Jenderal Mallaby ditembak mati arek kampung Ampel dalam insiden baku tembak di Jembatan Merah. Perkara ini yang memicu perang 10 November 1945.
PWMU.CO-Pertempuran dua hari, 28-30 Oktober di Surabaya menjadi pemicu perang 10 November 1945 yang lebih dahsyat. Dalam pertempuran ini Brigjen Aubertin Walter Sothern Mallaby, Komandan Brigade 49, tewas dalam baku tembak itu pada 30 Oktober 1945. Mobil buick yang ditumpanginya juga terbakar.
Tentara Inggris datang ke Surabaya untuk mengatur peralihan kekuasaan dari Jepang kepada Sekutu sekaligus mengurus tawanan perang dan melucuti senjatanya. Ini sesuai Perjanjian Yalta yang diadakan oleh negara pemenang Perang Dunia II yaitu AS, Inggris dan Uni Sovyet.
Sekutu tidak mengakui Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Karena itu Sekutu berencana menyerahkan Indonesia kepada Belanda melalui NICA (Netherlands Indies Civil Administration) yang diakui sebagai penguasa sebelum Jepang.
Jenderal Mallaby dan pasukannya berkekuatan 6.000 tentara India mendarat di Surabaya pada 25 Oktober 1945 untuk melaksakan tugas itu. Kapal perang yang mengangkut pasukan ini HMS Waveney, HMS Malika, dan HMS Assidious juga menurunkan tank, panser, meriam, di Pelabuhan Tanjung Perak.
Pada 27 Oktober 1945, Sekutu menyebarkan selebaran dari udara lewat pesawat Dakota. Isinya ancaman kepada warga kota. Persons beeing arms and refusing to deliver them to the Allied Forces are liable to be shot. Artinya,orang yang mengangkat senjata dan menolak untuk mengirimkannya ke Pasukan Sekutu dapat ditembak.
Selebaran itu ditandatangani Panglima Divisi Mayor Jenderal Douglas Cyril Hawthorn. Suasana memanas. Pasukan rakyat menghitung-hitung kekuatan. Keputusannya hanya satu kata lawan. Perlawanan dengan perang gerilya dikoordinasi Komandan Divisi Surabaya, Mayor Jenderal Yonosewoyo.
Gencatan Senjata
Suasana kota memanas. Bung Tomo yang mendirikan siaran Radio Pemberontak sejak 16 Oktober mengobarkan semangat perang pantang menyerah. Terjadilah pertempuran sengit di beberapa sudut kota antara dua pasukan mulai 28 Oktober.
Tentara Inggris terdesak. Lalu Panglima Divisi Jenderal Hawthorn menghubungi pimpinan di Jakarta untuk mengadakan gencatan senjata.
Pada 29 Oktober, terbanglah Presiden Sukarno, Wapres Mohammad Hatta, dan Menteri Penerangan Amir Syarifuddin ke Surabaya. Lewat mobil Jeep, tiga pimpinan ini ditemani perwira Inggris berkeliling kota meminta perlawanan dihentikan.
”Ini Presiden Republik Indonesia, Sukarno, memerintahkan berhenti, supaya jangan dilanjutkan pertempuran itu,” kata Bung Karno lewat pengeras suara. Gencatan senjata berhasil dicapai. Pertempuran berhenti.
Soemarsono, Ketua Pemuda Republik Indonesia (PRI) bersama anak buahnya mendekati mobil yang ditumpangi Bung Karno. Bung Karno turun dari mobil.
”Bung, kenapa pertempuran kita hentikan? Inggris sebentar lagi akan kita kalahkan,” kata Soemarsono seperti ditulis Hersutejo dalam buku Soemarsono: Pemimpin Perlawanan Rakyat Surabaya 1945 yang Dilupakan.
Soemarsono menceritakan, pertempuran dua hari dia bersama pasukannya sudah bisa mendesak pasukan Inggris di daerah Wonocolo. Menurut dia, sehari lagi pertempuran, pasukan kita bisa mengalahkan tentara asing itu.
Bung Karno meminta Menpen Amir Sjarifuddin keluar mobil. Soemarsono kenal Amir yang sama-sama aktivis Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). ”Hal ini sudah didiskusikan dengan kawan-kawan di Jakarta. We have to win the war, not the battle,” ujar Amir menjelaskan.
Pasukan ini lalu mengiringi Bung Karno menuju RRI Surabaya untuk menyerukan seluruh rakyat Surabaya menghentikan perang. Republik tak memusuhi Sekutu yang datang untuk melucuti militer Jepang yang kalah perang.
Terbunuhnya Mallaby
Perundingan gencatan senjata dilanjutkan pada 30 Oktober. Menurut historia.id, petang hari Jenderal Mallaby naik mobil buick ditemani perwiranya menuju Gedung Internatio Jembatan Merah dari Gedung Lindeteves (Sekrang Gedung Bank Mandiri Jl. Pahlawan).
Tujuannya memberikan penjelasan gencatan senjata antara dua kubu. Di situ juga ada anggota Biro Kontak Indonesia dan pemimpin Surabaya, seperti Residen Soedirman dan Ketua Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Doel Arnowo. Gedung Internatio saat itu menjadi markas pasukan Sekutu.
Mallaby belum turun dari mobil terjadi keributan di luar gedung. Pemuda Indonesia menghendaki perunding Inggris diwakili perwira muda Kapten Shaw. Suasana makin panas ketika sebuah granat dilemparkan dari dalam gedung.
Pemuda membalas dengan tembakan ke arah gedung. Baku tembak pun terjadi. Seorang pemuda bernama Abdul Aziz, arek kampung Ampel, mendatangi mobil Mallaby. Dia arahkan pistolnya kepada Mallaby dan dua perwira Inggris. Meletus tembakan beberapa kali.
Setelah itu Abdul Aziz mendatangi Doel Arnowo. ”Wis Cak. Wis tak beresno! (Sudah Cak, sudah saya bereskan),” kata Abdul Aziz seperti diceritakan anaknya, M. Chotib.
”Apane diberesno? (Apanya yang dibereskan?),” tanya Doel Arnowo.
”Sing iku (yang itu),” jawab Aziz sambil menuding mobil Mallaby.
”Ngawur ae koen. (Ngawur saja kamu),” sergah Doel Arnowo.
Doel Arnowo meminta Azis tutup mulut. Setelah itu penembak Mallaby dikatakan menjadi misteri. Namun kematian Mallaby bagi Inggris menyakitkan. Insiden itu menjadi alasan untuk menggempur Kota Surabaya sebagai balas dendam dalam perang 10 November. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto