Anies dalam Diam, Bekerja dengan Senyap, kolom ditulis oleh Ady Amar, pengamat masalah-masalah sosial; tinggal di Surabaya.
PWMU.CO – Anies Rasyid Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, memilih bekerja dalam senyap. Satu per satu janji kampanyenya diwujudkan. Bahkan yang tidak dijanjikannya pun jika itu untuk maslahat bagi kepentingan publik dikerjakan menjadi prioritas.
Anies dalam diam, kerja dalam senyap. Mengingatkan pada legenda atau cerita rakyat (folklor) Raden Bandung Bondowoso, yang konon gagah perkasa. Saat menerima tantangan Putri Roro Jonggrang, sebagai persyaratan mengawininya, mampu dalam semalam membuat seribu candi.
Tidak persis sama memang, karena Raden Bandung Bondowoso dalam membuat candi itu dibantu oleh jin, demit, dan makhluk astral lainnya. Sedang Anies bekerja dibantu tenaga-tenaga terampil, yang bekerja penuh dedikasi.
Itu terjadi saat aksi tolak UU Cipta Kerja, 8 Oktober 2020 yang lalu, ada tangan-tangan yang bekerja merusak fasilitas umum—18 halte Transjakarta—di beberapa tempat. Bahkan halte Bundaran HI baru diresmikan pada 25 Maret 2019, menjadi halte modern terintegrasi dengan Stasiun MRT. Estimasi kerugian yang dialami Transjakarta sekitar Rp 45 miliar, nilai yang tidak kecil.
Anies lalu tidak berlama-lama menunggu penyelidikan siapa pihak yang merusak fasilitas umum itu. Anies memisahkan proses penyelidikan pihak berwenang dengan secepatnya menghadirkan kembali hak-hak publik yang wajib disegerakan.
Bersama timnya, Anies bekerja 2 x 24 jam untuk mengembalikan fasilitas publik itu (halte), agar bisa dipergunakan kembali. Bahkan halte itu tampil lebih menawan dibanding sebelumnya.
Anies paham betul dalam bersikap, tidak ingin berandai-andai, bahkan tidak mengomentari beredarnya video viral dari Narasi TV, munculnya kelompok perusak yang tampak memang bekerja untuk merusak fasilitas umum. Mulut Anies terkatup rapat, tidak ingin mengomentari sesuatu yang bukan domainnya. Sadar betul soal-soal demikian.
Meski kemudian politisi dari partai yang berkuasa mengkritik sikap Anies yang tampak adem, itu dengan pernyataan lebih kurang, Anies cuek dan tidak tampak kesedihan, meski fasilitas umum dirusak.
Lalu membandingkan dengan sikap Walikota Surabaya, Tri Rismaharini, yang meski fasilitas umum pada aksi yang sama di kota Surabaya dirusak para pendemo dengan kerusakan tidak seberapa, tapi menunjukkan ekspresi emosional dan wajah kesedihannya.
Bahkan ada politisi yang berspekulasi konyol dengan mengatakan, bahwa bisa jadi Anies sendirilah yang melakukan perusakan pada fasilitas umum itu, untuk meraih simpati publik dengan menyudutkan pihak lain. Makanya itu sikapnya tenang-tenang saja.
Anies sadar betul, bahwa rangsangan-rangsangan yang dibuat itu untuk menguras emosinya, maka tidak membuatnya bereaksi dengan marah-marah. Rangsangan-rangsangan itu seolah ditampik jika ingin masuk ke lubang telinganya. Anies tidak menganggap itu sesuatau yang mesti direspons.
Respons Anies dengan kerja dan kerja, meski itu tidak lalu dijadikan sekadar jargon murahan. Bekerja sesuai dengan yang mesti dikerjakan, itu memang kewajiban. Jika lalu setelahnya muncul penghargaan-penghargaan, maka itu sekadar bonus perhatian para pihak yang menghargai hasil pekerjaan bersama timnya.
“Menggoda” yang Tidak Efektif
Anies, tentu bukanlah manusia sempurna. Pastilah ada kekurangan yang dipunyainya. Jika tidak tampak, bisa karena sisi kelebihan yang dipunya tampak lebih menonjol.
Kekurangan yang ada padanya, bisa ditutup oleh tim yang digerakkannya. Digerakkan oleh manajemen kepemimpinan yang mampu menggerakkan, sehingga kekurangan lalu menjadi tampak sirna.
Anies memilih fokus dalam bekerja, dan abai terhadap kritik-kritik yang tidak substantif. Tidak lalu larut melayani perdebatan yang silih berganti dari mereka yang memang hadir seperti mesin jasa yang diproduksi.
Kritik yang diproduksi, cirinya bukan pada apa yang dikerjakan agar lebih sempurna, tapi justru olok-olok yang nyasar sampai pada personal. Anies acuh pada kritik model demikian. Berdebat dengan mesin yang digerakkan itu tak ubahnya seperti bercakap-cakap dengan tembok bisu.
Anies tahu persis jika harus berbicara, itu berbicara dengan data-data. Maka hal misteri akan mesin yang digerakkan dan siapa penggerak perusakan fasilitas umum, tentu itu di luar kemampuan untuk dijangkaunya. Biar Pak Polisi saja yang bekerja mengungkap, yang mestinya akan dengan mudah bisa diungkap. Apalagi data-data foto pelaku sudah beredar menjadi konsumsi publik.
“Menggoda” Anies akan terus dilakukan dengan cara apa pun. Terbaru, bisa jadi, gertak Pak Tito Karnavian, bahwa Mendagri bisa mencopot Bupati/Walikota sampai Gubernur apabila tidak mengindahkan protokol kesehatan, banyak pihak mengatakan itu lebih ditujukan pada Anies. Para pengamat pun mengomentari pernyataan itu dengan ngawur, bicara tanpa pijakan konstitusi.
Juga Mayjen Dudung Abdurrahman, Pangdam Jaya, yang tiba-tiba melakukan perang melawan baliho HRS. Itu untuk menunjukkan bahwa Anies tidak mampu menegakkan aturan, jika itu menyangkut Habib Rizieq Shihab. Fadli Zon, anggota DPR RI, menganggap laku Pak Dudung itu sudah offside. Dan banyak juga kritikan, “Perang kok lawan baliho. Tuh, kalo berani lawan OPM di Papua.”
Untuk dua kasus terakhir itu pun Anies tidak menanggapinya, tapi justru para pengamat dan politisi DPR RI yang masih “sehat” menanggapi dengan sengit, baik pernyataan dan sikap ujug-ujug Mendagri maupun Pangdam Jaya.
Sikap cool dan diamnya Anies itu sejatinya komunikasi efektif, yang lalu memunculkan respons ramai-ramai pihak lain membela tanpa ia memintanya. Anies memang cerdik dan berkelas. (*)
Anies dalam Diam, Bekerja dengan Senyap: Editor Mohammad Nurfatoni.