Dirawat karena Covid-19, Ini Pengalaman Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS Surabaya.
PWMU.CO – Sebelum jatuh sakit pada Senin (16/11/2020) saya menempuh perjalanan lebih dari 1000 km dalam waktu kurang dari empat hari di akhir pekan. Jadi memang tubuh kelelahan, kurang tidur, daya tahan tubuh menurun.
Terakhir dari Magetan, Ponorogo, Temboro. Lalu ke Cilacap dan Karanganyar. Mulai batuk saya ke Lombok, Bima, dan via Lombok Praya balik ke Surabaya.
Selasa (17/11/2020) pagi saya diantar istri dan Luqman, anak saya, ke IGD RSUD Dr Soetomo Surabaya. Saya segera dimasukkan ke ruang isolasi Covid-19, masih ditemani istri dan Aisyah, anak saya. Saya difoto thorax lalu sorenya di-swab.
Setelah menunggu hampir seharian, menjelang Maghrib-nya dengan ambulan saya dipindahkan ke Ruang Isolasi Khusus (RIK) 3 RSUD Dr Soetomo. Ini atas saran Dr Daniel Maranatha GRIU yang biasa merawat saya jika saya batuk berkepenjangan selama ini.
Hari-hari pertama di RIK3 jelas bukan hari-hari yang menyenangkan. Tubuh lemah, batuk, demam, dan nafsu makan tidak ada sama sekali. Semua yang dimakan terasa asin atau aneh rasanya.
Lalu saya mulai minum pil berjenis-jenis berjumlah puluhan setiap hari. Setiap jam dicek tekanan darah dan gula darah. Saturasi oksigen juga. Juga sample darah diambil dari vena atau arteri. Kadang-kadang difoto dada.
Sendirian di RIK3 ruang B. Berdiri pusing. Melangkah ke toilet yang cuma 7-10 langkah bak seperti mendaki gunung. Sering merasa nyaris pingsan. Komunikasi dengan perawat dan petugas sangat minimal. Ini ikut memberatkan.
Saya mendapat bantuan alat pernafasan tiga tingkat. Tapi belum sampai ventilator. Lupa persis namanya. Dari yang paling sederhana sampai yang dengan semacam mesin.
Selama 3-4 hari di RIK3, saya dipindah ke RIK1 dengan perawatan paling intensif. Sekamar berdua saja dengan pasien lain seorang dokter. Sama sekali tidak bisa ke toilet. Semua terjadi di atas bed, termasuk BAB. Sangat berat dan memalukan. Apa boleh buat.
Perawat meyakinkan mereka siap melakukan semuanya untuk merawat saya. Komunikasi dengan dokter, perawat sudah lebih baik. Saya merasa didengarkan. Ini sangat berarti. Diambil swab paling tidak dua kali lagi. Komunikasi dengan bagian Psikiatri via telpon mulai ada. Ini sangat berarti.
Kondisi membaik saya dipindah ke ruang transisi ICU. Bertiga dengan pasien lain. Ini ruang isolasi khusus yang paling nyaman. Masih diinfus. Komunikasi dengan perawat dan dokter berlangsung sangat baik. Komunikasi dari bagian psikiatri via telpon dilanjutkan. Wawancara soal pengalaman dan keluhan yang perlu disampaikan.
Kadang kencing masih dengan pispot di atas bed. Terlalu sering minum agar tidak dehidrasi tapi tidak berkeringat. Bisa BAB ke toilet sendiri walaupun berat tanpa alat bantu nafas.
Setelah 3-4 hari di ruang transisi, saya dipindah kembali ke RIK3 bersama seorang pasien lain. Seorang dokter spesialis OT staf RSUD Dr Soetomo, sekaligus menantu kawan lama alumnus ITS.
Saran Perbaikan
Sampai hari ini. Kondisi saya makin baik. Alhamdulillah. Tanpa infus. Nafsu makan pulih. Ke toilet bisa sendiri tapi masih tidak mudah. Sudah latihan bernafas spontan di atas bed, setiap pagi, siang dan sore.
Masih minum obat macam-macam, tapi tidak lagi diambil sample darah. Ahad pagi ini saya terkejut dapat sarapan nasi goreng bersama telur mata sapi. Sebuah kejutan yang sangat menyenangkan.
Saya beruntung dan bersyukur telah memperoleh perawatan Covid-19 oleh salah satu tim terbaik Indonesia ini. Saya usul pertama, agar aspek-aspek komunikasi antardokter dan perawat dengan pasien agar dikelola dengan lebih terencana, menjadi bagian tak terpisahkan dari pelayanan RIK.
Kami pasien manusia bukan seonggok biokimiafisika belaka, tapi manusia dengan perasaan, kecemasan, dan harapan. Komunikasi, walau basa-basi, di ruang isolasi bisa sangat berarti bagi seorang pasien Covid-19.
Kedua, knowledge management bagi evidence-based perawatan Covid-19 ini segera dilembagakan agar menjadi pelajaran bagi praktek terbaik penanganan RIK Covid-19. Alhamdulillah. (*)
RIK 3, RSUD Dr Soetomo, 6 Desember 2020
Dirawat karena Covid-19, Ini Pengalaman Prof Daniel M. Rosyid: Editor Mohammad Nurfatoni.