MUI dan Agenda Ekonomi Umat ditulis oleh Prima Mari Kristanto, akuntan publik.
PWMU.CO – Kepengurusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) periode 2020-2025 telah terbentuk dengan KH Miftachul Achyar sebagai ketua umum. Dia merupakan representasi Nahdlatul Ulama (NU)
Sementara Muhammadiyah menempatkan salah satu kadernya, oleh Dr Amirsyah Tambunan, sebagai sekretaris jenderal. Wajah lama seperti Buya Anwar Abbas masih bertahan bersama kader-kader Muhammadiyah lainnya. Tercatat ada delapan kader berkiprah dalam kepengurusan MUI pusat.
Posisi ketua umum dipegang perwakilan NU dan sekretaris jenderal dipegang perwakilan Muhammadiyah sepertinya sudah paten sejak memasuki milenium ketiga, ketika MUI periode tahun 2000-2005 dinakhodai Ketua Umum KH Sahal Mahfudh dan Sekretaris Jenderal Prof Dr Din Syamsuddin.
Tidak penting siapa yang lebih hebat—NU atau Muhammadiyah, ketua umum atau sekretaris jenderal—yang jelas MUI pertama kali berdiri tahun 1975 dipimpin Buya Hamka. Dan kader Muhammadiyah lainnya sebagai ketua umum tahun 1990 KH Hasan Basri telah menorehkan prestasi gemilang dalam pendirian bank syariah.
Sebenarnya peran ketua umum lebih mengarah pada kepemimpinan, ketokohan, dan keilmuan. Adapun sekretaris jenderal lebih berperan pada kendali organisasi, tata kelola administrasi, dan juga keilmuan.
Ketua umum dan sekretaris jenderal ibarat kapten kesebelasan dan playmaker yang sama-sama penting. Kapten lebih banyak menjalankan fungsi memberi motivasi dan instruksi, adapun playmaker sebagai pengatur ritme organisasi: kapan menyerang, bertahan, cepat atau lambat.
Karakter NU sangat cocok menjalankan fungsi kapten mengingat selama ini NU identik dengan organisasi massa berbasis pesantren dan masyarakat akar rumput. Peran kesekjenan sangat pas diemban kader Muhammadiyah yang terkenal rapi dalam tatakelola organisasi dengan basis masa terpelajar di sekolah-sekolah sampai perguruan tinggi, amal usaha sosial sampai kesehatan dan ekonomi.
Representasi Muhammadiyah dan NU dalam MUI sangat pas sebagai pengatur umpan-umpan lambung maupun umpan-umpan terobosan dari beragam karakter organisasi dan masyarakat Islam yang ada di Indonesia.
Terpenting bagaimana dua wakil ormas raksasa ini bisa memimpin umat Islam dalam wadah MUI dalam permainan yang rancak dan ritmis, indah dan terarah tanpa banyak mengeluarkan kartu kuning atau kartu merah.
Masalah Ekonomi
Permasalahan umat Islam dan rakyat Indonesia pada umumnya tidak lain adalah ekonomi. Data PBNU yang dirilis NU Online pada 2017 menyebutkan 93 persen rakyat Indonesia masuk kategori miskin dan sebagian besar warga NU. Berapa persen warga NU, berapa persen warga Muhammadiyah dan lain-lain yang masuk kategori miskin belum pernah digali secara mendalam.
Setidaknya keberanian merilis data tersebut menunjukkan kepedulian, dari kepedulian tersusun program baik jangka pendek maupun jangka panjang dalam mengentaskan umat Islam dan rakyat Indonesia secara keseluruhan dari masalah kesenjangan ekonomi yang demikian tinggi.
Kenyataan ini mendorong banyak kalangan berharap pada MUI untuk menempatkan ekonomi sebagai prioritas dakwah dan pemberdayaan masyarakat. Infrastruktur untuk menggerakkan dan memberdayakan ekonomi umat telah demikian lengkap bersama pesantren-pesantren yang tersebar di seluruh pelosok kota dan desa, juga sekolah-sekolah, perguruan tinggi Islam sebagai gudang konsep serta pemikiran merumuskan strategi terbaik.
Kiprah MUI dalam bidang ekonomi secara tegas dan jelas pernah dilakukan pada era kepemimpinan KH Hasan Basri yang memprakarsai berdirinya bank syariah. Bersama Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) yang dipimpin Prof Dr Ing BJ Haabibie, MUI berhasil mewujudkan Bank Muamalat Indonesia sebagai bank syariah pertama di Indonesia pada tahun 1991.
Ketua MUI berikutnya, KH Ali Yafi bersama fungsionaris ICMI selaku founding fathers berhasil mengawal bank syariah perdana ini lolos dari ancaman likuidasi menghadapi krisis moneter 1997 dan krisis multidimensi 1998.
Memasuki tahun 2000, kiprah ekonomi dalam kepemimpinan KH Sahal Mahfudh dan Prof Din Syamsudin memasuki ranah pasar modal dengan hadirnya Fatwa Dewan Syariah Nasional No.40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal.
Fatwa pertama tantang pasar modal syariah yang ditandatangani KH Sahal Mahfudh dan Prof Din Syamsuddin menandai era baru dalam dunia ekonomi keuangan syariah di Indonesia khususnya dalam bidang pasar modal.
Fatwa tentang pasar modal syariah membuat umat Islam yang telah lama berkiprah di pasar modal tenang dan bursa efek Indonesia semakin bergairah dengan hadirnya peminat baru kelompok saham Jakarta Islamic Index (JII).
Setelah KH Sahal Mahfudh wafat dan kepemimpinan sempat dipegang Prof Dr Din Syamsuddin dan selanjutnya dipegang KH Ma’ruf Amin. Kiprah MUI dalam ekonomi masih terasa di bawah kepemimpinan KH Ma’ruf Amin dengan terbitnya fatwa-fatwa tentang pasar modal syariah, perbankan syariah, dan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) Syariah bersama Ikatan Akuntan Indonesia (IAI).
MUI Terseret Pusaran Politik
Pada akhir masa kepemimpinan KH Ma’ruf Amin, MUI sempat disebut terseret dalam pusara politik dimulai dengan fatwa penistaan agama yang dilakukan oleh seorang kepala daerah. Puncaknya keberadaan KH Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden dan berhasil menjadi wakil presiden untuk periode 2019-2024 mendampingi Presiden Joko Widodo disebut menambah kesan kentalnya nuansa politik di dalam tubuh MUI.
Kini bersama struktur kepengurusan baru, MUI diharapkan kembali pada masalah keumatan khususnya dalam bidang ekonomi. Sosok Buya Anwar Abbas—yang dalam beberapa kesempatan tausiahnya di lingkungan persyarikatan Muhammadiyah banyak membahas tema-tema ekonomi dan mendorong kebangkitan ekonomi sebagai pilar ketiga di persyarikatan—diharapkan bisa membawa MUI mengarahkan gerak organisasinya dalam bidang ekonomi.
Porsi saham MUI di Bank Muamalat yang tinggal 2,5 persen perlu direnungkan. Layakkah saham pendiri terdilusi sedemikian itu. Di tengah rencana besar merger bank-bank syariah BUMN menjadi sebuah holding, di mana posisi bank umat yang dirintis MUI bersama ICMI?
Tidak dipungkiri bank-bank syariah BUMN maupun swasta pasti menempatkan tokoh-tokoh MUI khsususnya yang ada di Dewan Syariah Nasional (DSN) menjadi anggota dewan komisaris atau dewan syariah.
Tetapi layakkah membiarkan bank ummat yang dilahirkannya berjuang sendiri? Sementara ini yang masih terlihat militan menjaga eksistensi Bank Muamalat adalah ICMI dan keluarga BJ Habibie melalui konsorsium Al Falah dengan Ilham Akbar Habibie sebagai komisaris utama.
Peran ekonomi lain yang penting yaitu kampanye produk halal yang memungkinkan menjadi sumber devisa serta kemandirian ekonomi bangsa. Sudah jamak dituduhkan bahwa sertifikasi halal MUI sebagai lahan bisnis MUI yang menjadi cost atau beban tersendiri bagi industri makanan, minuman, kosmetik, farmasi dan lain-lain.
Penting mengedukasi para pengusaha dan konsumen bahwa cost atau beban sertifikasi halal hakikatnya sebagai bentuk investasi yang keuntungannya hanya bisa diukur dengan rencana jangka menengah dan panjang.
Sertifikasi produk halal dan komposisi saham di bank-bank syariah diharapkan bisa menjadi jangkar peran besar MUI dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat, bangsa, dan negara.
Fatwa MUI tentang penistaan agama yang secara spektakuler mampu dijadikan dasar mengumpulkan masa dalam jumlah raksasa pada 2 Desember 2016 di Monas serta berlanjut membentuk komunitas 212, saatnya dikonversi menjadi semangat membangkitkan ekonomi umat.
Diharapkan MUI mampu menjadi motor agar masyarakat bersama ormas-ormas Islam menambah porsi saham di Bank Muamalat dan bank-bank syariah lainnya serta industri-industri halal potensial.
Dengan demikian posisi umat Islam sebagai mayoritas di Indonesia tidak lagi termarginalkan secara ekonomi, bertransformasi menjadi masyarakat investor berjamaah, bukan lagi sekedar jamaah pekerja dan konsumen terbesar.
Paradigma berapa jumlah wakil ormas Islam di MUI, DPR, DPRD, kementerian, atau kepala daerah perlu diubah menjadi berapa porsi saham umat Islam dan ormas-ormas Islam dalam industri strategis?
Terakhir UU Cipta Kerja yang menjadi isu hangat perlu telaah kritis dan mendalam dari MUI agar benar-benar membawa maslahat, bukan musibah ekonomi rakyat, bangsa dan negara. Insyaallah MUI bisa! (*)
MUI dan Prioritas Agenda Ekonomi Umat; Editor Mohammad Nurfatoni.