Pahlawan atau Pemberontak Hanya Beda Tipis oleh Sugeng Purwanto, Ketua Lembaga Informasi dan Komunikasi PWM Jawa Timur.
PWMU.CO– Jelang Hari Pahlawan, terjadi polemik kepulangan Habib Rizeq Shihab . Yang bikin gaduh komentar para pejabat. Belum apa-apa Menko Polhukam mengatakan, kalau penyambutan terjadi anarkis dan rusuh bakal disikat.
Habib Rizieq Shihab yang awalnya hanya pemimpin organisasi Front Pembela Islam akhirnya ditempatkan menjadi musuh pemerintah. Awalnya hanya imam besar FPI, lambat laun menempati posisi imam besar umat Islam. Semula orang biasa-biasa saja, tapi labeling penguasa malah membuat kharismanya makin besar.
Dia diperlakukan pemerintah seperti musuh, kriminal, makar, pemberontak, namun pengikutnya dan orang-orang yang bersimpati kepadanya malah menjadikannya sebagai pahlawan. Orang-orang yang kontra penguasa pun kini merapat kepadanya sebagai energi perlawanan.
Inilah kenisbian sejarah. Pahlawan atau pemberontak hanya sebatas garis tipis yang gampang terbalik oleh perubahan politik. Tergantung dari siapa yang berkuasa. Ini juga ironi sejarah. Orang yang semula dihujat, dihina, dipersalahkan, dipenjara, suatu ketika berubah menjadi orang yang ditunggu-tunggu, dipuja-puja, dan dimuliakan ditempatkan pada posisi terbaik.
Sebaliknya penguasa yang awalnya sangat dihormati, dipuja-puji, dimuliakan, ditakuti pada akhirnya menjelma menjadi orang yang terhinakan, terhujat, dan menjadi tumpuan kesalahan rezim sepanjang waktu.
Sebutan pahlawan dan pemberontak sepertinya mengikuti hukum relativitas. Karena dia bergantung dari posisi mana melihatnya. Situasi ini adakalanya menimbulkan keprihatinan sebab ukuran dan penilaiannya yang sangat subjektif bisa memicu kontroversi dan konflik di kelompok masyarakat.
Pengalaman Sejarah
Sejarah Indonesia punya banyak catatan tentang kenisbian pahlawan dan pemberontak ini. Misalnya, November 1992, ketika Xanana Gusmao, pemimpin Falintil, digerebek dari tempat persembunyiannya oleh TNI, pemerintah lantas mengumumkan berita: Gembong GPK (Gerombolan Pengacau Keamanan) Timor Timur Ditangkap.
Tujuh tahun sesudah itu situasi politik berubah terkena badai reformasi. Presiden Habibie menyetujui referendum untuk rakyat Timor Timur. Hasilnya provinsi itu merdeka. Akibatnya gembong GPK Xanana Gusmao pulang ke Dili disambut rakyatnya sebagai pahlawan. Lalu dipilih menjadi presiden negara baru tahun 2002.
Lebih aneh lagi, Ramos Horta dan Uskup Belo mendapat hadiah Nobel Perdamaian tahun 1996. Komite Nobel memilih keduanya karena kampanye mencegah penindasan terhadap sekelompok kecil rakyat. Padahal dua orang itu dituding pemerintah RI sebagai provokator dan pemicu konflik di Timtim lewat propagandanya yang menebar kebencian dan permusuhan terhadap pemerintah Indonesia.
Sukarno pun pernah dicap sebagai pengacau oleh pemerintah kolonial karena bercita-cita Indonesia merdeka. Pledoi Indonesia Menggugat yang dibacakan di pengadilan Bandung tahun 1930 tak membuatnya bebas. Akhirnya dia dipenjara di Sukamiskin, Bandung, sebagai pemberontak.
Lima belas tahun kemudian Sukarno dielu-elukan rakyat dan diangkat sebagai presiden setelah Indonesia menyatakan kemerdekaan. Tapi ironinya, setelah Sukarno menjabat presiden dia juga membuat cap pemberontak untuk teman-teman seperjuangan yang tidak sejalan dengan arah politiknya.
Maka orang-orang yang berjasa pada negara ini seperti Syafruddin Prawiranegara, Sumitro Djojohadikusumo, Hamka, Tan Malaka, Kartosuwiryo, dan sederet nama lain diposisikan sebagai pemberontak karena melawan Sukarno. Setelah reformasi, anehnya lagi sebagian dari pemberontak itu mendapat gelar pahlawan nasional dari negara.
Contoh aneh lagi, sewaktu Anak Agung Gede Agung diberi gelar pahlawan nasional tahun 2007, sekelompok orang dari Bali protes. Menurut mereka, gelar itu tidak pantas sebab Anak Agung pernah memerangi pejuang Bali. Dia ini pendiri Negara Bali yang pro Belanda sewaktu RIS dibentuk.
Ironi Bung Tomo
Bung Tomo juga contoh nyata ironi sejarah. Bagi orang Surabaya, nama Bung Tomo sudah sangat akrab. Sebab dia menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan perang heroik 10 November 1945.
Pidatonya menjadi pengobar semangat perjuangan. Namun di zaman rezim Soeharto, usulan masyarakat agar dia memperoleh gelar pahlawan nasional tidak kunjung dikabulkan. Penyebabnya, Bung Tomo pernah mengkritik pemerintah Orde Baru sehingga masuk penjara setahun.
Bahkan mengusulkan nama Bung Tomo menjadi nama jalan di Kota Surabaya di DPRD ditolak oleh Fraksi Golkar dan Fraksi ABRI tahun 1992. Baru setelah zaman reformasi gelar pahlawan untuk Bung Tomo diberikan tahun 2008. Nama jalan Bung Tomo disetujui DPRD menggantikan Jl. Kencana depan makam Ngagel tahun 2002.
Sejarah memang subjektif. Bahkan manipulatif. Dia ditulis untuk kepentingan pembuatnya. Karena itu tidak ada tafsir tunggal atas kejadian sejarah. Tapi sejelek-jeleknya bangsa, kita menginginkan penulisan sejarah itu meskipun subjektif tapi tetap objektif. Objektif berdasarkan fakta-fakta. Bukan manipulatif semata berdasarkan kepentingan politik rezim. Sejarah manipulatif menyesatkan rakyat. (*)
Editor Sugeng Purwanto