Pejuang Muhammadiyah di Perang 10 November melawan Inggris yang memakan waktu tiga pekan.
PWMU.CO-Perang 10 November 1945 di Surabaya melibatkan seluruh elemen masyarakat yang mengangkat senjata melawan tentara Sekutu dari Inggris. Di antara para pejuang itu adalah aktivis Muhammadiyah.
Buku Menembus Benteng Tradisi menjelaskan, nama pejuang Muhammadiyah dalam perang 10 November seperti Said Umar. Dia tokoh Hizbul Wathan. Dalam perang itu dia tertangkap. Pasukan Inggris menyiksanya. Nasibnya belum diketahui hingga kini.
Pejuang Muhammadiyah lainnya seperti Marsidi, Muhammad Sabyan, Malikin, Ibrahim Rahman, Ihsan Ishaq, Utsman Rais, dan Manan Gani. Nama lainnya seperti Nurhasan Zain, tokoh Pemuda Muhammadiyah.
Tokoh lainnya ada dr Moh. Suwandhi, Ketua Muhammadiyah Cabang Surabaya yang saat itu menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Daerah. Dia turut berjuang saat meletus perang. Namun sayang belum ada penggalian data untuk menggambarkan peran pejuang Muhammadiyah dalam perang yang kemudian diperingati menjadi Hari Pahlawan.
Dari wawancara dengan Mukti Hari (75), warga Kaliasin, menjelaskan, ayahnya bernama Mat Yasin Wisatmo bersama anggota Hizbul Wathan (HW) dan Pemuda Masjid Sholeh juga terjun dalam pertempuran Surabaya. Ayahnya ketua HW Surabaya dan kakeknya, Kiai Usman adalah pendiri Masjid Sholeh Kaliasin VIII. Ini masjid pertama Muhammadiyah Surabaya.
Tokoh Muhammadiyah lain yang terjun di perang ini adalah KH Mohammad Amin Mustofa, pengasuh Pondok Al Iman wal Islam Desa Tunggul Paciran Lamongan. Dia komandan laskar Hizbullah wilayah Lamongan , Tuban, Gresik. Saat perang 10 November, bersama santri-santri berangkat ke Surabaya. Biayanya dari mengumpulkan perhiasan emas sebanyak 100 gram.
Santri-santri senior ini usai perang menjadi tokoh-tokoh Muhammadiyah di berbagai daerah. Misal, KH Ahmad Khazim mengembangkan Muhammadiyah di Sumberrejo Bojonegoro. Tahun 1970-an menjadi ketua PDM kabupaten itu.
KH Mahbub Ihsan pemimpin Pondok Ma’had Islami menjadi ketua PDM Tuban. Lalu KH Abdurrahman Syamsuri pendiri Pondok Karangasem menjadi ketua PDM Lamongan. KH Shawab Mabrur pendiri MI Al Islam Godog menjadi ketua PCM Laren.
Jenderal Mallaby Mati
Perang 10 November berkobar akibat kematian Komandan Brigade 49 Brigjen Aubertin Walter Sothern Mallaby dalam insiden baku tembak di Jembatan Merah, 30 Oktober 1945. Saat itu kubu Mallaby dan Biro Kontak Indonesia bersama pemimpin Surabaya hendak mengadakan perundingan gencatan senjata lanjutan setelah perang dua hari 28-29 Oktober 1945.
Setelah kematian Mallaby, Inggris mendatangkan mendatangkan kapal perang HMS Sussex, HMS Cavalier, dan HMS Carron mengangkut pasukan dan senjata perang seperti panser, tank dan meriam mulai 1 November 1945.
Kapal-kapal ini mendarat di Pelabuhan Tanjung Perak. Ada tambahan pasukan dari satu brigade Divisi 5 Malaya, satu brigade Divisi ke-26 dari India, dan dua brigade ke Sumatra.
Jumlah pasukan tambahan ini mencapai 24.000 personal tentara. Kalau ditambah dengan sisa-sisa pasukan Mallaby yang sudah mendarat lebih dulu pada 25 Oktober, kekuatan Inggris mencapai sekitar 30 ribu prajurit.
Lobi Gubernur Soerjo
Komandan Divisi Infanteri India V Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh mengambil alih komando Sekutu di Surabaya. Dia bergerak cepat menyurati Gubernur Jawa Timur Soerjo pada 8 Oktober 1945.
Dalam suratnya, Mansergh menuduh pihak Indonesia memperlambat evakuasi tawanan orang Eropa dan pasukan Inggris serta korban pertempuran 28–30 Oktober 1945. Dia juga menuduh kota Surabaya sudah dikuasai perampok bersenjata.
Nugroho Notosusanto dalam buku Pertempuran Surabaya menceritakan, Gubernur Soerjo membalas surat itu dengan menjelaskan evakuasi tawanan warga sipil dan prajurit Inggris yang terkepung di dalam kota sudah dilakukan. Mayat-mayat tentara Inggris dan korban luka sudah dikirim kepada induk pasukannya.
Gubernur Soerjo mengingatkan kesepakatan gencatan senjata sesuai pembicaraan Presiden Sukarno dengan Mayjen DC Hawthorn pada 29 Oktober 1945. Pasukan Inggris diizinkan masuk di dua lokasi pos penjagaan yaitu Darmo dan Tanjung Perak selama pemindahan tawanan warga sipil. Jika urusan ini selesai pasukan Inggris diminta mundur ke Tanjung Perak.
Tapi Mansergh membalas surat itu dengan ultimatum. Isinya menuntut pimpinan pemerintah RI di Surabaya, pemuda, dan badan-badan perjuangan agar melaporkan diri untuk menyerah kepada Inggris atau Sekutu.
Ancaman ini tak membuat Gubernur Soerjo emosi. Dia memegang pesan Presiden Sukarno supaya menghindari perang. Gubernur lalu mengirim Residen Soedirman dan Mayjen Mohammad Mangoendiprodjo menawarkan perundingan dan meminta Inggris menghentikan ultimatumnya. Mansergh menolak. Utusan kedua terdiri Roeslan Abdulgani dan Dokter Soegiri juga ditolak.
Tanggal 9 November 1945, sebuah pesawat menyebarkan selebaran ditandatangani Mansergh sebagai Panglima Tentara Inggris di Jawa Timur.
Selebaran berisi ultimatum. Isinya semua yang tergolong pemimpin bangsa Indonesia, termasuk para pemuda, kepala polisi dan petugas radio diharuskan melapor kepada tentara Sekutu dan menyerahkan segala senjata dituduh hingga pukul 06.00 pada 10 November 1945.
Selebaran ultimatum itu membuat rakyat Surabaya marah. Mereka keluar rumah berkumpul di jalan membawa senjata yang dipunyai. Anggota Badan Keamanan Rakyat (BKR) juga bergabung. Rakyat siap perang.
Perang Berkobar
Situasi rakyat makin panas dan tegang. Gubernur Soerjo berunding dengan pimpinan militer BKR. Akhirnya dia mengumumkan lewat radio pada pukul 23.00 menolak ultimatum Inggris dan bersama rakyat melawan serangan Inggris.
Kekuatan pasukan Surabaya terdiri anggota BKR dari didikan PETA, Heiho, KNIL. Lalu milisi berasal dari pemuda-pemuda yang tak terlatih militer. Jumlah bisa jadi sekitar 100 ribu orang. Hanya separo yang pegang senjata rampasan dari Jepang. Lainnya pakai senjata pedang, parang, pisau, atau bambu runcing.
Pagi itu kapal perang dan pesawat Inggris melontarkan bom ke kota Surabaya. Orang tua, perempuan dan anak-anak mengungsi ke Mojokerto atau Malang. Pasukan infanteri Inggris mulai bergerak memasuki kota dari markas Tanjung Perak. Karena itu pertempuran pertama pecah di kawasan Tanjung Perak ketika pejuang Surabaya menghadang gerakan musuh.
Korban berjatuhan, pasukan di belakangnya ganti menyerbu. Pertempuran kemudian merembet ke Bubutan, Pegirian, dan tempat lainnya. Hingga memasuki kota. Perkiraan militer Inggris ternyata tak seperti yang dibayangkan bisa menguasai kota dalam waktu cepat.
Butuh waktu tiga pekan untuk menguasai seluruh kota hingga akhir November perang berhenti. Kondisi kota hancur berantakan kena bombardier bom. Para pejuang mundur ke luar kota membuat pertahanan. Termasuk Gubernur Soerjo dan pimpinan militer memindahkan kantor komando di garis belakang.
Korbang berjatuhan di kedua pasukan. Di antara korban dari Inggris Brigjen Robert Guy Loder-Symonds. Pesawatnya ditembak jatuh pukul 09.50 di hari pertama pertempuran 10 November. Pejuang mengklaim mengklaim dalam pertempuran itu berhasil menembak tujuh pesawat musuh.
Tapi Mansergh kepada wartawan Eropa menyatakan, pesawat itu jatuh karena kecelakaan ketika sedang lepas landas dari lapangan terbang Moro Krembangan. Pesawat itu terbakar. Pesawt itu dipiloti Letnan Philip Norman Osborn yang juga ikut tewas. Pertempuran Surabaya ini merupakan perang pertama setelah Indonesia merdeka. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto