Penjongosan Bangsa Ini Harus Dihentikan, ditulis oleh Daniel Mohammad Rosyid, Ketua Pendidikan Tinggi Dakwah Islam (PTDI) Jawa Timur.
PWMU.CO – Undang-Undang No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU OLCK) adalah sentuhan mutakhir proses penjongosan bangsa Indonesia untuk kepentingan nekolim sejak kebangkitan Orde Baru.
UU No. 1/1967 Penanaman Modal Asing dan persekolahan massal paksa adalah dua instrumen utama proses ini. Persekolahan massal paksa merupakan instrumen teknokratik untuk menyiapkan tenaga kerja yang cukup trampil untuk menjalankan mesin-mesin sekaligus cukup dunggu untuk mengabdi pada kepentingan investor, terutama asing.
Persekolahan ini mengkerdilkan pendidikan, bukan untuk mencerdaskan bangsa, tapi justru untuk mendungukannya.
UU OLCK secara sengaja menyempitkan wawasan masyarakat bahwa perjuangannya terbatas sebagai buruh, tidak memberi kesempatan yang luas untuk menjadi majikan. Sejak hak untuk memperoleh pelatihan, gaji yang layak, cuti hamil, sampai pesangon hampir semuanya sudah diatur kecuali mengubah nasib mereka untuk menjadi pemilik bisnis.
Jebakan wawasan sesat ini perlu diwaspadai. Upaya untuk menjadikan Indonesia sekadar pasar dan satelit bagi industri asing selama 50 tahun terakhir adalah bagian dari upaya ‘gajah’ dan ‘naga’ untuk mencaplok ‘garuda’.
Lebih menyedihkan lagi saat banyak pilkada 2020 yang diwarnai dengan jargon kampanye persekolahan gratis, IPM (indeks pembangunan manusia) yang diukur dari lama bersekolah. Padahal makin lama bersekolah justru makin mendungukan.
Pada saat pandemi dan IT sedang merobohkan tembok-tembok sekolah dan mensatpamkan guru-guru, wacana persekolahan gratis sebagai strategi pendidikan masih menjadi jualan unggulan para calon kepala daerah. Mereka gagal mencermati bahwa persekolahan adalah masalah pendidikan yang terbesar yang bakal membegal bonus demografi.
Rekontruksi Sikdisnas
Sisdiknas harus segera direkonstruksi agar dibebaskan dari monopoli radikal persekolahan. Keluarga dan masyarakat harus diberi peran lebih besar untuk mendidik warga muda agar mampu hidup mandiri, sehat dan produktif, bukan sekedar menjadi buruh trampil yang bekerja bagi kepentingan asing.
Yang dibutuhkan warga muda bukan persekolahan yang makin besar. Tapi cybernetical learning webs yang lentur, luwes, dan peka terhadap kebutuhan belajar warga muda yang beragam minat, bakat, dan aspirasinya serta relevan dengan potensi lokal, terutama agromaritim, di sekitarnya.
Upaya judicial review atas UU OLCK di Mahkamah Konstitusi silakan dilanjutkan. Namun di tengah pesimisme pemihakan MK bagi kedaulatan bangsa ini, upaya penjongosan bangsa ini harus dihentikan dengan berhenti untuk berpikir mburuh.
Bangsa ini harus segera berpikir menjadi majikan. Keluarga bisa menjadi tumpuan bagi bangsa majikan dengan mereposisi perannya tidak sekadar penyedia tenaga kerja dan konsumen, tapi menjadi satuan edukatif sekaligus satuan produktif.
Saya khawatir, kekhawatiran Bung Karno bahwa bangsa ini bakal menjadi kuli bagi bangsa asing makin menjadi kenyataan. Setiap patriot tidak bakal membiarkan hal ini terjadi. (*)
Kebumen, 8 November 2020
Editor Mohammad Nurfatoni.