PWMU.CO – Wawancara Khusus Haedar Nashir: Muhammadiyah Penjaga Kiblat Bangsa. Memperingati Milad Ke-108 Muhammadiyah, PWMU.CO melakukan wawancara khusus dengan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir MSi.
Wawancara yang dilakukan melalui sambungan telepon seluler, di Yogyakarta, Sabtu (14/11/2020) ini diharapkan memperluas perspektif tentang Muhammadiyah di usia yang ke-108 ini.
Selamat membaca!
***
Apa arti Milad Ke-108 Muhammadiyah yang bertema Meneguhkan Gerakan Keagamaan Hadapi Pandemi dan Masalah Negeri?
Pertama, milad ini membawa tema tentang gerakan keagamaan. Kita ingin memperteguh memori kolektif warga Muhammadiyah tentang hakikat Muhammadiyah sebagai harakatul islamiyah (gerakan Islam) yang membawa misi dakwah dan tajdid.
Dakwah dan tajdid itu satu paket yang utuh di Muhammadiyah. Dan itu yang harus terus menjadi inspirasi, menjadi pola pikir, dan bahkan juga menjadi orentiasi tindakan. Bahwa kita menggarap pendidikan, kita menggarap rumah sakit, dan kita menggarap pelayanan sosial. Bahkan dalam menghadapi kebangsaan, ya bandul utamanya harus berangkat dari misi dakwah dan tajdid itu. Bukan berangkat dari prespektif yang lain.
Ini penting agar warga Muhammadiyah–lebih-lebih-lebih kader dan elitenya—dapat menggali kembali khazanah pemikiran-pemikiran keagamaan Muhammadiyah yang menjadi pondasi gerakan Muhammadiyah, termasuk di tengah pandemi ini.
Kenapa Muhammadiyah sejak awal konsisten bahwa, pertama kita menentukan sikap itu, karena ini menyangkut urusan pandemi, menyangkut virus. Dan virus itu urusan ahli-ahli epidemiologi. Maka kita rujukannya ilmu pengetahuan.
Yang kedua, karena kita ini gerakan keagamaan maka ilmu pengetahuan kita padukan dengan agama lalu lahirlah berbagai macam sikap kebijaksanaan, kebijakan dan padangan Muhammadiyah tentang panduan beragama. Nah panduan beragama itu kuat secara Quran, kuat secara hadits, kuat secara ijtihad dalam ushul fikih kita. Dan juga basisnya pada ilmu.
Apa yang dilakukan Muhammadiyah itu wujud dari aktualisasi pandangan keagamaan itu. Dalam konteks praktisnya bahwa Islam harus jadi solusi di tengah pandemi yang nyata ini. Dan pandemi ini kan biarpun di awal-awal orang mengatakan sebagai konspirasi, sebagai ilusi, tapi akhirnya kan nyata. Orang di kanan kiri kita yang semula segar-bugar karena virus ini dipanggil Allah.
Nah, dengan realitas ini, pandangan keagamaan kita jangan malah jadi bikin rumit masalah. Kita harus meringankan masalah sehingga kemudian kita angkat Muhammadiyah harus menjadi solusi bagi negeri.
Begitu juga di dalam menghadapi masalah kebangsaan. Setiap tahapan berbangsa kita ini, siapapun pemerintahnya, selalu ada masalah. Muhammadiyah berusaha untuk, ketika ada masalah, sesuai dengan porsinya. Kita memberi analisis terhadap masalah itu. Juga kita menawarkan solusi atas masalah itu.
Inilah sikap dan pandangan Muhammadiyah, kenapa kita angkat tema “Meneguhkan Gerakan Keagamaan Solusi Hadapi Pandemi dan Masalah Negeri”.
Masalah negeri yang menjadi fokus perhatian Muhammadiyah?
Yang kita hadapi itu kan memang hal yang menyangkut hajat hidup publik, rakyat. Jadi ketika rakyat kita menghadapi pandemi lalu dampaknya, selain kesehatan juga sosial ekonomi, ya kita Muhammadiyah mencoba selain memberi tawaran yang bersifat kesehatan dan ekonomi, tapi juga mendesakkan pada pemerintah agar menjalankan fungsi dan perannya sebagai representasi negara.
Kemudian ketika masalah ideologi menyangkut Pancasila itu menjadi krusial di dalam RUU HIP (Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasla) misalkan, lalu Muhammadiyah juga menyuarakan dengan cerdas bahwa di satu pihak kita memerlukan undang-undang itu maka undang-undang itu harus betul-betul berada di jalan yang tepat. Yakni memposisikan Pancasila sebagaimana rumusan 18 Agustus 45. Bukan Pancasila yang lain.
Karena sudah menjadi masalah pro-kontra, lalu kita tawarkan sebaiknya dihentikan. Itu suatu contoh dari apa yang bisa kita lakukan. Juga ketika menyangkut UU omnibus law, misalkan sejak awal kita berkeberatan lalu kita juga cukup elegan memberi masukan-masukan.
Tapi ketika akhirnya pemerintah dan DPR memutuskan seperti itu, ya kita kaji lagi, setelah menjadi UU itu seperti apa? Lalu kita beri masukan juga. Solusinya bahwai mereka yang tidak puas silakan ke MK, kemudian kalau ada peluang ya pemerintah melakukan revisi terhadap substansi yang bermasalah.
Kemudian juga lebih dari itu kita juga tetap ingin menjadi penjaga kiblat bangsa. Karena di tengah situasi politik yang serba liberal, ekonomi yang cenderung liberal, dan budaya yang liberal lewat medsos, dalam konteks bangsa, kita ingin tetap berpatokan kepada nilai-nilai luhur bangsa sebagaimana diletakkan para pendiri bangsa.
Apa yang dilakukan Muhammadiyah ini sebenarnya pra-imperatif yang proaktif dalam kehidupan kebangsaan, yang justru juga aktualisasi dari dakwah amar makruf nahi mungkar dan tajdid. Jadi kesimpulannya, bahwa isu-isu kebangsaan itu selalu menjadi perhatian Muhammadiya.
Ada dua hal yang selalu Muhammadiyah suarakan. Pertama soal kesatuan Indonesia, kesatuan nasional. Jujur bahwa di tengah tarik-menarik berbagai pandangan politik, sikap politik, dan mungkin juga aspek perbedaan ideologi, kalau tidak hati-hati bangsa ini bisa pecah. Nah itu Muhammadiyah selalu menyuarakan tentang kebersamaan, tentang pentingnya persatuan dan kesatuan, dan sebagainya.
Yang kedua tentang kesenjangan sosial yang faktor yang krusial. Yaitu kita akan terus mencoba berkomitmen terhadap masalah-masalah besar bangsa itu dalam posisi Muhammadiyah sebagai ormas dakwah yang membawa misi dakwah dan tajdid. Bukan sebagai organisasi politik.
Bagaimana Sikap Muhammadiyah tentang Wacana Pendirian AUM Politik?
Soal AUM (amal usaha Muhammadiyah) politik itu kan sudah pilihan, bukan lagi PP, itu pilihan lewat muktamar ke muktamar. Jadi setelah era Masyumi—ini supaya pada paham—dan kegagalan mendirikan Pamusi, itu sebenarnya Muhammadiyah sejak tahun 1971 sudah mengambil garis keras, tegas, untuk tidak punya dan tidak berurusan langsung dengan partai politik, kan itu intinya.
Karena itu, selama muktamar juga tetap menggariskan seperti itu kita tetap akan mengikuti itu. Bahkan di muktamar Makassar terakhir juga kan penegasan itu cukup kuat. Karena itu dengan menghargai setiap pandangan yang bermunculan, kita akan menjaga garis itu.
Entah itu namanya amal usaha atau juga ijtihad mendirikan patai politik. Itu tetap berada di luar garis khittah. Bahwa ke depan kita perlu agenda bagaimana sih perjuangan politik itu kita lakukan, ya kita tetap gunakan komunikasi politik lewat partai-partai politik yang ada. Bahwa berhasil atau tidak kan kewajiban kita ikhtiar. Ada yang berhasil, ada yang tidak.
Sama sih, nanti jadi partai politik juga sama. Kalau Muhammadiyah punya partai politik itu juga bisa berhasil, bisa tidak.
Ketika terakhir samar-samar membidani lahirnya partai politik kan akhirnya juga ya, jadi bukan politik juga. Jadi selalu ada risiko. Jadi Muhammadiyah ini terbiasa untuk menghadapi berbagai macam risiko, plus-minus dari segala perjuangan.
Dan kita tidak perlu meratapi dan mengubah apa yang sudah menjadi paradigma buat kita bahwa punya amal usaha politik itu—di samping memang harus ada keputusan muktamar—yang kedua juga kita sudah punya pengalaman dua kali kok. Bahkan mungkin kalau yang terakhir disebut tiga kali, ya tiga kali dia membidani lahirnya partai politik seperti PAN misalkan.
Jadi kalau orientasi ingin perjuangan pada kekuasaan untuk berhasil ya silakan saja kader-kader partai Muhammadiyah kalau mau bikin partai lagi, tapi nanti akan diuji oleh konstitusi dan oleh publik juga. Nggak mudah bikin partai itu.
Jadi amal usaha politik itu secara teoritis enak untuk dikatakan tapi secara praktik pernah dilakukan Muhamadiyah lewat Masyumi, lewat Parmusi, dan terakhir PAN secara samar-samar itu kan, secara historis. Jadi itu sudah lebih dari cukup buat Muhammadiyah untuk tetap berada di garis khittah.
Ini bukan urusan Haedar Nashir yang pro-politik atau tidak suka politik. Ini urusan institusi di mana kita masih berlaku kepribadian. Bahkan Muktamar Ke-47 di Makassar tahun 2015 sudah ditegaskan lagi bahwa Muhammadiyah harus berdiri pada khittah-nya.
Tentang trend gerakan Islam populis atau gerakan massa di jalanan?
Memang ada trend (seperti itu). Pertama trend ketika situasi di Indonesia ini setelah reformasi pada proses libelarisasi, itu kan. Kemudian pada saat yang sama melahirkan ada banyak masalah yang dulu tidak terungkap jad terungkap. Jadi serba terbuka itu. Orang kan lalu kecenderungannya jadi ingin serba ekstrem. Nah yang ekstrem-ekstrem itu sekarang kan laris. Itu yang pertama.
Kemudian yang kedua, ada gumpalan di tubuh umat Islam yang sering saya sebut sebagai psikologi deprivasi relatif. Jadi kegagalan-kegagalan dalam politik di kalangan umat Islam itu melahirkan sikap yang anti-status quo. Kemudian muncul lagi sentimen-senitmen politik lama yang direproduksi, bahwa ini musuh, ini bukan. Dua hal ini melahirkan sikap politik populis yang ekstrem sebenarnya atau apapun namanya yang reaksioner.
Nah, ketika organisasi-organisasi Islam mapan seperti Muhammadiyah tetap dengan langgamnya, ya itu dianggap seakan-akan tidak heroik, tidak memperjuangkan Islam, tidak bela Islam. Padahal apa sih yang disebut bela Islam sampai Muhammad Abduh mengatakan bahwa al-islam mahjubun bil muslimin.
Bahwa kejumudan berpikir itu sebenarnya juga menjadi problem besar buat umat Islam, sehingga ketika Muhammadiyah melakukan gerakan pencerdasan alam pikiran lewat gerakan berkemajuan, lewat isu-isu pencerahan, misalkan, apakah itu tidak disebut bela Islam?
Kemudian ketika umat Islam dhuafa lalu Muhammadiyah merintis untuk pemberdayaan, untuk penguatan ekonomi, kemudian kita bahkan memberi contoh bahwa Muhammadiyah ini mandiri insyaallah termasuk di Jawa Timur, kan merasakan bahwa kita secara umum itu mau bikin ini mau bikin itu tidak perlu minta orang. Apakah itu tidak Islam dan tidak perjuangan islam?
Saya pikir ini perbedaan paradigma. Dan Muhammadiyah tidak akan goyah dengan tuntutan-tuntutan Islam yang seperti itu. Memang suasana heroisme Islam itu kan seperti itu. Apakah kita akan membiarkan Islam yang selalu memobilisasi massa tetapi tidak pernah memberdayakan umat, misalkan.
Yang diuntungkan siapa sih? Yang diuntungkan kan elite yang dikultuskan, elite yang diidealisasi menjadi sosok-sosok Imam Mahdi, gitu kan? Tetapi apakah umat naik kelas tidak, dalam kondisi ekonominya, dalam pendidikannya, dan kemandiriannya? Jangan-jangan justru yang memperoleh keuntungan dari situasi politik Islam seperti itu ya para elitenya. Sementara umat kita tetap berada di bawah.
Jadi ini problem yang harus didialogkan dan perlu menjadi pemikiran bersama juga. Bahwa apa yang dilakukan Muhammadiyah itu, tidak banci dalam menghadapi keadaan, tetapi persoalan-persoalan yang muncul itu kan banyak konstruksi tergantung dengan orangnya atau kelompoknya.
Jadi ya saya selalu bilang, kalau ada orang bilang bahwa Indonesia baik-baik saja, Muhammadiyah tidak akan berada di garis itu. Karena nyatanya ini punya problem. Tetapi sama juga ketika ada orang bilang bahwa Indonesia ini sudah hancur, ya Muhammadiyah tidak juga akan terbawa arus pemikiran itu.
Karena banyak hal yang dalam perjalanan bangsa ini dinamikanya selalu ada plus-minus. Jadi di situlah posisi moderat Muhammadiyah. Yang moderat menang tidak disukai oleh mereka yang ingin berada di garis perjuangan yang keras, yang jalanan, dan sebagainya.
Tapi tidak bisa dipungkiri banyak juga dari warga Muhammadiyah yang kemudian tertarik?
Ya kalau itu tinggal dua yang harus dilakukan. Pertama tugas pimpinan kita untuk memahamkan bahwa garis Muhammadiyah itu seperti ini. Dan masak sih mereka tidak belajar tentang apa itu kepribadian, apa itu khittah, dan bagaimana perjalanan Muhammadiyah sejak sebelum kemerdekaan sampai setelah kemerdekaan.
Muhammadiyah ini kenyang dengan pengalaman. Dulu bagaimana benturan dengan Masyumi, dengan Syarikat Islam, dan sebagainya. Saya pikir warga Muhammadiyah dan yang ada di bawah perlu dipahamkan.
Yang kedua, mereka kan harus punya tolok ukur di dalam pergerakan itu. Tolok ukur keagamaannya manhaj tarjih. Kalau PP misalkan keluar dari manhaj tarjih itu, mereka boleh kok untuk mengevaluasinya di muktamar, atau orang-orang di PP sendiri misalkan. Itu sesuatu yang terbuka.
Kemudian misalkan kalau dalam sikap kebangsaan PP Muhammadiyah ini keluar dari garis kepribadian dan khittah bisa dibuktikan oleh mereka. Jadi tolok ukurnya harus tolok ukur organisasi. Bukan bawa karep-nya sendiri-sendiri. Kalau bawa karep-nya sendiri-sendiri ya susah tolok ukurnya.
Jadi Muhammadiyah, kami ini di PP, insyaallah masih tetap menjaga garis itu dan berada garis itu. Karena itu mohon yang di bawah ini juga belajar. Kurang apa sih kemaren kayak legitimasi teologis atau keagamaan dari tarjih. Ini sudah institusi tarjih ketika menghasilkan pedoman menghadapi pandemi.
Jadi kalau ada yang di bawah lalu tidak mengikuti itu ya kalau memang masih tidak puas bisa dialog kok dengan Majelis Tarjih. Di mana sih salahnya Majelis Tarjih sampai mereka tidak mau mengikuti, misalkan. Jadi tolok ukurnya begitu. Jangan maunya sendiri. Nah kekuatan Muhammadiyah kan pada organisasinya. Kalau masing-masing sudah bawa sendiri ya berarti kerumunan namanya, bukan organisasi, bukan perserikatan.
Itu yang disebut sebagai raja-raja kecil?
Makanya kalau ada raja-raja kecil mari kita mulai ber-muhasabah. Untuk apa ti bermuhammadiyah. Ini baik di tingkat pimpinan maupun warga. Kita ini kan diajari di persyarikatan sejak di IPM, IMM, di Pemuda Muhammadiyah, dan seterusya, atau di sekolah Muhammadiyah.
Bahwa berkhidmat di Muhammadiyah ini kan kita ingin berorganisasi lewat persyarikatan kita. Niatnya menggabungkan diri pada sistem, bukan bawa sendiri-sendiri. Kalau mau bawa kemauan sendiri-sendiri ya sejak awal lebih baik belok kanan belok kiri. Muhammadiyah memang di situ letaknya. Dan semua mestinya sudah tahu lah, jadi kalau memang mau masuk Muhammadiyah itu ya ada manhaj tarjih-nya, ada prinsip-prinsip ideologinya, ada sistemnya.
Nah tiga hal itu menjadi tolok ukur kita berorganisasi. Kalau mau menjadi raja-raja kecil ya memang agak susah di Muhammadiyah ini. Kan Muhammadiyah ini kata Pak JK (Jusuf Kalla) kayak holding company semuanya dalam satu sistem persyarikatan.
Soal internasiolisai Muhammadiyah dengan PCIM-PCIM?
Jadi amanat muktamar itu kan internasionalitas di Muhammadiyah. Sekarang kita banyak seminar pertemuan internasional itu lalu kita lanjutkan. Nah kedua di era sekarang ini internasionalasasi Muhammadiyah ini melalui penguatan PCIM (Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah). Penguatan PCIM itu di samping menambah jumlah PCIM tapi kita mencoba memfungsikan agar PCIM itu real. Agar PCIM itu betul-betul bisa begerak.
Nah yang ketiga, alhamdulillah kan banyak sekali PCIM itu punya sesuatu yang bisa menjadi pusat keunggulan. Di Malaysia sudah muai bergerak ekonomi misalkan.
Kemudian PP sengaja membikin markas dakwah di Mesir hasil kita sendiri. Kita bangun gedung markas dakwah. Itu sebagai simbol. Di Timur Tengah kita ingin memperbesar keunggulan. Kemudian kita merintis universitas Muhammadiyah Malaysia yang sedang terus berproses. Juga sekolah Muhammadiyah di Melbourne.
Semua itu bagian dari usaha internasionalisasi Muhammadiyah. Jadi setelah era wacana, masuk pada era penguatan institusi. Nah yang berikutnya itu adalah membikin pusat keunggulan atau amal usaha.
Artinya ke depan Muhammadiyah akan menjadi gerakan transnasional?
Ya transnasional dengan orientasi persaingan membangun keunggulan. Jadi bukan transnasional yang orientasinya itu memaksakan ideologi, bukan. Ideologi Muhammadiyah tetap ideologi yang reformis di tengah kancah di dunia.
Mungkin ke depan lagi itu kita harus masuk pada diaspora kader Muhammadiyah di era global, di forum global, di dunia global. Jadi harus siap kader-kader generasi anak cucu kita ke depan itu diaspora kader Muhammadiyah.
Mungkinkan ada warga lokal di negara-negara itu menjadi anggota Muhammadiyah?
Boleh, karena apa? Pertama kan kita itu membuka ruang untuk anggota istemewa. Yang kedua hakikat dari PCIM itu lebih ke perhimpunan sebenarnya. Tidak semata-mata organisasi. Nah perhimpunan itu lebih mencair. Dan saya pikir itu lebih cocok. Silakan saja kan sudah mulai ada lewat Tapak Suci di Mesir, di Jerman, dan sebagainya.
Jadi itu sedikit ke depan. Nah mungkin dengan perkembangan pemikiran, lalu kemampuan berbahasa yang baik, nanti warga Muhammadiyah dan PCIM itu bisa lebih menglobal lagi di era yang lebih terbuka ini. (*)
Penulis/Editor Mohammad Nurfatoni.