Menghitung Hari Berlaku Tidaknya Omnibus Law, kolom ditulis oleh Prima Mari Kristanto, warga Muhammadiyah Lamongan; seorang akuntan.
PWMU.CO – Menghitung Hari—lagu yang dipolulerkan oleh Krisdayanti itu tepat untuk menanti pemberlakuan UU Cipta Kerja. Kebetulan sang biduan saat ini menjadi wakil rakyat yang ikut mengesahkan UU tersebut di DPR pada 5 Oktober 2020 lalu.
Sejumlah langkah telah dilakukan pemerintah sebelum memutuskan berlaku tidaknya UU omnibus law itu. Di antaranya meminta masukan dari sejumlah ormas Islam termasuk Muhammadiyah. “Draf” UU Cipta Kerja telah dikirimkan ke sejumlah pihak yang dianggap mampu memberi masukan.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Haedar Nasir pada 21 oktober 2020 menyarankan kepada Presiden Joko Widodo untuk menunda pelaksanaan UU tersebut. Sebuah sikap yang cukup moderat mengingat isi UU Cipta Kerja secara komprehensif belum dikaji secara mendalam.
Tidak dipungkiri ada hal-hal baik di dalam UU Cipta Kerja, tetapi yang terlanjur tampak di permukaan atas UU tersebut adalah hadirnya kekerasan aparat pemerintah pada masyarakat yang menolak atau sekadar mempertanyakan pasal-pasal krusial tertentu.
Kekerasan demi kekerasan serta ada kesan yang dipaksakan pada pengesahan UU Cipta Kerja sangat melukai semangat musyawarah, mufakat, dan kekeluargaan.
Menghitung Untung Rugi
Selain menghitung hari, menghitung untung rugi dipastikan lebih menguras energi pemerintah dan para pelaku usaha termasuk pekerja.
UU Cipta Kerja sebagai UU yang—menurut versi pemerintah—bertujuan memajukan ekonomi, mengejar pertumbuhan, dan menciptakan sebanyak-banyaknya lapangan kerja ditengarai oleh sebagian kalangan menyimpan masalah besar. Antara lain isu lingkungan, pertanahan, kepemilikan aset dan lain-lain.
Menyikapi sejumlah kesimpangsiuran informasi itu, pemerintah dituntut meningkatkan kualitas dan kuantitas komunikasi perihal UU Cipta Kerja. Ekonomi negara sebagai ekonomi makro berbeda dengan ekonomi mikro perusahaan dan korporasi yang hanya mempertimbangkan laba rugi.
Ekonomi makro negara selain harus tumbuh mencatatkan surplus transaksi berjalan dan anggaran, juga dituntut mampu memenuhi tanggung jawab sosial memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa melalui program-program pemerataan hasil pembangunan, kesempatan kerja, berusaha dan sebagainya.
Ekonomi kekeluargaan sebagai cita-cita Indonesia merdeka tertulis dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 1. “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan.”
Banyak pihak beranggapan jika ekonomi kekeluargaan hanya untuk koperasi. Wakil Presiden Mohammad Hatta seorang ekonom sekaligus konseptor ekonomi nasional memaparkan bahwa azas kekeluargaan bukan untuk koperasi saja.
Koperasi yang membagi struktur modalnya dalam bentuk simpanan pokok, simpanan wajib, simpanan sukarela, dan sebagainya dekat dengan asas kekeluargaan dalam kepemilikan usaha oleh anggota.
Tetapi asas kekeluargaan sebagai semangat dan watak asli bangsa Indonesia bisa berkembang menjadi praktik kerja dengan semangat kebersamaan dan kegotong-royongan. Karena itu asas ini bisa diterapkan pada koperasi, korporasi, BUMN, UKM, yayasan, dan entitas ekonomi lainnya.
Dalam aspek ekonomi mikro perusahaan, korporasi, koperasi, dan yayasan menganggap entitas usaha sebagai rumah tangga keluarga. Jamaknya dalam keluarga yang harmonis, sakinah, mawadah, warahmah yang mengutamakan kebersamaan, solidaritas, kehangatan dan keterbukaan dalam segala suka dukanya.
Perbedaan posisi dan jabatan pada perusahaan diberlakukan sebagaimana bapak, ibu, kakak, adik dan anggota keluarga lain yang memiliki tugas dan tanggung jawab berbeda-beda. Seluruh target kerja dan beban kerja perusahaan yang berasas kekeluargaan diselesaikan dengan semangat gotong-royong sesuai bidang keahlian, risiko serta kekuatan masing-masing.
Dalam tatanan ekonomi makro negara, asas kekeluargaan menjadikan tiap-tiap warga negara sebagai anggota keluarga yang perlu diperhatikan haknya dalam mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak.
Kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan sebagai kebutuhan dasar yang harus disediakan oleh negara untuk warga negara. Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara tertulis dalam UUD 1945 pasal 34.
Asas kekeluargaan ditetapkan sebagai dasar landasan pembangunan ekonomi bertujuan untuk mengikis nilai-nilai imperialisme dan feodalisme yang selama ratusan tahun dijalankan oleh pemerintah penjajahan.
Dalam Deklarasi Ekonomi Nasional tahun 1963, Presiden Soekarno menyebut imperialisme dan feodalisme sebagai praktik penghisapan manusia atas manusia harus lenyap dari bumi Indonesia merdeka.
Ekonomi kolonial yang bercorak imperialisme dan berorientasi pertumbuhan sukses memberi pemasukan pada negara induk Belanda, sementara Hindia Belanda sebagai “negara” koloni hanya diperhatikan infrastruktur fisiknya.
Kemajuan dan kecanggihan sarana prasarana jalan, pelabuhan, industri, dan lain-lain di negara koloni tidak membawa dampak pada kemajuan ekonomi dan kualitas hidup masyarakatnya.
Memasuki alam kemerdekaan sejak 17 Agustus 1945, usaha memajukan ekonomi tidak selurus yang direncanakan dan seideal yang dicita-citakan dalam UUD 1945. Revolusi fisik periode 1945 sampai 1949 mengganggu konsentrasi memajukan ekonomi.
Awal berdirinya negara, strategi pembangunan ekonomi bercorak sosialis. Tetapi strategi ini mengalami kegagalan akibat dominannya kelompok komunis.
Pergantian pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru awalnya sangat baik dalam membawa kemajuan dan pertumbuhan ekonomi. Sikap-sikap represif dan kekerasan Orde Baru serta kebebasan berpolitik sepintas membawa pada stabilitas ekonomi yang baik.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, murah sandang, pangan bahkan sempat mengalami swasembada pangan tahun 1980-an seperti menjadi “pembenaran” sikap politik Orde Baru selama 30 tahun yang menyederhanakan sistem kepartaian.
Tahun 1997/1998 menjadi momen introspeksi seluruh bangsa tentang sistem politik dan ekonomi yang dibangun Orde Baru ternyata rapuh seperti balon (bubble economy). Ekonomi yang tampak wah dan indah tetapi isinya keropos karena sangat tergantung pada modal utang, bukan modal kekayaan atau ekuitas.
Menghitung Hari Berbuah Pilu?
Memasuki tahun 2020 setelah 22 tahun Reformasi, hadir Undang-Undang Cipta Kerja. Pro kontra UU tersebut menimbulkan silang pendapat antara pihak DPR dan Pemerintah pada satu sisi dan masyarakat pekerja, aktivis serta mahasiswa pada sisi berbeda.
Pemerintah dan DPR mengklaim UU tersebut baik dan sangat dibutuhkan. Tetapi pola komunikasi yang tampak di permukaan dominan kekerasan demi kekerasan. Sikap represif aparat keamanan pada pengunjuk rasa membuat sebagian besar kalangan bertanya-tanya benarkah UU Cipta Kerja baik?
Jika baik kenapa tidak berusaha disampaikan secara baik-baik dengan semangat kekeluargaan sesuai asas ekonomi nasional yang dicita-citakan pendiri bangsa?
Kekerasan dalam ekonomi sebagai praktik ekonomi kolonialisme, imperialisme, komunisme, dan liberalisme bertentangan dengan asas ekonomi kekeluargaan yang ingin diwujudkan dalam alam kemerdekaan dulu, kini dan yang akan datang.
Menjelang satu bulan pada 5 November 2020 sejak pengesahan UU Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020, pemerintah beserta seluruh tokoh dan elemen masyarakat benar-benar sedang menghitung hari.
Semoga ending-nya tidak sepilu lagu Menghitung Hari milik Krisdayanti yang melukiskan patah hati. Wallahu’alam bishshawab. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.