PWMU.CO – Haedar Nashir: Pahami Makna di Balik Peristiwa. Ajakan itu disampaikan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Dr H Haedar Nashir MSi.
Dia menyampaikannya saat menjadi pembicara kunci pada perayaan Milad Ke-108 Muhammadiyah yang digelar PWM Jatim secara virtual, Sabtu (21/11/2020).
Haedar Nashir merasa bersyukur bisa ‘menghadiri’ perayaan Milad Ke-108 Muhammadiyah bertema “Meneguhkan Gerakan Keagamaan Hadapi Pandemi dan Masalah Negeri’ yang diselenggarakan oleh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim.
“Saya merasa senang serta selamat karena acara ini juga ditandai oleh menu utama yang biasa dilakukan oleh PWM Jatim yakni launching dan penyerahan buku sebagai bagian yang sangat penting dan penanda dari kemajuan pemikiran dan gerakan Muhammadiyah di Jatim,” ujarnya.
“Bahkan lebih lengkap lagi tadi ada penyerahan mobil dari UMSurabaya untuk Aisyiyah. Jadi ada ilmunya tapi juga ada maal-nya. Bahkan tadi juga saya sangat apresiatif atas penghargaan terhadap para kader kita para dai dan daiyah di media virtual atau di media sosial yang telah menggoreskan tabligh di dunia maya yang ini menjadi sesuatu yang niscaya,” tambahnya.
Menurutnya milad Muhammadiyah Jatim ini cukup lengkap. Ini menggambarkan Muhammadiyah yang berkecukupan sekaligus juga Muhammadiyah yang berkemajuan.
Makna di Balik Peristiwa
Soal tema milad dengan tema Meneguhkan Gerakan Keagamaan Hadapi Pandemi dan Masalah Negeri, Haedar Nashir menjelaskan, “Dalam diskusi di PP Muhammadiyah beberapa kali tema ini lahir dari usaha kita Muhammadiyah memahami realitas yang bertumbuh dan berkembang dalam kehidupan kita khususnya dalam dinamika kehidupan keagamaan yang begitu beragam dengan berbagai macam paham dan praktek serta ekspresi keagamaan dari spektrum yang A sampai Z.”
“Kalau kita tidak berusaha memahaminya tentu kita tidak akan bisa sampai pada usaha yang mendalam untuk bagaimana kita menghadapi perkembangan dan pertumbuhan yang baru ini,” sambungnya.
Kalau Prof Syafiq Mughni menulis Makna di Balik Peristiwa dan juga Prof Achmad Jainuri menulis tentang Islam dan Agenda Indonesia Berkemajuan, dengan mencoba menampilkan menampilkan konteks dan latar belakang dibalik tulisan ini.
“Sesungguhnya itu merupakan isyarat dan penanda buat kita, semua kader Muhammadiyah dan khususnya para pimpinan Muhammadiyah, untuk lebih masuk memahami persoalan-persoalan di sekitar kita. Baik yang berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan kehidupan keagamaan, maupun juga yang paling ada di depan kita masalah pandemik Covid-19 serta masalah yang lebih kompleks lagi yakni kehidupan kebangsaan,” paparnya.
Tetapi, lanjutnya, itu tidak cukup dengan melihat gejala-gejala yang ada dan tampak di sekitar kita. Namun harus memahaminya secara mendalam makna di balik apa yang kita lihat secara tampak dengan konteks dan setting yang tentu tidak sederhana. Itulah yang menjadi ciri dari ulul albab sebenarnya.
“Kalau dalam bahasa Pak Syafiq tahu makna di balik peristiwa yang tampak. Boleh jadi bagi kebanyakan awam yang tampak itulah yang ada di permukaan yang hanya kita lihat dan kita sikapi. Sementara di balik itu sesuatu yang kadang atau sering tidak sederhana dan kompleks kita tidak bisa memahaminya,” jelasnya.
Ketika PP Muhammadiyah, sambungnya, melakukan ijtihad atau ikhtiar yang sungguh-sungguh untuk menghadapi Covid-19 saja dengan tuntunan-tuntunan keagamaan yang dihasilkan oleh tarjih dengan musyawarah yang luar biasa, termasuk di antaranya adalah tuntunan ibadah di rumah yang ini konteksnya adalah konteks darurat, ternyata juga tidak mudah.
“Tarjih yang mencoba mengambil langkah-langkah yang tawassuth tawazun, yang mencoba tengahan, itu saja ada yang tidak memahami dan tidak mengikutinya di sebagian kita. Kenapa? Karena boleh jadi bahwa melihat persoalan ini hanya semata-mata dalam konteks yang normal tidak dalam konteks yang abnormal,” terangnya.
Karakter Keagamaan dan Gerakan Muhammmadiyah
Dengan tema ini, menurutnya, pesan yang ingin disampaikan oleh PP Muhammadiyah adalah agar Muhammadiyah memantapkan kembali dan bila perlu untuk terus mendinamisasi karakter keagamaan dan gerakan Muhammadiyah yang sejak awal diletakkan oleh pendirinya kyai Ahmad Dahlan dan generasi awal Muhammadiyah.
“Dan ini sebagai gerakan dakwah dan tajdid, sebagai hasil dari pesan dan keputusan PP, yakni berkarakter tajdid, berkarakter modernis, dan berkarakter reformis. Prof Achmad Jainuri bahkan sudah menghasilkan disertasi untuk karakter ini, yang mungkin karena sudah lama dan itu perlu kita baca ulang,” ajaknya.
Kalau belajar tentang identitas secara umum Islam itu satu itu absolut, kita tidak menolak. Dan semua mazhab semua pandangan juga ke situ. Tetapi cara pandang, perspektif, tafsir dan aktualisasi tentang Islam itu beragam.
“Dan keberagaman itulah melahirkan identitas Muhammadiyah secara official. Identitas itu sudah diformulasikan di dalam anggaran dasar sebagai hasil dari sistematisasi pemikiran Muhammadiyah generasi awal dan sesudahnya,” ungkapnya.
Dalam anggaran dasar, ujarnya, disebutkan Muhammadiyah adalah gerakan Islam dan dakwah amar makruf nahi mungkar dan tajdid. Berakidah Islam dan seterusnya, bermaksud bertujuan untuk terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya
“Karakter dakwah dan tajdid itu sejak awal memang diletakkan dalam status Muhammadiyah tahun 1912 dan disahkan oleh pemerintah Kolonial Belanda tahun 1914 yang representasi di dalam kata menyebarluaskan dan memajukan hal ikhwal agama Islam,” urainya.
Jadi saat itu kata menyebarluaskan dan memajukan sudah menjadi kata yang official atau kata yang resmi. Menyebarluaskan itulah yang kemudian kita representasikan dengan kata dakwah dan memajukan itulah yang kemudian kita representasikan dengan kata tajdid, yang ada di dalam AD-ART.
“Jadi ada persambungan dari Muhammadiyah awal sampai sekarang. Dan inilah karakter atau identitas Muhammadiyah yang disitu disebut identitas Muhammadiyah. Jadi kalau ingin membedakan Muhammadiyah dengan yang lain lihat pada karakter dakwahnya dan karakter dari gerakannya yang bersifat tajdid,” pesannya.
Gerakan Reformis dan Modernis
Dia menambahkan para ahli dan para peneliti dalam negeri maupun asing itu melabelling atau memberi label pada Muhammadiyah sebagai gerakan reformis gerakan modernis.
“Dan saat itu merupakan sesuatu yang luar biasa yang orang selalu mengaitkannya dalam konteks tradisionalisme, konservatisme dan lain sebagainya. Barulah kemudian lahir reformisme lahir modernisme,” jelasnya.
Karakter ini, menurutnya, harus dijaga dan dirawat. Bila perlu ke depan itu menjadi usaha untuk generasi baru, boleh jadi untuk reformulasi menjadi lebih maju lagi dan lebih berkemajuan lagi.
“Persoalannya apakah kita para anggota, kader dan pimpinan Muhammadiyah bisa merawat nilai-nilai dakwah dan berkarakter modern dan reformis itu. Atau justru kita sudah mulai kehilangan dari ketajdidan, kereformisan dan kemodernan. Tentu karena kita gerakan Islam maka kemodernan kereformisan itu menjadi landasan dan berlandaskan pada Islam,” tuturnya.
Itulah yang kemudian pada tahun 2010, Prof Din Syamsuddin waktu itu yang memimpin, diformulasikan dalam istilah Islam Berkemajuan.
“Jadi Islam berkemajuan sebagai sebuah paradigma atau perspektif dan sekaligus karakter dari Muhammadiyah. Ini satu mata rantai dari Muhammadiyah awal yang menjadikan gerakan Islam ini sebagai gerakan dakwah yang berkarakter tajdid atau reformis dan modernis,” tuturnya. (*)
Haedar Nashir: Pahami Makna di Balik yang Tampak: Penulis Sugiran. Editor Mohammad Nurfatoni.