Meluruskan Stigma PTN Lebih Baik daripada PTS ditulis oleh Hidayatulloh, Rektor Universidas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) dan Wakil Ketua PWM Jawa Timur.
PWMU.CO – Pada bulan September 2020 yang lalu, di sebuah sekolah Muhammadiyah terbaik di Jawa Timur sedang ada pembicaraan tentang lulusan yang masuk di perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS).
Pimpinan sekolah dan guru Bimbingan Konseling (BK) di sekolah ini tampak gelisan dan kurang bahagia, karena data lulusan yang masuk di PTN lebih sedikit dari pada yang masuk PTS, bahkan mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir.
Mereka kelihatan bersedih, karena ada kekhawatiran sekolahnya dianggap oleh masyarakat menurun mutunya. Kegelisahan mereka cukup beralasan, karena ada kekhawatiran menurunnya tingkat kepercayaan terhadap sekolah.
Memang benar bahwa sebagian besar masyarakat kita saat ini masih berpandangan bahwa posisi PTN lebih tinggi daripada PTS. Pandangan ini juga terjadi di sebagian besar pimpinan sekolah, guru, karyawan, siswa, dan orang tuasiswa di sekolah-sekolah Muhammadiyah.
Pandangan warga sekolah juga larut dengan pandangan umum masyarakat tersebut. Akibatnya setiap tahun pimpinan sekolah dan guru-guru kita menanamkan dan mengarahkan kepada para siswa kelas XII untuk memilih program studi yang ada di PTN, dengan harapan lulusan yang diterima dan masuk PTN lebih banyak dari pada yang masuk di PTS.
Pimpinan sekolah, guru, dan karyawan biasanya sangat bangga dan mempublikasikan secara besar-besaran ketika melihat data lulusannya yang diterima di PTN jumlahnya sangat banyak. Sebaliknya, mereka merasa sedih dan gelisah ketika lulusannya yang diterima di PTN sangat sedikit.
Keadaan ini banyak dialami oleh sekolah-sekolah kita, tanpa memperhatikan program studi dan PTN yang dimasuki alumninya bermutu atau tidak. Yang penting diterima di PTN.
Tanpa Dasar Kuat
Pandangan masyarakat yang menyatakan bahwa PTN lebih baik dari PTS tidak mempunyai dasar yang kuat. Dari berbagai regulasi dan standarisasi PT di Indonesia tidak ditemukan ketentuan atau penjelasan yang menyatakan PTN lebih baik dari PTS. Jika demikian adanya, akankah kita terus-menrus mengikuti pandangan yang tidak mempunyai dasar itu?
Dalam berbagai regulasi dan kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan tinggi saat ini, tidak ada perbedaan antara PTN dan PTS. Berbagai pemeringkatan dan klasterisasi PT yang dibuat oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Republik Indonesia maupun oleh lembaga lain berskala nasional dan internasional, memberlakukan yang sama untuk PTN dan PTS.
Selain Kemendikbud juga ada 4ICU dan Webometric, Quacquarelli Symonds (QS), dan THE (Times Higher Education) sebagai lembaga internasional yang melakukan pemeringkatan Perguruan Tinggi (PT) di dunia.
Setiap tahun Kemendikbud melakukan klasterisasi PT menjadi lima klaster. Dari hasil analisis terhadap data-data dari 2.136 PT yang dinilai, maka diperoleh hasil klasterisasi PT tahun 2020 yang terdiri dari 5 klaster PT.
Komposisinya: klaster 1 berjumlah 15 PT, klaster 2 berjumlah 34 PT, klaster 3 berjumlah 97 PT, klaster 4 berjumlah 400 PT, dan klaster 5 berjumlah 1.590 PT.
PT yang masuk di klaster 1 dan 2 bisa dibilang sebagai PT unggul, dan cukup banyak PTS yang masuk di dalamnya, demikian juga tidak sedikit PTN yang tidak masuk di klaster 1 dan 2.
Dari beberapa data di atas, harusnya menyadarkan kepada kita untuk mengubah mindset bahwa saat ini sudah tidak ada bedanya antara PTN dan PTS. Yang membedakan adalah kualitas masing-masing PT.
Pendidikan Muhammadiyah Harus Mencerahkan
Salah satu dimensi Muhammadiyah adalah gerakan pencerahan (al-harakah at-tanwiriyah). Oleh karena itu Muhammadiyah akan selalu hadir secara dinamis dalam memberikan pencerahan kepada umat dan bangsa, bahkan dunia kemanusiaan secara global.
Demikian juga lembaga pendidikan Muhammadiyah yang merupakan bagian dari amal usaha Muhammadiyah. Mereka mengemban tugas untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat, sehingga tercerahkan dan mempunyai optimisme dalam menjalani dan mengisi kehidupan ini.
Lembaga pendidikan Muhammadiyah harus tampil mencerahkan masyarakat, bukan malah mengikuti stigma yang berkembang di masyarakat.
Stigma PTN lebih baik dari PTS sudah tidak berlaku lagi.
Lembaga pendidikan Muhammadiyah harus mengubah ukuran mutu lulusan yang melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. Ukurannya bukan lagi seberapa banyak lulusan yang masuk dan diterima di PTN, tetapi seberapa banyak lulusan yang masuk dan diterima di PT atau program studi (prodi) unggul.
Jika semua pimpinan dan guru SMA/SMK/MA Muhammadiyah menerapkan ukuran lulusan yang masuk PT dengan kriteria PT yang masuk di klaster 1 dan 2 atau prodi rerakreditasi A (unggul), maka diperoleh data yang jumlahnya lebih banyak, lebih tepat, dan memberikan kegembiraan bagi warga sekolah. Dengan langkah ini maka lembaga pendidikan Muhammadiyah telah maju selangkah dalam memberikan pencerahan kepada masyarakat.
Sudah waktunya pimpinan sekolah dan guru BK SMA/SMK/MA Muhammadiyah untuk mendata lulusan tahun 2020 yang diterima di PT klaster 1 dan 2 serta prodi terakreditasi A (unggul).
Langkah ini juga bisa mendongkrak posisi perguruan tinggi Muhammadiyah/Aisyiyah (PTMA), karena faktanya banyak lulusan yang masuk di prodi terakreditasi A (unggul) yang ada di PTMA. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.