PWMU.CO – Muhammadiyah disarankan untuk mulai berfikir menjadikan politik sebagai amal usaha. Kemegahan Muhammadiyah dengan berbagai amal usaha (AUM) yang dimiliki, ternyata tidak cukup untuk menaikkan posisi tawar politiknya. Muhammadiyah selalu berada pada posisi yang lemah karena blok pembuat Konstitusi dan UU selalu berlawanan dengannya.
Prof Bahtiar Effendy menyampaikan hal itu pada acara Konsolidasi Organisasi – Pimpinan Wilayah dan Pimpinan Daerah Muhammadiyah se-Jawa Timur, di Universitas Muhammadiyah Ponorogo, Ahad (16/10).
(Baca: Turba di Bumi Reog, Ketua PWM Tekankan Gerakan Kesalehan Sosial)
“Kita boleh demo tetapi yang membuat undang-undang tetap mereka. Apalagi jika eksekutifnya dari kalangan yang berseberangan dengan Persyarikatan. Maka diperlukan pemikiran untuk untuk memulai menjadikan politik sebagai amal usaha,” kata Bahtiar. Ia mengajak Muhammadiyah mulai menyiapkan kader untuk jabatan-jabatan politik dari manapun partainya. “Peristiwa kegagalan dalam pemilihan DPD, adalah modal untuk menata lebih baik di 2019.”
(Baca juga: Turba PWM 2016, Ajang Konsolidasi Muhammadiyah Jatim untuk Bangsa)
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama itu juga mengatakan bahwa pandangan Muhammadiyah dalam menjaga jarak yang sama pada partai politik sebagai pola berpikir yang ambigu. “Ternyata hal itu hanya pepesan kosong,” kata dia. Bahtiar menambahkan, yang terjadi di lapangan, hanya dengan partai politik yang ‘dilahirkan’ Persyarikatan komunikasi dapat dijalin. Sementara dengan yang lain tidak. “Tidak mungkin Muhammadiyah bisa membangun kedekatan yang sama antara PAN dan Partai Damai Sejahtera (PDS),” Bahtiar memberi contoh.
(Baca juga: Gaji Guru Muhammadiyah Rp 400 Ribu, Ketua PWM pun Menangis Haru)
Selain membahas hubungan Muhammadiyah dengan politik, Bahtiar juga menyoroti pola pandang masyarakat Indonesia yang terkungkung oleh propaganda semu para penjebak media sosial. “Sebenarnya semua itu diarahkan untuk kepentingan politik sesaat,“ ujarnya. Bayangkan, kata Bahtiar, foto seorang tokoh yang hanya makan bersama lawan politik mereka, ditafsirkan secara subyektif. Bahkan dihujat ramai-ramai tanpa melihat rekam jejak tokoh tersebut yang secara konsisten membangun peradaban yang indah. (Nugroho)