan baik dan benar. Dan di antara perintah Allah untuk kita mencintai Rasulullah adalah dengan memperbanyak membaca shalawat atas beliau.
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا.
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah untuknya dan bersalamlah dengan sebenar-benar salam.“ (al-Ahzab: 23)
Bukti Cinta Rasululullah
Ayat di atas dimulai dengan Allah dan para malaikatnya bershalawat kepada Rasulullah. Sudah pasti jika Allah bershalawat berarti ada jaminan bahwa Rasulullah merupakan insan kamil yang selalu dalam naungan Rahmat-Nya.
Maka kemudian jika kita diperintah untuk bershalawat untuk Rasulullah adalah sebagai wujud cinta kita kepada beliau, bukan dalam rangka karena beliau butuh didoakan dengan shalawat tersebut. Hal ini sekaligus agar kita tidak terjebak sebagaimana umat terdahulu yang melampui batas dalam rangka bersikap kepada nabinya.
Buah dari cinta kita kepada beliau adalah berusaha meneladani apa yang telah beliau tauladan kepada kita dalam seluruh aspek kehidupan kita.
Hadits di atas memberikan penjelasan yang sangat jelas dan gamblang, bahwa cinta kepada Rasulullah haruslah di atas cinta kepada apapun termasuk kepada diri kita sendiri. Maka sudah sepatutnya jika Rasulullah dihina kita sebagai umatnya merasa tersinggung berat.
Akan tetapi sikap kita juga tidak boleh melampui batas karena bisa jadi mereka tidak tahu bagaimana pribadi beliau yang akhlaquhul quran atau akhlak beliau adalah al-Quran.
Kita doakan semoga yang menghina beliau akan diberikan petunjuk oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. amin (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Artikel ini adalah versi online Buletin Jumat Hanif Edisi 9 Tahun ke-XXV, 30 Oktober 2020/13 Rabiul Awal 1442 H.
Hanif versi cetak sejak 17 April 2020 tidak terbit karena pandemi Covid-19 masih membahayakan mobilitas fisik.