Baliho atau Ballighu, kolom ditulis oleh Dhimam Abror Djuraid, wartawan senior.
PWMU.CO – Kita semua tahu baliho. Tapi mungkin tidak banyak yang tahu asal muasal sebutan baliho. Dalam bahas kerennya, ilmu asal muasal disebut sebagai etimologi.
Ternyata yang paham etimologi baliho adalah Kiai Luthfi Bashori atau Gus Luthfi dari Malang. Dalam postingan di medsos Gus Luthfi menjelaskan cukup detail etimologi baliho.
Kata Gus Luthfi, baliho berasal dari bahasa Arab “ballighu” artinya sampaikanlah, dari akar kata “balagha” menyampaikan. Sebuah hadis yang terkenal mengenai dakwah berbunyi, “Ballighu anny walau ayatan“. Sampaikan apa yang kamu dapat dari saya (Muhammad SAW) meskipun hanya satu ayat.
Dalam etimologi bahasa Indonesia kita menjumpai amat banyak serapan dari bahasa Arab yang kemudian diadopsi menjadi bahasa Indonesia. Kursi, kitab, ilmu, nama-nama hari mulai dari Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, semua diambil dari bahasa Arab.
Bahkan dua lembaga tinggi politik Indonesia memakai nama serapan dari bahasa Arab, “Dewan Perwakilan Rakyat”, ketiga kata berasal dari bahasa Arab. Juga “Majelis Permusyawaratan Rakyat”, tiga-tiganya diserap dari bahasa Arab.
Dalam perspektif komunikasi budaya serapan budaya asing maupun bahasa asing terjadi melalui proses asimilasi, kulturasi, maupun akulturasi.
Dalam proses penyerapan itu sering terjadi perubahan bunyi atau ejaan karena menyesuaikan dengan lidah setempat. Karena itu “ballighu” bisa menjadi “baliho”.
Baliho Revolusi Akhlak HRS
Beberapa hari belakangan ini baliho sedang viral di mana-mana terutama di media sosial, gara-gara baliho bergambar Habib Rizieq Shihab (HRS) di Petamburan, Jakarta, yang diturunkan oleh pasukan TNI.
Baliho adalah sarana periklanan luar ruang (outdoor advertising) yang sudah lama dipakai untuk melakukan komunikasi produk. Selain baliho, ada juga poster yang ukurannya lebih kecil, dan ada juga billboard yang berukuran lebih besar dengan struktur yang lebih permanen.
Baliho banyak ditempatkan di titik-titik strategis seperti perempatan jalan, tikungan jalan, atau di tempat tertentu yang mudah terlihat orang (eye catching).
Pesan atau message yang terpampang dalam baliho biasanya dibuat mencolok dan mudah diingat serta tidak berpanjang-panjang karena tingkat perhatian orang yang biasanya hanya beberapa detik saja.
Di musim pilkada seperti sekarang baliho dianggap sebagai salah satu sarana promosi yang sangkil (efektif) untuk mengampanyekan pasangan calon yang terlibat kontestasi.
Pendukung Habib Rizieq juga melihat baliho sebagai sarana yang sangkil untuk mengampanyekan ide Revolusi Akhlak yang digagas HRS.
Pada baliho ada penanda (signifier) dan petanda (signified) yang bisa menimbulkan tafsiran yang berbeda-beda. Pada baliho HRS signifier-nya adalah gambar HRS dan signified-nya adalah ajakan Revolusi Akhlak.
Kata “revolusi” menimbulkan konotasi perang dan kekerasan meskipun secara denotasi revolusi berarti perubahan yang besar dan dilakukan secara tiba-tiba.
Bagi sebagian orang ajakan Revolusi Akhlak bisa bermakna positif karena mengajak orang agar memperbaiki akhlaknya. Tapi ada juga yang menganggap ajakan itu sebagai ajakan perlawanan terhadap kekuasaan.
Itulah denotasi dan konotasi. Denotasi adalah arti yang sesungguhnya, dan konotasi adalah arti yang berbeda dari arti sesungguhnya. Apa yang tersurat bisa saja berbeda dengan apa yang tersirat.
Persepsi seseorang akan berbeda dari orang lainnya dalam mengintepretasikan sebuah message. Ada yang menganggap positif tapi ada pula yang menganggapnya negatif.
Pangdam Jaya Mayjen Dudung Abdurrahman termasuk kalangan yang menganggap pesan Revolusi Akhlak dari perspektif negatif karena menganggapnya sebagai tindak penentangan. Karena itu Mayjen Dudung tegas memerintahkan baliho-baliho itu diturunkan.
Pro dan kontra bermunculan. Ada yang mendukung tindakan Mayjen Dudung tapi ada juga yang menganggapnya offside karena Kodam Jaya sudah masuk ke ranah politik.
Pernyataan Mayjen Dudung yang minta supaya FPI (Front Pembela Islam) dibubarkan makin membuat panas temperatur karena menganggap TNI sudah melangkahi tembok api yang dikhawatirkan akan membawa TNI berpolitik seperti di zaman Orde Baru.
Kepulangan Habib Rizieq dari eksile tiga setengah tahun di Arab Saudi menimbulkan kehebohan nasional. Puluhan ribu atau ratusan ribu orang menyambut kedatangannya di Bandara Soekarno Hatta, 10 November.
Beberapa hari kemudian ribuan orang berdesak-desakan di kediaman Habib Rizieq di Petamburan untuk mengikuti acara Maulud Nabi sekaligus perayaan pernikahan putri Habib. Sebelum itu ribuan massa berjubel mengikuti acara Habib di Bogor.
Kerumunan besar ini dikhawatirkan menjadi super spreader penyebaran Covid 19. Kapolda Metro Jaya dan Kapolda Jabar dicopot karena dianggap lalai menjalankan tugas.
Kepulangan Habib menjadikan situasi politik panas. Keterlibatan TNI menurunkan baliho Habib membuat situasi makin panas. Tarik menarik antara Istana Negara melawan Poros Petamburan menjadikan situasi tegang.
Tindakan Mayjen Dudung memantik pro dan kontra yang ramai. Banyak yang khawatir tentara akan terseret kembali bermain politik dwi fungsi seperti yang terjadi di era Orde Baru.
Pepatah lama mengatakan, The Old Soldier Never Die, They Just Fade Away. Tentara tua tidak pernah mati, mereka hanya menghilang. Lalu tiba-tiba muncul lagi dengan dwi fungsi baru menjadi tentara merangkap Satpol PP. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.