Muhammadiyah dan Tradisi Pandawa, kolom ditulis oleh Dhimam Abror Djuraid, alumnus SD Muhammadiyah 14, Manukan Kulon, Surabaya.
PWMU.CO – Penggemar wayang kulit dan dunia perdalangan kehilangan seorang dalang fenomenal Ki Seno Nugroho yang meninggal dunia (3/11/2020) dalam usia 48 tahun.
Ki Seno Nugroho menjadi fenomena dalam dunia perdalangan nasional dengan inovasi Wayang Climen yang memadukan tradisionalisme perdalangan dengan kreativitas teknologi berbasis media sosial.
Pertunjukannya disaksikan puluhan ribu orang melalui media sosial dan akun YouTube dan menjadikan Ki Seno sebagai dalang digital terkemuka di Indonesia.
Minoritas Pandawa Vs Koalisi Besar Kurawa
Ki Seno pergi meninggalkan legacy. Tradisi dakwah melalui perwayangan menjadi salah satu alternatif yang efektif untuk mewariskan nilai-nilai kebaikan versus kebatilan. Pertunjukan wayang memberikan gambaran mengenai perjuangan antara kebenaran dan kejahatan sepanjang zaman.
Dua kubu itu diwakili oleh Pandawa dan Kurawa. Pertarungan dua kubu itu akan terus terjadi dan akan berpuncak pada pertempuran besar Baratayuda yang akan dimenangkan oleh kekuatan Pandawa yang mewakili kebenaran.
Perjuangan hak melawan batil menjadi perjuangan sepanjang hayat (perpetual campaign). Pandawa terus berjuang mengajak kebaikan dan menghadang kejahatan (amar makruf nahi mungkar).
Dua kekuatan kebaikan dan kejahatan itu akan terus-menerus bertempur sampai datangnya Judgment Day, hari penentuan, dalam pertempuran Baratayudha yang akan dimenangkan oleh Pandawa yang mewakili kubu kebaikan.
Dalam jejeran wayang, Pandawa selalu berada di sisi kanan yang mewakili kebenaran, dan Kurawa berada di sisi kiri yang merepresentasikan kebatilan.
Pandawa adalah minoritas lima bersaudara yang harus menghadapi koalisi besar Kurawa yang beranggotakan 100 orang. Kekuatan minoritas ini akhirnya memenangkan peperangan besar mengalahkan mayoritas yang angkara murka.
Sisi kanan Pandawa adalah the right side of history, sisi yang benar dalam sejarah. Dalam bahasa Inggris “kanan” dan “benar” sama-sama disebut “right”. Karena itu “the right side of history” berarti sisi kanan dan sisi yang benar dalam sejarah.
Dalam menentukan pilihan perjuangan hidup seseorang harus memilih sisi yang benar, yaitu sisi kanan, sisi Pandawa.
Penulis Amerika Ben Saphiro dalam buku The Right Side of History (2020) memberikan gambaran mengenai bangsa yang terbelah (divided nation), satu berada pada sisi yang salah, satunya berada pada sisi yang benar. Dua kekuatan itu akan senantiasa terlibat dalam pertempuran memperebutkan pengaruh dunia.
Sama seperti jejeran wayang, dalam tradisi filsafat politik, sisi kanan adalah sisi konservatif yang diasosiasikan dengan kelompok politik yang bersemangatkan keagamaan dan kolektivitas. Sisi kiri mewakili kalangan liberal yang lebih dekat dengan individualisme dan sekularisme.
Menurut Saphiro, kelompok kanan berada pada sisi yang benar dalam sejarah, karena kelompok kanan memadukan akal (ilmu pengetahuan) dengan iman yang akan menghasilkan keseimbangan.
Kelompok kiri yang liberal, oleh Saphiro dianggap kehilangan keseimbangan karena terlalu menekankan pada kebebasan individual dan sekularisme sehingga mengabaikan peran agama.
Tiga Tantangan Dakwah Muhammadiyah
Gerakan Muhammadiyah adalah gerakan amar makruf nahi mungkar untuk memajukan bangsa Indonesia melalui pendidikan dan gerakan sosial yang memadukan kekuatan akal dan iman.
Mendekati usia angka cantik “tripple one” ke-111, tantangan dakwah Muhammadiyah semakin kompleks di tengah bangsa yang mengglobal dan persoalan-persoalan kemanusiaan yang semakin rumit.
Mungkin agak over-simplification, terlalu menyederhanakan masalah. Tetapi, secara umum tantangan dakwah Muhammadiyah bisa dirumuskan dalam tiga kategori besar: dakwah pendidikan, dakwah sosial, dan dakwah kebangsaan.
Ketiga-tiganya tidak beroperasi dalam keadaan vakum, tetapi sudah sangat terpengaruh oleh perkembangan global.
Jeffrey D. Sachs pemikir Amerika Serikat dalam The Ages of Globalization: Geography, Technology, and Institutions menggambarkan keterkaitan seluruh penjuru bumi satu dengan lainnya tak terpisahkan sejak era Paleolithic sampai era Covid-19 sekarang ini.
Tantangan di bidang pendidikan adalah menguatnya wacana global pendidikan liberal yang sekarang dibawa oleh Mas Menteri Nadiem Makarim. Penekanan terhadap iptek yang terlalu berlebihan akan cenderung meminggirkan imtak.
Pandangan “technological determination” yang melihat teknologi sebagai satu-satunya sumber kemajuan adalah pandangan kacamata kuda yang tidak seimbang. Determinasi teknologi akan meminggirkan pendidikan humaniora termasuk pendidikan agama, dan berpotensi menyeret kita ke sisi sejarah yang salah.
Manusia akan sempurna jika bisa memadukan kekuatan akal dan iman menjadi satu. Sebaliknya akan menjadi timpang dan tidak sempurna jika hanya mengedepankan akal saja tanpa iman, atau iman saja tanpa akal.
Itulah hakikat pendidikan untuk menyempurnakan hakikat kemanusiaan. Manusia lahir sebagai bayi yang belum sempurna. Untuk mencapai kesempurnaan dibutuhkan pendidikan untuk menyempurnakan akal dan imannya.
Itulah tujuan pendidikan Muhammadiyah, menjadikan manusia sebagai insan kamil yang sempurna iman dan akalnya.
Menurut Saphiro sebuah bangsa berada pada sisi yang benar jika bisa memadukukan “kekuatan Athena” dengan kekuatan “Jerusalem”. Kekuatan Athena (Yunani) adalah kekuatan akal dan ilmu pengetahuan, sedangkan kekuatan Jerusalem adalah kekuatan iman.
Almarhum BJ Habibie pernah mengajukan konsep yang sama dengan menyebut istilah “Otak Jerman hati Mekah”. Perpaduan antara ilmu pengetahuan dan iman, iman dan takwa, imtak.
Pendidikan Muhammadiyah bertujuan membentuk manusia Indonesia yang seimbang dalam imtak. Manusia yang mempunyai otak ilmu pengetahuan sekelas “otak Jerman” Habibie, tapi tetap dibarengi hati penuh takwa yang selalu bertaut ke Mekah sebagai kiblat iman.
Ancaman terhadap imtak muncul dari pendidikan liberal yang mengagungkan individualisme dan sekularisme. Pendidikan liberal menekankan pada penguasaan ilmu pengetahuan tanpa harus dibarengi dengan agama.
Beberapa waktu belakangan ini muncul wacana agar pendidikan agama tidak dilakukan di sekolah tapi diserahkan kepada pribadi masing-masing. Wacana semacam ini akan menyeret manusia Indonesia ke sisi sejarah yang salah (the wrong side of history).
Kemajuan ilmu pengetahuan yang tidak dibarengi iman akan menjadikan manusia memainkan peran Tuhan (playing god). Kemajuan ilmu pengetahuan bisa memperpanjang umur manusia. Kemajuan ilmu genetika bisa menciptakan manusia yang lebih cerdas dan terhindar dari penyakit. Kemajuan ilmu pengetahuan bisa menciptakan manusia super ala Superman.
Ilmu pengetahuan sudah bisa menciptakan kloning domba dengan lahirnya domba Dolly pada 1997 yang lahir dari kloning sel domba dewasa. Percobaan ini bisa selangkah lebih maju dengan melakukan kloning terhadap manusia.
Jika atas nama liberal science kemudian ilmu pengetahuan boleh berkembang bebas sehingga manusia pun bisa dilahirkan tanpa proses pembuahan dan persalinan maka kemanusiaan akan terancam.
Dakwah bidang sosial Muhammadiyah terutama yang berfokus pada pelayanan kesehatan dan dunia kedokteran juga menghadapi tantangan global yang sama. Kemajuan iptek di bidang kedokteran dengan ditemukannya teknologi stemsel dan neurosains akan membawa kemajuan yang luar biasa bagi kesejahteraan manusia.
Stemsel akan menghasilkan manusia yang tak akan cepat aus oleh penyakit apapun. Dalam kacamata sains kematian bukan karena takdir, tapi karena kegagalan fungsi-fungsi organ tubuh menjalankan tugas sebagaimana mestinya.
Kalau organ-organ itu bisa tetap berjalan normal kematian akan bisa dihindarkan. Teknologi stemsel membawa kemungkinan luas untuk bisa memperpanjang usia manusia, 100 tahun, 150 tahun.
Kemajuan neurosains akan bisa menciptakan manusia super genius mengalahkan Habibie maupun Einstein. Dunia bisa didesain untuk diisi hanya oleh manusia-manusia super berumur panjang dengan IQ 200.
Orang-orang super kaya yang bisa membayar teknologi akan bisa menciptakan manusia-manusia super human dan mengeliminasi manusia-manusia medioker yang miskin dan tidak mampu.
Pekerjaan-pekerjaan kasar akan diambil alih oleh mesin robotik. Dunia akan diisi oleh sedikit manusia superhuman. Proses eliminasi berjalan dengan sendirinya sesuai dengan prinsip Darwin, “Survival of the fittest by way of natural selection”, hanya yang kuat yang bisa bertahan melalui seleksi alam.
Pertanyaannyan besar yang muncul kemudian adalah pertanyaan ala gembala kambing kepada Umar bin Khattab, “Faayna Allah?” Di mana Allah kalau manusia sudah bisa playing god, memainkan peran Tuhan?
Posisi Muhammadiyah jelas dan tegas. Selama sains bisa memberi manfaat terhadap kemanusiaan maka akan dimanfaatkan, tapi jika memberi mudharat maka akan ditinggalkan. Stemsel dan neurosains yang dipakai untuk pengobatan adalah halal, tapi jika dipakai untuk terapi meningkatkan kualitas hidup bisa masuk kategori haram.
Tantangan Muhammadiyah dalam dakwah kebangsaan saat ini berada pada titik yang paling krusial selama satu abad keberadaannya. Indonesia sekarang menjadi “divided nation”, bangsa yang terbelah, yang bisa mengancam eksistensi bangsa.
Selama lima tahun terakhir isu-isu besar yang muncul selalu memecah masyarakat menjadi dua kelompok yang seolah-olah berhadapan diametral. Rekonsiliasi politik pasca pilpres 2019 ternyata hanya rekonsiliasi semu.
Dua perkembangan terbaru, UU Cipta Kerja dan kepulangan Habib Rizieq menjadi contoh betapa pentingnya rekonsiliasi nasional yang tulus dan saling menghormati.
Bangsa Indonesia sudah mempunya “common denomination” pijakan yang sama untuk melangkah bersama. Pijakan bersama itu adalah Pancasila yang sudah menjadi konsensus bersama para founding fathers, pendiri bangsa.
Tetapi alih-alih menjadikan Pancasila sebagai “common denomination”, rezim sekarang ingin memonopoli tafsir dan interpretasi terhadap Pancasila dengan mendaku sebagai yang paling Pancasila seolah-olah Pancasila barang warisan yang bisa dikantongi sendiri.
Rezim ini mengidap “historical myopia”, rabun sejarah, tak punya pandangan jauh ke depan dan tidak punya kaca spion untuk menoleh ke belakang. Monopoli terhadap tafsir Pancasila adalah kesalahan sejarah yang dilakukan oleh Presiden Sukarno dan Presiden Soeharto yang berakibat sama-sama fatal. Ternyata bukan hanya keledai yang terperosok lubang yang sama berkali-kali.
Muhammadiyah berperan strategis untuk menjadi perekat bangsa yang terpecah ini. Pancasila dengan spirit Ketuhanan Yang Maha Esa adalah ruh perjuangan bangsa Indonesia. Biarkan dia utuh seperti adanya tidak perlu diperas jadi Trisila apalagi Ekasila dengan mengaburkan peran Ketuhanan Yang Maha Esa.
Indonesia akan gagal menghadapi tantangan global yang dahsyat ini kalau tidak bisa menyelesaikan masalah yang paling fundamental ini.
Jeffrey D. Sachs menyebutkan tiga modal utama yang bisa menjadi senjata bangsa-bangsa untuk bisa “survive and strive”, bertahan dan berkembang, yaitu modal geografi, modal teknologi, dan modal institusi.
Letak geografis sebuah negara adalah berkah, given, dari Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat. Negara-negara yang beriklim sedang (temperate) yang menyebar di sekujur Garis Khattul Istiwa’ (Katulistiwa) punya potensi untuk lebih makmur dibanding negara-negara yang jauh di atas garis yang membuatnya gersang dan di bawah garis yang membuatnya beku.
Indonesia mendapatkan berkah modal yang sangat berharga. Jamrud Katulistiwa, jaminan kemakmuran. Tongkat dan batu jadi tanaman di Nusantara, kata Koes Plus. Tapi di negeri Indonesia tongkat dipakai menggebuk buruh dan batu untuk melempari polisi.
Modal teknologi adalah sebuah niscaya. Di dunia global penguasaan teknologi akan menjadi faktor pembeda. Akses terhadap teknologi terbuka bagi bangsa mana saja selama strategi pendidikannya bisa menjawab tantangan globalisasi, dan bisa menempatkan diri pada sisi sejarah yang benar. Teknologi adalah ciptaan manusia yang bisa diakses manusia mana saja yang mumpuni.
Faktor ketiga adalah institusi, dalam hal ini adalah pemerintahan. Lokasi geografis adalah given dari Tuhan, sedangkan teknologi dan institusi adalah buatan manusia. Banyak negara-negara kaya sumber daya alam terkena kutukan “Resource Curse”, alih-alih makmur malah gembel.
Institusi pemerintahan yang memble dan plonga-plongo akan membuat sebuah bangsa yang secara geografis potensial makmur menjadi terpuruk, dan hanya bisa hidup sebagai kuli di tengah bangsa-bangsa dan bangsa di tengah para kuli, “Coolies among nations, nation among coolies,” kata Bung Karno.
Bahwa bangsa Eropa dan Amerika yang berada pada negara empat musim ditakdirkan menjadi bangsa yang kaya dan maju adalah omong kosong. Banyak studi yang membantah soal itu.
Anderson dan Acemoglu dalam buku “Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty” (2015) membuktikan bahwa negara menjadi maju karena institusi pemerintahannya ‘inclusive” melibatkan rakyat dalam berbagai keputusan strategis.
Institusi negara yang “extractive” akan menjadi negara miskin dan terbelakang. Kebijakan extractive adalah kebijakan yang mengeksploitasi rakyat dengan mengambil keputusan tanpa “manufacturing consent” melibatkan kesepakatan rakyat, misalnya undang-undang yang digedok di tengah malam ketika rakyat pulas.
Muhammadiyah adalah instutusi sosial yang bisa mengisi kelemahan institusi formal negara yang ekstraktif. Muhammadiyah bisa menjadi contoh institusi sosial yang inklusif yang menjadi modal besar untuk kemakmuran bangsa.
Dalam pergelaran Wayang Climen Ki Seno Nugroho Indonesia sekarang tengah memasuki episode “goro-goro” menjelang dinihari, yang sangat krusial dalam sejarah eksistensi bangsa.
Muhammadiyah harus tetap berada di sisi kanan Pandawa, the right side of history, berada pada sisi sejarah yang benar dan terus berjuang melawan angkara murka.
Mungkin sekarang Indonesia tengah menjalani episode lakon “Petruk Dadi Ratu” dengan munculnya Si Petruk menjadi raja dengan gelar besar Prabu Kantong Bolong.
Bumi gonjang-ganjing, langit kelap-kelap, katon lir kincanging alis, risang. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.