Walikota Mbok-mbok’en, kolom oleh Dhimam Abror Djuraid.
PWMU.CO – Mbok-mbok’en itu istilah khas Suroboyoan untuk menyebut “anak mama”, seseorang yang, meskipun sudah tua, tapi tetap tidak bisa mandiri dan selalu bergantung pada ibunya.
Mbok-mbok’en lebih punya konotasi negarif. Sudah tua tapi masih suka membanggakan kehebatan orangtua, masih tetap ndompleng popularitas dan kekuasaan orangtua, malah masih suka “ngempèng” menyusu ke ibunya.
Beberapa hari terakhir istilah mbok-mbok’en viral di mana-mana, terutama karena kaitannya dengan pernyataan Dahlan Iskan soal “walikota mbok-mbok’en“.
Dalam video durasi pendek itu Dahlan menyebutkan bahwa dia marah kalau ada orang yang menjelek-jelekkan kinerja Risma, terutama kinerja pembangunannya di Surabaya. Menurut Dahlan, kinerja Risma bagus.
Di ujung video itu Dahlan berbicara mengenai walikota pengganti Risma. Dengan tegas Dahlan menyebut dia tidak mendukung calon walikota yang “mbok-mbok’en“, alias mendompleng nama “Si Mbok Risma”.
Siapa Calon Walikota Mbok-mbok’en?
Siapa calon walilota “mbok-mboke’en” itu? Dahlan tidak menyebut nama. Tapi, tentu, tidak perlu menyebut nama, karena Dahlan dengan jelas dan tegas menyatakan dukungannya terhadap pasangan “Maju”, Machfud Arifin-Mujiaman, yang disebutnya sebagai pasangan yang mandiri, visioner, dan punya kemampuan memajukan pembangunan Surabaya supaya naik kelas ke level yang lebih tinggi dari sekarang.
Video ini kemudian diedit oleh tangan-tangan kreatif yang jahil, dipotong sana-sini, diselipi beberapa gambar dan footage baru sehingga menjadi berubah seolah-olah Dahlan hanya mengatakan “Saya marah kalau ada orang menjelek-jelekkan Bu Risma”.
Tentu saja pernyataan editan seperti ini menyesatkan dan keluar konteks, apalagi kalau pernyataan itu dibelokkan seolah-olah Dahlan membela Risma yang belakangan diserang dengan yel-yel “Hancurkan Risma”.
Padahal, Dahlan tegas. Kalau urusan prestasi pembangunan ia apresiasi Risma. Tapi urusan lain-lain yang membuat Risma jadi sasaran “yel-yel hancurkan”, Dahlan menyatakan tidak tahu-menahu.
Mengapa muncul “yel-yel hancurkan”? Kemungkinan itu luapan kekecewaan karena adanya indikasi Bu Risma mulai membangun oligarki dan politik dinasti. Juga ada tudingan yang mengaitkan Bu Risma dengan makelar proyek di Pemkot Surabaya.
Tudingan itu tidak datang dari partai lain tapi dari kader partai PDIP, partainya Risma sendiri. Kader senior seperti Abah Mat Mochtar dan kader 24 karat seperti Jagad Hariseno, kecewa berat terhadap kepemimpinan Risma. Mereka menyeberang jalan mendukung Machfud Arifin dengan segala risiko.
Tudingan ini ramai ke permukaan bersamaan dengan kasus sinkhole amblesnya Jalan Gubeng pada Desember 2018, persis dua tahun yang lalu. Lagi-lagi tudingan ini bukan datang dari orang lain, tapi dari kader PDIP Armuji sendiri, yang ketika itu menjadi Ketua DPRD Surabaya.
Belakangan, ketika sudah didapuk menjadi calon walikota mendampingi Eri Cahyadi, mendadak Armuji jadi atlet lari sprinter, suka lari-lari kalau dikejar wartawan soal pernyataan makelar proyek itu.
Ada juga yang tiba-tiba menjadi atlet lempar batu sembunyi tangan, mengedarkan selebaran menuduh Dahlan Iskan bermain proyek di Pemkot Surabaya dan menjadi backing pengusaha hitam yang kecewa terhadap Risma.
Kata jamaah Ampel, “Laa yaghribu syariq illa syariq“, tidak ada yang tahu maling kecuali orang itu juga maling.
Orang-orang sufi mengatakan, tidak ada yang tahu wali kecuali orang itu juga wali.
Kalau Anda menudingkan satu jari ke orang lain maka tiga jari lain mengarah ke dirimu sendiri
Peran Dahlan Iskan
Semua orang tahu siapa Dahlan Iskan. Coba kita flashback 10 tahun yang lalu. Mohon maaf, tanpa mengurangi rasa hormat, ketika itu, 2010, Bu Risma bukan siapa-siapa, no body. Ia hanya seorang kepala dinas yang punya etos kerja kuat, kerja, kerja, kerja.
Nama Risma disodorkan ke Dahlan untuk dijadikan sebagai calon walikota didampingi Bambang DH sebagai wakil walolikota. Dahlan cocok dengan tipe worker seperti Risma. Jauh sebelum ada “Kabinet Kerja”, ketika itu Jawa Pos sudah memakai tagline “Kerja, Kerja, Kerja”.
Dahlan pun bekerja sepenuh hati mempromosikan Risma. Dahlan juga memaksimalkan jaringan bisnisnya dari kalangan Tionghwa untuk mendukung Risma. Lahirlah kolaborasi besar jaringan media dan bisnis yang kemudian memuluskan jalan Risma menduduki kursi nomor satu Balai Kota.
Dahlan tidak pernah menagih jasa baik ke Pemkot dengan meminta proyek. Semua tahulah siapa “Trio Burulu” di belakang Risma. Semua tahu siapa yang main proyek besar dan bagi-bagi proyek penunjukan langsung kecil-kecilan yang disebut “proyek tiktok” diketik langsung diketok.
Kepada Risma Dahlan sampai sekarang tetap tawaddu’ dalam arti respek dan menghormat. Beda dengan kebanyakan pendukung Risma sekarang yang “tawadu” (tahu warna duit), kerjaannya main proyek melulu.
Dahlan tidak butuh proyek dari pemkot. Dahlan sudah khatam dalam urusan cari duit. Dalam istilah Robert Kiyosaki (Rich Dad Poor Dad, 1997) Dahlan sudah masuk dalam kuadran aman. Bukan dia yang cari duit, tapi duit cari dia.
Kata Basman dan Kartolo, Dahlan “sugih bonda bandu, sigih bebek sugih meri, ngadep ngalor sugih, ngadep ngidul sugih“. Kaya tujuh turunan. Kalau ada anaknya yang miskin berarti dia keturunan kedelapan.
Dahlan punya ketajaman feeling untuk memilih pemimpin yang tepat. Itu dibuktikannya ketika membangun imperium media Jawa Pos Group. Ia juga membuktikannya ketika memimpin BUMD Jatim. Ia lalu membuktikannya di level yang lebih tinggi ketika menjadi menteri BUMN.
Karena itu Dahlan tidak main-main ketika meng-endorse dan mendukung Machfud Arifin untuk menjadi walikota Surabaya mengganti Risma. Dahlan sudah pasti tidak mau meng-endorse dan mendukung calon walikota “mbok-mbok’en“. (*)
Penulis, mantan anak buah Dahlan Iskan di Jawa Pos.
Editor Mohammad Nurfatoni.