The Invictus: Rekonsiliasi ala Mandela, Bagaimana Indonesia? Kolom ditulis oleh Dhimam Abror Djuraid, wartawan senior.
PWMU.CO – Penyakit yang paling banyak menyerang politisi di negeri ini adalah penyakit dementia, gampang lupa, alias pikun mendadak.
Di masa-masa kampanye seperti sekarang para politisi pada obral janji. Tapi, nanti pada 9 Desember setelah menang, sontak menjadi pikun, lupa semua janji.
Itulah beda pil KB dan pilkada.
Ingatan rakyat juga sangat pendek dan gampang lupa. Tidak perlu tunggu lima tahun supaya rakyat lupa. Kena serangan sarung dan sembako rakyat langsung terserang pikun masal.
Para politisi dan negarawan besar dunia sadar betul mengenai hal itu. Politisi gampang pikun karena kekuasaan, dan rakyat suka lupa dan linglung kena serangan amplop menjelang subuh.
Dosa politik apapun bisa dilupakan dan dimaafkan karena sogokan-sogokan kecil itu.
Forget and forgive, melupakan dan memaafkan, adalah dua kata kunci sisi. Bagi Nelson Mandela, negarawan Afrika Selatan, forget dan forgive menjadi mantra perjuangannya.
“Forget but not Forgive“. Itulah semboyan Mandela ketika memulai rekonsiliasi nasional setelah memenangkan pilpres Afrika Selatan melawan rezim apartheid kulit putih yang menjajah selama lebih dari tiga ratus tahun.
SeburuK apapun perlakuan yang pernah warga kulit hitam dari rezim apartheid semua sepakat memaafkan, tapi tidak melupakan. Bukan untuk mengungkit-ungkit tapi untuk pelajaran agar tidak terulang.
“Dilarang kencing di sini, kecuali anjing dan kulit hitam”. Tanda semacam itu hampir tidak pernah kita jumpai sekarang. Tapi pada 1960-an tanda semacam itu ada di setiap sudut jalan di Afrika Selatan.
Rezim apartheid kulit putih Belanda menguasai Afrika, menyedot kekayaan alamnya dan mengeksploitasi penduduk aslinya selama lebih dari tiga abad.
Seperti halnya penjajahan Belanda di Indonesia dalam rentang waktu yang sama, penjajahan bangsa Boer Belanda menyisakan penderitaan dan kesedihan yang tak tepermanai.
Tapi penderitaan besar itu tidak membuat Afrika Selatan gagal move on. Setelah merdeka semua sepakat menulis ulang sejarah masa lalu secara jujur dan terbuka menurut prinsip “memaafkan tapi tidak melupakan”.
Sejarah yang jujur benar-benar menjadi “history“, bukan “his story” atau sejarah yang ditulis para pemenang sesuai selera penguasa dengan mendegradasikan peran oponen politik di masa silam.
Warga kulit hitam Afrika Selatan berkorban penderitaan, dan suku-suku kecil yang dipimpin para raja dan kepala suku bersedia melebur diri menjadi negara baru Republik Afrika Selatan.
Bangsa kulit putih Boer datang sebagai kekuatan kolonial yang membawa senjata, teknologi, dan budaya Barat. Ratusan tahun mereka membaur menjadi bagian tak terpisahkan dari karakter Afrika Selatan yang multikultural.
Dosa-dosa kolonialisme-apartheid di masa silam mereka akui, dan sebagai imbalannya mereka diakui integrasinya sebagai bagian dari negara kesatuan Afrika Selatan.
Mandela terlebih dahulu menghapus dendam pribadinya yang pahit di masa silam sebelum memimpin rekonsiliasi negaranya yang terbelah menjadi divided nation. Selama 27 tahun sejak 1962 sampai 1990 ia dipenjara. Ia memaafkan tapi tidak melupakan.
Ia berjalan keliling negara berbicara kepada seluruh lapis warga negara, hitam, maupun putih, ia mendengar lebih banyak daripada berbicara.
“Karena kita diberi dua telinga dan hanya satu mulut. Karena itu kita harus dua kali lebih banyak mendengar daripada bicara,” kalimat Mandela ini menjadi kebijakan seluruh umat manusia.
The Invictus
Mandela pecinta olahraga dan tahu persis potensi olahraga untuk merekatkan rekonsiliasi. Ada dua olahraga kegemaran bangsa Afrika Selatan, rugby dan sepakbola. Rugby dimainkan orang kulit putih, sepakbola identik dengan olahraga warga kulit hitam.
Setahun setelah merdeka Afrika Selatan ditunjuk menjadi tuan rumah kejuaraan dunia rugby yang merupakan salah satu olahraga terbesar dan bergengsi bangsa-bangsa persemakmuran. Untuk ukuran negara demokrasi yang baru berumur setahun hajatan ini sungguh sebuah pesta besar yang sangat menghibur.
Afrika menyiapkan tim sebaik mungkin dan menata diri sebagai tuan rumah yang baik. Sebuah bangsa yang terpecah ratusan tahun secara mendadak bersatu mendukung tim rugby yang berlaga membela nama negara.
Perjuangan Mandela yang terjun langsung menyemangati tim rugby Afsel, persahabatannya yang tulus dengan kapten tim Francoìs Pienaar yang berkulit putih, akhirnya mengantar Afsel menjadi juara dunia.
Di stadion, di jalan-jalan, di pub, dan warung kopi, rakyat bersuka cita saling berpelukan, hitam dan putih berbaur menyatu meluapkan kebahagiaan dan kebanggaan sebagai bangsa.
Momen sakral itu direkam dalam film The Invictus yang disutradarai Clint Eastwood, dibintangi Morgan Freeman yang berperan sebagai Mandela, dan Matt Damon sebagai Pienaar.
Mandela adalah The Invictus yang tak terkalahkan. Timnas rugby Afsel adalah The Invictus. Bangsa Afrika adalah The Invictus. Puisi pendek William Ernest Henley (1849-1903) “The Invictus” menjadi inspirasi sekaligus gambaran perjuangan Mandela dan Afsel, “Tubuhku penuh luka, kepalaku berlumur darah, aku tak akan menyerah…aku menjadi tuan bagi nasibku, aku kapten bagi jiwaku..”
Sukses menjadi tuan rumah piala dunia rugby, Afsel kemudian menjadi tuan rumah Piala Dunia Sepakbola 2010. Timnas Afsel tidak menjadi juara dunia, tapi rekonsiliasi bangsa Afrika Selatan tuntas sudah. Mandela meninggal pada 2013 pada usia 95 tahun dengan tersenyum
Perlawanan Damai Gandhi
Siapapun yang ingin belajar mengenai rekonsiliasi, termasuk Indonesia, tengoklah Afrika Selatan.
Pada 7 Juni 1893, Mohandas Karamchand Gandhi, seorang pengacara muda, sedang dalam perjalanan dari Durban ke Pretoria mewakili kliennya, seorang pedagang bernama Dada Abdulla.
Ketika kereta berhenti di stasiun Pietermaritzburg, Gandhi diminta oleh sang kondektur untuk pindah dari gerbong kelas satu yang diperuntukkan bagi penumpang kulit putih, ke kompartemen van bagi pelancong kelas bawah. Saat Gandhi menolak dan menunjukkan tiket kelas satunya, ia langsung diusir begitu saja dari kereta tersebut.
Ia didorong dari gerbong kereta bersama dengan barang bawaannya. Kejadian ini mengubah jalan hidupnya.
Gandhi menghabiskan malam musim dingin yang beku itu di ruang tunggu stasiun yang kecil tanpa penghangat ruangan. Ia bersumpah akan menghabiskan sisa hidupnya memerangi diskriminasi dan ketidakadilan.
Ia kembali ke India pada 1914 setelah menetap di Afrika Selatan selama 21 tahun. Ia memimpin perlawanan damai menentang panjajahan Inggris dengan gerakan Ahimsa (tanpa kekerasan), satyagraha (tanpa kompromi dengan penjajah), dan swadesi (pemenuhan kebutuhan diri sendiri).
Dengan gerakan itu penjajah Inggris yang digdaya menjadi lemah tak berdaya. India merdeka pada 1947 tanpa satu rumput rusak apalagi darah menetes. Setahun berikutnya pada 30 Januari 1948 Gandhi tewas ditembak tiga peluru oleh ekstremis Hindhu, Nathuram Godse.
Perjuangan gigih ala Mandela maupun Gandhi akan selalu menjadi catatan sejarah
Narasi Rekonsiliasi HRS
Di Indonesia beberapa hari terakhir muncul narasi rekonsiliasi sejak pemimpin FPI Habib Rizieq Shihab (HRS) kembali dari Arab Saudi setelah menetap selama tiga setengah tahun.
HRS selalu disebut sebagai lawan pemerintah karena keteguhannya dalam mengkritisi pemerintahan Joko Widodo. Ia mengasingkan diri menghindari persekusi pemerintah dan tetap memimpin perlawanan dari jauh.
HRS kembali ke Indonesia disambut puluhan ribu pendukungnya. Ada yang menyamakannya dengan kepulangan Ayatullah Khomeini dari pengasingan di Iran menuju Iran sebelum revolusi 1979.
Perbandingan ini agak lebay. Tidak ada faktor-faktor yang mirip antara kondisi Iran di bawah kediktatoran Reza Pahlevi yang didukung Amerika dengan kondisi Indonesia sekarang ini.
Tapi HRS bisa menjadi potensi sandungan serius bagi rezim ini. Karena itu wacana rekonsiliasi pun bergulir.
Opsi Iran tentu sangat tidak masuk akal. Rekonsiliasi ala Mandela atau perjuangan tanpa kekerasan ala Gandhi bisa menjadi alternatif yang lebih elegan.
Syaratnya, semua pihak harus mau memaafkan meskipun tidak melupakan. Kelihatannya sederhana tapi sulit. Para elite politik kita lebih banyak mengumbar pernyataan yang sumbang.
Ada yang mempertanyakan sumbangsih kaum milenial kepada negara. Ada yang menyebut ibukota amburadul. Ada yang sengaja njambal menyebut HRS sebagai “Si Rizieq”.
Habib juga harusnya sabar menahan diri melakukan isolasi mandiri 14 hari. (*)
The Invictus: Rekonsiliasi ala Mandela, Bagaimana Indonesia? Editor Mohammad Nurfatoni.