Langgam Anies dan Framing Media, kolom ditulis oleh Ady Amar, pengamat masalah-masalah sosial.
PWMU.CO – Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sejak awal menjabat akrab dengan framing media.
Framing atau pembingkaian, dari kata asalnya frame, yang bermakna bingkai. Maka, itu bisa dimaknai membingkai informasi atas suatu peristiwa.
Berharap akan terbentuk opini tertentu, atau mempengaruhi opini publik. Itulah sekadar pengertian praktis tentang framing media.
Framing media memberitakan media dengan tidak berbohong, tapi tidak dengan apa adanya. Lewat sebuah pemberitaan, seseorang bisa diberitakan pada peristiwa yang sama tapi dengan penyampaian pemberitaan yang berbeda.
Artinya, jika kita membuka pesawat televisi atau lembaran koran, bahkan membaca media online satu dengan lainnya, melihat atau membaca pemberitaannya, maka yang tersaji adalah pemberitaan yang sama pada satu peristiwa, tapi beda dalam pengambilan sisi pemberitaannya.
Karenanya, framing media dihadirkan dengan meski tidak berbohong, namun bias dalam pemberitaannya. Itu tidak luput dari arah kebijakan sebuah media. Bisa karena motif politik, ekonomi, dan sebagainya.
Karenanya, publik kerap dibuat geram, jika opini yang dikembangkan sebuah media yang tidak sesuai dengan kenyataan yang ada.
Teranyar adalah pemberitaan sebuah stasiun televisi, saat memberitakan massa penjemputan kedatangan Habib Rizieq Shihab (HRS). Dinarasikan dalam pemberitaannya, dijemput pendukungnya dengan seribuan massa penjemput.
Pemberitaan pada peristiwa yang terjadi itu memang benar, tapi dengan mengecilkan jumlah massa dalam penjemputan itu. Hal biasa buat sebuah media berlaku demikian, mengecilkan jumlah massa, atau bahkan membesarkan sesuai dengan kepentingannya.
Langgam Anies
Anies Baswedan memang menjadi pihak yang jadi langganan “bulan-bulanan” media yang terkooptasi oleh kepentingan.
Saat awal menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, dia sudah mulai diakrabi oleh pendekatan model framing media.
Saat berpidato pada awal jabatan sebagai gubernur, ia sudah dihantam dengan satu kata, yaitu kata “pribumi”. Kata yang diucapkannya hanya sekali dalam pidatonya yang lumayan panjang.
Meski kata “pribumi” disampaikannya dalam konteks kolonialis, tapi satu kata itu mampu di-framing dengan digoreng ke sana ke mari. Sedang narasi pidato yang panjang dan berkelas, itu tidak sedikit pun dibahas dengan semestinya.
Kata “pribumi” yang disampaikannya itu oleh media mainstream dan media online direspons dengan nyinyir, dan memelintirnya dengan membenturkan pada kelompok etnis Cina.
Mengucap kata “pribumi”, meski dalam konteks kolonialis, seolah dianggap hal tabu, bagai mengucap kata terlarang dari ajaran terlarang.
Dan pada pemberitaan mutakhir, saat Anies silaturahim menemui HRS. Pemberitaannya dipelintir seolah yang dilakukannya itu perbuatan salah, bahkan salah besar. Silaturahim menjadi dimaknai lain, pada siapa yang boleh dan tidak boleh. Meski itu diredaksi dengan sangat hati-hati, tapi tetap bisa terlihat.
Framing media pada Anies akan terus terlihat dengan terang benderang. Tidak itu saja, juga perlakuan tidak adil akan mengenanya, dan terus hadir memenuhi pemberitaan.
Langgam Anies, dalam menerima perlakuan itu tetap dengan ekspresi tenang, tidak menunjukkan rasa gusar apalagi marah. Tetap fokus dan enjoy dengan tugas-tugas seabrek yang mesti dikerjakan.
Karenanya, langgam yang dimainkannya itu, selama ini efektif, sehingga tidak kehilangan fokus dalam bekerja. Ia tak menghiraukan framing yang ada, tidak menganggapnya, dan lalu mesti klarifikasi.
Langgam atau style Anies itu bukan langgam kaleng-kaleng, tapi itu tempaan dari kepribadian matang yang melekat jadi sikap dan role model dalam kepemimpinannya.
Tidak banyak langgam model Anies ini—langgam dengan emosi terjaga. Dan dari yang sedikit ini pastilah pribadi dengan kepribadian istimewa.
Wallahu a’lam. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.