PWMU.CO – Sare film pendek pembelajaran bahasa Jawa pada saat pandemi dibuat oleh Guru SMP Muhammadiyah 3 Waru Sidoarjo Fammi Yusdianto SPd.
Diproduksi pada 8 Obtober 2020, film yang berdurasi 8,38 menit ini memberikan materi pembelajaran bahasa Jawa yang disajikan secara kreatif yang dipadu dengan adegan lucu dan menggelitik. Film garapan tim Sinematografi SMP Muhammadiyah 3 Waru (Mugaru) Sidoarjo ini selanjutnya bisa diakses melalui YouTube https://youtu.be/sV_8nr_q-rY.
Fammi mengatakan dari segi rasa film ini berbeda dengan kebanyakan video pembelajaran yang beredar di dunia maya. Film ini dikonsep sekreatif mungkin agar para siswa asyik menikmati pelajaran seperti nonton sebuah film.
“Untuk menarik kesan siswa di bagian awal film ini disajikan adegan lucu dan menggelitik. Pada bagian ini dihadirkan dua sosok yang kontras antara lagu yang digemari bapak dengan putranya,” ujarnya saat diwawancarai, Selasa (17/11/20).
Biaya Produksi Rp 2,5 Juta
Fammi menjelaskan dalam adegan film Sare tersebut sang bapak tampak begitu menikmati lagu-lagu Jawa yang ia dengarkan dari radio kuno. Sambil menikmati segelas kopi hitam, dia merebahkan badan di atas dipan depan rumah.
“Seketika sang Bapak dikagetkan dengan lagu disko seakan berperang dengan suara radionya. Saat sang Bapak membuka mata, ternyata Slamet, putranya yang sedang asyik berjoget dengan ritme lagu disko di HP-nya,” terang guru Bahasa Inggris yang juga menjabat sebagai humas ini.
Dia pun menceritakan dialog-dialog dalam film yang menelan biaya Rp 2,5 juta ini. “Met, awakmu lapo isuk-isuk kludang-kludung koyo cacing kepanasan (Met, kamu kenapa pagi-pagi lontang-lantung seperti cacing kena panas),” tanya sang bapak.
“Ah, Bapak iki nggak kekinian. Kurang gaul (Ah, bapak ini tidak kekinian, tidak gaul),” jawab Slamet.
Sang Bapak membanting kipas lipat dari tanganya. Dia mendudukkan putranya. “Slamet, anakku sing bagus dewe. Kowe iku wong Jowo le. Ojo nganti lali karo jowo mu (Slamet, anakku yang ganteng sekali, Kamu ini orang Jawa. Jangan sampai lupa dengan Jawa kamu),” pesan bapak Slamet. “Slamet iki wong Jowo Pak, tapi nggak ketinggalan zaman (Slamet ini orang Jawa Bapak, tapi tidak ketinggalan zaman),” jawabnya pada ayahnya sambil tersenyum.
Pastikan Kuasai Basa Jawa
Fammi melanjutkan cerita Sare. Sang Bapak tersenyum lega mendengar jawaban anaknya. Sesaat dia memberikan beberapa pertanyaan tentang basa krama untuk memastikan anaknya masih menguasai basa Jawa.
Dia pun menirukan dialog antara tokoh sang Bapak dan Slamet. “Boso kromone bapak (Bahasa kramanya Bapak),” sang Bapak mengawali pertanyaan.
“Yo Bapak, mosok Papi (Ya Bapak, masak Papi),” jawab Slamet cepat.
Keduanya tersenyum. Tebakan ini terus berjalan dengan asyik dan hangat antara sang Bapak dan Slamet hingga dia berpesan kepada Slamet.
”Le, ilmu kuwi ora naming diucapke Met, nanging kudu ditrapke eneng uripmu saben dino yo! (Nak, ilmu tidak hanya diucapkan, tetapi harus diterapkan di kehidupan setiap hari, ya).”
Slamet menggangguk pertanda setuju.
Sampai pada pertanyaan terakhir, Slamet tampak bingung dengan pertanyaan bapaknya. Dia tidak menjawab dan bergegas meninggalkannya. Bapaknya marah namun tidak digubris Slamat.
Bapak kembali mendengarkan lagu Dandang Gula dari radionya. Selanjutnya rebahan di atas dipan miliknya. Sejenak dia dikagetkan dengan air dingin yang mengguyur seluruh badannya. Air itu dari tangan Slamet, putra kesayangannya.
“Ternyata pertanyaan terakhir itu adalah mengubah kalimat, ‘Bapak turu aku ados (Bapak tidur saya mandi) menjadi bapak sare kulo siram (Bapak tidur saya siram).’ Slamet mengamalkan ilmunya sesuai pesan dari ayahnya,” kata Fammi.
Inilah gambaran generasi muda saat ini, lanjutnya. Bahasa Jawa, sambungnya, seperti sudah menjadi sesuatu yang langka. Bahkan untuk anak-anak yang notabene dilahirkan di tanah Jawa. Apalagi bahasa krama yang merupakan tingkatan yang dimiliki bahasa Jawa itu sendiri.
“Sekarang susah ditemukan komunikasi anak kepada orang yang lebih tua menggunakan Bahasa krama. Mari bersemangat untuk kembali melestarikan bahasa Jawa di manapun kita berada,” tegasnya. (*)
Penulis Agus Widiyanto. Co-Editor Ichwan Arif. Editor Mohammad Nurfatoni.