PWMU.CO – Pengalaman Jerman pelajaran sekolah berdasarkan fakta bukan statemen. Hal itu disampaikan Ketua Cabang Istimewa Muhammadiyah Jerman Mohammad Rokib, Sabtu (28/11/20).
Dalam kegiatan webinar Penguatan Ideologi Muhammadiyah yang diselenggarakan Majelis Dikdasmen PCM GKB yang mengangkat tema Future Challenges and Opportunities of Education in Disruption Era (Pasca Covid-19) Rokib menjelaskan sekolah di Jerman menerapkan pembelajaran berdasarkan praktik. Misalnya tema perkebunan, maka siswa diajak praktik langsung di kebun untuk memformulasikan teori apa yang diperoleh.
“Sekolah di Jerman menerapkan pelajaran berdasarkan fakta bukan berdasarkan statemen. Sekolah masa depan tanpa PR,” jelasnya.
Sistem pendidikan, lanjutnya, bisa meninjau ulang kurikulum yang sudah berlaku sekarang dengan menerapkan dan menitikberatkan pada praktik.
Pendidikan Pasca -Pandemi
Rokib menerangkan realita pembelajaran di masa pandemi ini beralih menjadi pembelajaran online. Guru mengajar secara online karena sangat dibatasi. Pandemi yang tidak memungkinkan tatap muka. Jalur online menjadi satu satunya jalan untuk pelaksanaan pembelajaran.
“Zoom dipilih oleh satuan pendidikan sebagai salah satu alternatif dalam pelaksanaan pembelajaran, berbeda dengan model pembelajaran sebelumnya,” jelasnya.
Dia memaparkan apa yang terjadi saat teknologi mengalihkan model pembelajaran, “Kita menjadi benar-benar berjarak dengan teman teman dan orang di sekitar kita. Kita harus menerapkan social distancing, yang sangat berpengaruh dalam komunikasi antara teman atau dengan tetangga kita.”
“Siswa bisa jadi cenderung lebih individual, kecakapan berkomunikasi dan bernegosiasi berkurang dikhawatirkan berkurang juga ketrampilan berkomunikasinya,” tambahnya.
Peran Orangtua dalam Pembelajaran Online
Rokib berharap siswa aktif dalam pembelajaran online, tapi kenyataannya dalam pembelajaran yang lebih aktif adalah pendampingnya, yaitu orangtuanya.
“Jangan-jangan ibu-ibu yang lebih aktif mendampingi. Sebenarnya belum ada survei yang signifikan tentang itu. Atau bahkan ibu yang berperan membentuk karakter siswa? Ini belum ada riset. Namun bisa kita amati, guru mentransformasi pengetahuan melalui teknologi zoom, seberapa pengaruhnya pada siswa? Atau bahkan pendampingan orangtua lebih signifikan,” katanya.
Kita, sambungnya, harus menggandeng orangtua dalam pembentukan karakter siswa, sebagai pertimbangan untuk mengelola pendidikan. Presentasi waktu ayah dan ibu mendampingi anak belajar dari rumah. Ibu memiliki waktu yang lebih banyak dari pada ayah. Orangtua mempunyai peran lebih dominan dalam membentuk karakter siswa.
“Sekolah harus lebih inten berkomunikasi dengan orang tua untuk bersama membentuk karakter siswa,” imbuhnya.
Metode Belajar Online Versus Offline
Dalam pembelajaran online, menurutnya, e-learning sebagai tools dalam pembelajaran selama pandemi.
“Hasil riset Mailizar dkk- Eurasia Journal of Mathematics Science and Technology Education 2020, siswa mengalami kelemahan atau kekurangan dalam memperoleh pengetahuan dan keterampilan. Pada mata pelajaran matematika, siswa kurang bisa memahami materi yang disampaikan guru yang disebabkan kurang memadainya akses internet dan akses perangkat, baik laptop atau HP,” jelasnya.
Simpulannya, lanjutnya, Indonesia mengalami masalah besar yakni kegagalan dalam pembelajaran matematika.
Pendidik Butuh Penguatan Skill ICT
Rokib mengungkapkan alternatif untuk mengatasi masalah tersebut pendidik butuh penguatan skill Information and Communication Technology (ICT), di mana pendidik menjadi elemen utama yang harus dikuatkan keterampilan ICT-nya.
Setelah pandemi berakhir, sambungnya, diperkirakan ini masih relevan dalam penerapan pascapandemi yang masih membutuhkan ketrampilan ICT, baik itu design dan video materi.
“Dalam pelatihan, guru harus didorong untuk memiliki ketrampilan ICT. Keterampilan yang menjadi faktor utama. Nanti kita buktikan setelah pandemi berlalu karena saat ini siswa sudah terbiasa online. Mereka menemukan simulasi materi tertentu dengan akses online,” jelasnya.
Jangan-jangan, khawatirnya, apa yang dijelaskan guru menjadi tidak menarik lagi karena mereka sudah terbiasa dengan sensibilitas digital atau virtual sensibility yang membentuk selera siswa lebih suka mencari pengetahuan secara virtual. Ini adalah tantangan sekaligus peluang pendidikan di era mendatang.
Buat Konten Bentuk Tabiat
Dia mengungkapkan karakter baru siswa karena terlalu sering akses online menjadikan mereka lebih suka melihat materi secara online dari internet.
“Mereka suka mencari pengetahuan lewat digital. Guru harus ikut andil untuk mengarahkan anak, mungkin dengan membuat konten-konten yang bisa membentuk tabiat yang baik,” jelasnya.
Menurutnya, blanded learning visualisasi materi dengan interaksi langsung dengan peserta didik diprediksi menjadi peran penting dalam pendidikan.
Perubahan Model Asesmen
Rokib menjelaskan di Indonesia sudah diterapkan UTBK (ujian tulis berbasis komputer). Namun kalau penilaian pendidikan di Jerman langsung dari praktik atau proyek penelitian.
“Tuntutan perubahan model asesmen, tidak hanya fokus pada ujian tulis saja. Tentunya sekolah Muhammadiyah lebih fast respon untuk mempertimbangkan perubahan model asesmen dengan kemungkinan ketrampilan siswa yang diujikan,” jelasnya.
“Areliability (AR) akan membuat visualisasi yang menjadikan pengajaran menjadi lebih baik. Kecenderungan karakter siswa diprediksi lebih suka dengan hal-hal yang lewat media digital. Penjelasan proses bisa dilihat lewat media animasi akan lebih menarik,” jelasnya.
Ini, imbaunya, menjadi tantangan baru bagi sekolah dan guru untuk dapat menyesuaikan diri di era pasca pandemi.
Pendidikan Masa Panedmi di Jerman
Rokib mengungkaokan saat ini sekolah di Jerman sudah masuk sejak bulan Agustus, dengan penerapan protokol kesehatan, wajib memakai masker. Jika tidak memakai masker didenda 10 juta dan di-black list.
“Setelah lockdown bulan Maret sampai Agustus, penerapan pendidikan sudah berbeda. Di Jerman, sekolah tidak punya ruang kelas, namun adanya ruang belajar,” ungkapnya.
Di mana, lanjutnya, guru sudah memiliki materi ajar tertentu dan siswa sudah memiliki proyek atau tugas masing-masing yang dimediasi oleh laptop, laboratorium, buku teks. Tidak ada ruang kelas, namun jika ada siswa yang punya masalah dalam pengerjaan proyek, mereka akan menemui guru di ruang tertentu dan akan ada penjelasan khusus untuk siswa tersebut.
“Guru berfungsi sebagai learn partner (partner belajar). Sekolah meniadakan PR, semua dikerjakan di sekolah. Yang belum paham akan dipanggil guru secara individu untuk mendapatkan pendampingan (coaching) yang dirasa sangat efektif dengan durasi waktu kurang lebih 20 menit,” tandasnya.
Penulis Ria Rizaniyah. Co-Editor IchwanArif. Editor Mohammad Nurfatoni.