Perang Surabaya, Catatan Istri Bung Tomo menceritakan suasana pertempuran dan siaran Radio Pemberontak.
PWMU.CO-Pagi-pagi halaman markas BPRI (Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia) di Tembok Dukuh Surabaya penuh dengan pemuda pejuang usia belasan tahun dan orang dewasa. Hari itu tanggal 12 November 1945. Dua hari setelah bombardir kota Surabaya oleh tentara Inggris. Pertempuran masih berlangsung. Pesawat perang masih berseliweran di udara.
Para pejuang itu menyandang senjata di markas. Ada yang punya bren, pistol, dan granat bergelantungan di pinggang. Ada yang mempunyai pistol dua, granat dua digantungkan di kanan kiri pinggang, ditambah menyandang karaben seperti sebuah arsenal (gudang senjata) lewat.
Begitu kesan Sulistina, aktivis PMI Malang yang ikut berjuang dalam perang 10 November 1945 di Surabaya. Suasana perang itu dia ceritakan dalam buku Bung Tomo Suamiku (2008). Dalam perang inilah dia bertemu Bung Tomo yang akhirnya menikah tahun 1947.
Makin siang, markas BPRI makin ramai kedatangan pejuang. Mereka habis dari front melapor kepada pimpinan. Badannya lusuh tapi matanya tetap cemerlang. Pengalaman perang yang menakjubkan. Semboyan yang selalu diteriakkan: merdeka atau mati.
Tiba-tiba ada bunyi mortir menggelegar. Lalu pesawat perang terbang melintas di atas markas. Riuh bunyinya. ”Kami bertiga, gadis anggota PMI dari Malang langsung menyurukkan badan bersembunyi di kolong meja. Itu seperti yang diajarkan cara berlindung agar tak kena pecahan bom,” tulis Sulistina.
Melihat kami berlindung ada pemuda Surabaya tertawa keras. ”Durung maju perang wis ndelik. Yok opo se…,” katanya. Artinya, belum maju perang sudah bersembunyi. Sulistina mengatakan, wah sakit telinga ini mendengar olokan itu.
Pindah Markas
Suatu pagi, ada seorang pemuda menghampiri Sulistina. Pemuda itu memakai setelan dril ala Jepang dengan peci hijau tua disemati emblem banteng merah putih. Kumisnya rapi tipis seperti kumis Errol Flinn, bintang film Amerika terkenal masa itu.
”Jeng, kita pindah markas. Kita mundur ke Jalan Mawar. Di sini tidak aman lagi. Keadaan tambah gawat. Palang Merah juga harus pindah,” ucap pemuda itu kalem. Pemuda itu ternyata Bung Tomo yang suaranya menggema di radio setiap sore. ”Ketika dia berbicara tadi, suaranya lembut dan tidak berkobar-kobar,” cerita Sulistina.
Kondisi markas di Tembok Dukuh memang tidak aman. Tak jauh dari markas Bung Tomo hampir saja ditembak dua mata-mata. Saat ada serangan, di depan dan belakangnya ada dua orang yang akan menembak Bung Tomo. Untung ketahuan pejuang lain sehingga selamat.
Markas baru di Jl. Mawar lumayan besar. Di situ sudah ada pemancar Radio BPRI, tempat Bung Tomo pidato dan menyiarkan perkembangan perang. Siaran radio itu tertangkap juga di Australia dan Amerika.
Di markas ini Sulistina berkenalan dengan wanita Amerika kelahiran Skotlandia bernama Ktut Tantri. Nama aslinya Muriel Stuart Walker. Dia lama menetap di Bali. Sejak Pulau Dewata dikuasai Jepang dia pindah ke Surabaya.
Ktut Tantri
Ktut Tantri ikut siaran dalam bahasa Inggris. Dia melaporkan perkembangan pertempuran Surabaya antara pejuang dengan tentara Inggris agar diketahui oleh negara-negara Barat.
”Aku mengadakan siaran dua kali semalam dalam bahasa Inggris. Tujuan tugasku untuk menyampaikan laporan perkembangan yang terjadi di Indonesia pada bangsa-bangsa yang berbahasa Inggris di seluruh dunia, dilihat dari sudut pandang bangsa Indonesia,” tutur Tantri dalam bukunya Revolusi di Nusa Damai (2008).
Di awal kemerdekaan, orang Barat mengira pemerintah Indonesia adalah boneka Jepang. Dalam siaran radio itu, Tantri mengingatkan bangsa Inggris dan Amerika, terutama negarawannya yang pernah menyuarakan kemerdekaan semua bangsa semasa perang.
Ktut Tantri juga menjadi penghubung antara pejuang dengan ekspatriat di Surabaya. Selain itu juga melukis spanduk dan poster perjuangan. Saat bom-bom berjatuhan selama tiga hari, salah satunya jatuh dekat markas. Seorang staf India tewas, Ktut dan satu pegawai selamat.
Peristiwa pengeboman ini, oleh Ktut Tantri segera siarkan lewat radio untuk memprotes serangan Inggris. Dia mengajak perwakilan Denmark, Swiss, Uni Soviet, dan Swedia ikut siaran mengomentari pemboman ini. ”Kuminta mereka menyertai siaran malam untuk memprotes tindakan pengeboman serta menyatakan sikap mereka mengenai tindakan Inggris,” kata Tantri dalam bukunya.
Siaran itu mendapat tanggapan dari luar negeri. Radio asing mengutip berita itu dalam siaran mereka. Koran-koran asing juga menjadikan berita bersumber dari siarannya.
Dalam Pertempuran
Pertempuran makin menghebat. Mortir terus berjatuhan membawa korban para pejuang dan rakyat. Mereka terluka dan gugur bergelimpangan di jalan. Ada pemuda yang punggungnya terkena pecahan mortir. Tulang ekornya tampak bagai buah semangka yang terkelupas.
”Cepat cari bantuan,” teriak seorang pejuang kepada Sulistina dari PMI. ”Cepat cari truk untuk mengangkut ke rumah sakit. Cari ke Kusuma Bangsa.”
Sulistina melewati tubuh-tubuh berdarah berbaring di atas tandu. Lalu dibonceng seseorang menuju Kusuma Bangsa. Tiba di situ dihentikan petugas penjagaan. Diperiksa ketat. Setelah yakin kami dari PMI, dia bertanya,”Mau ke mana?”
”Cari truk. Banyak yang luka. Harus dibawa ke rumah sakit,” kata pembonceng Sulistina.
Penjaga itu menuding truk di belakang kawat berduri yang merupakan demarkasi wilayah musuh. Pos penjagaan ini front depan pejuang RI. ”Kalau kalian berani silakan ambil truk itu,” kata penjaga yang membuat Sulistina dan temannya mundur kembali ke markas.
Saat di markas, pesawat bercocor merah melayang-layang di udara. ”Berlinduuung…” terdengar suara komando. Semua orang keluar berlindung. Bom, peluru, dan mortir berjatuhan. Beruntung melesat jauh. Pemancar radio BPRI Jl. Mawar sudah ketahuan musuh. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto