PWMU.CO – Pimpinan Muhammadiyah harus paham strategi dakwah kultural. Hal itu diungkapkan oleh Wakil Ketua PWM Jatim Drs H Nadjib Hamid MSi.
Dia menyampaikannya saat menjadi pemateri pada Sekolah Kader Calon Pimpinan yang digelar oleh Majelis Pendidikan Kader (MPK) PDM Jember dengan tema Mukadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah: Aktualisasi Nilai Karakter Pimpinan via Zoom, Sabtu (12/12/2020).
Muhammadiyah dan Visi Al-Fatihah
Menurut Nadjib Hamid Muhammadiyah pasca kemerdekaan RI mengikuti dinamika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Muhammadiyah juga mengalami dinamika. Oleh karena itu Ki Bagus Hadikusumo bersama koleganya menyusun Mukadimah Anggaran Dasar. Sejatinya sudah berkali-kali Anggaran Dasar Muhammadiyah mengalami perubahan, tetapi belum ada mukadimahnya,” ujarnya.
Kemudian, lanjutnya, pasca kemerdekaan tahun 1951 disusunlah Mukadimah AD sebagai landasan ideologi bagi Muhammadiyah. Seperti disebutkan dalam Mukadimah yang diawali dengan Al-Fatihah menunjukkan betapa kuat keterikatan Muhammadiyah dengan visi Al-Fatihah.
“Al-Fatihah itu di satu sisi disebut Ummul kitab, sebagai induk al-Quran yang isinya padat. Dalam penjelasan selanjutnya kemudian ada pernyataan tentang kesaksian mengenai ketuhanan dan kenabian, juga pernyataan Islam sebagai satu-satunya agama,” ungkapnya.
Akidah Harus Kuat
Mukadimah itu menerangkan pula tentang kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Yang kemudian dalam kehidupan bermasyarakat saat ini terkait Islam sebagai pedoman hidup, diyakini oleh Muhammadiyah Islam akan mampu mengantarkan kehidupan kita menjadi lebih baik dan sejahtera dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adil makmur.
“Dan untuk itu perlu perjuangan, maka pemahaman yang saya dapatkan dari substansi Mukadimah AD bahwa pemimpin Muhammadiyah tidak bisa tidak akidahnya harus kuat. Karena kalau akidahnya kuat dia akan punya pondasi yang kokoh menghadapi dinamika kehidupan bermasyarakat. Di dalamnya termasuk kehidupan berbangsa dan bernegara,” paparnya.
Digambarkan saja kehidupan berbangsa dan bernegara pada jaman itu, sambungnya, kalau dianalogikan dengan situasi sekarang, pertautan antara Muhammadiyah dengan politik itu sangat kental sekali.
“Betapapun Muhammadiyah sudah mengulang-ulang bahwa gerakan ini adalah gerakan kultural bukan gerakan politik, tetapi sulit untuk tidak terjebak dikaitkan dengan problem-problem politik kebangsaan. Tarik ulur dari orang-orang yang berkepentingan ingin mengajak Muhammadiyah ke ranah politik praktis, dengan mereka yang ingin menjaga Muhammadiyah tetap berada di garis kultural juga sangat kuat,” jelasnya.
Masyarakat Islam, bukan Negara Islam
Mukadimah AD, menurutnya, dimaksudkan agar gerakan kultural Muhammadiyah dalam rangka perjuangan membangun masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Jadi misi yang dituju oleh Muhammadiyah bukan negara Islam tetapi masyarakat Islam.
“Karena masyarakat Islam pergerakannya adalah kultural. Nah ini sering disalahpahami oleh banyak orang. Muhammadiyah sebagi gerakan Islam yang tidak imbang antara amar makruf nahi mungkar. Atau dalam bahasa lain disebut Muhammadiyah nahi mungkarnya tidak terlalu menonjol,” terangnya.
Gerakan Muhammadiyah, ujarnya, dianggap lebih menonjol amar makrufnya dibandingkan dengan nahi mungkarnya. Sebagian orang merasa kurang puas dan dianggap terlalu mlempem, kurang tegas dan berbagai tuduhan lainnya.
“Itu terjadi karena mereka salah melihat atau pakai kacamata yang salah dalam melihat. Misalnya ada yang menginginkan Muhammadiyah itu tampil seperti gerakan Islam yang lain, yang lebih cespleng. Datang ke tempat-tempat maksiat sambil membawa pentungan atau pedang, kemudian membubarkan aktivitas yang dinilai munkar itu, seperti gerakan Islam lainnya,” urainya.
Dakwah Kiai Dahlan Berbingkai Kultural
Ketika melihat jejak perjuangan KH Ahmad Dahlan dan para penerusnya, ungkapnya, Muhammadiyah ini berjalan dalam bingkai kultural. Apa yang dilakukan Kiai Dahlan dan para penerusnya semuanya berbingkai kultural.
“Salah satu contoh bahwa ketika Kiai Dahlan melihat kemungkaran terjadi, anak-anak gelandangan dan anak-anak mengemis di Malioboro. Kiai Dahlan merasa itu adalah bentuk kemungkaran. Karenanya ia langsung perintahkan murid-muridnya yang sedang mengaji untuk membawa pulang anak-anak gelandangan ke rumahnya agar diberi sabun, pakaian dan yang lainnya layaknya manusia,” urainya.
Menurutnya apa yang dilakukan Kiai Dahlan adalah bentuk perjuangan lahir batin nahi mungkar. Tetapi apa yang dilakukan tidak gegap gempita seperti gerakan Islam yang lain yang datang membawa pentungan dan pedang menghadang siapa saja yang dianggap melakukan kemungkaran.
“Demikian juga ketika Kiai Dahlan menyaksikan banyak anak yatim yang tidak terurus, umat Islam yang terbelakang atau pendidikannya rendah. Lantas disediakan lembaga pendidikan yang kemudian yatim itu dirawat di lembaga pelayanan sosial. Itu adalah contoh nyata dari gerakan kultural yang dilakukan Muhammadiyah dalam mengatasi kemungkaran atau nahi mungkar,” ungkapnya.
Jadi, lanjutnya, di Muhammadiyah nahi mungkar dan amar makruf atau sebaliknya senantiasa berjalan seiring. Tidak ada yang dikatakan menonjol dan tidak menonjol.
“Karena begitu menyerukan amar makruf maka pada saat yang sama menghadang kemungkaran.
Memang tidak cespleng ketika itu. Apa yang menjadi problem umat langsung diatasi. Tetapi memerlukan waktu. Proses pendidikan dan pelayanan sosial memerlukan waktu,” tuturnya.
Wujudkan Dokter dan Perawat Perempuan
Termasuk, sambungnya, ketika Kiai Dahlan menyaksikan kemungkaran. Yakni ketika melihat ibu-ibu melahirkan di tolong oleh dokter atau perawat laki-laki.
“Kiai Dahlan lantas menyuruh anak-anak warga Muhammadiyah agar menyekolahkan putrinya menjadi perawat, bidan dan dokter. Agar wanita-wanita yang melahirkan nanti bisa ditolong oleh dokter, bidan atau perawat perempuan. Inilah cara yang ditempuh Kiai Dahlan beramar makruf nahi mungkar dalam bingkai kultural,” paparnya.
Sekali lagi, ungkapnya, apa yang dilakukan Muhammadiyah memang tidak tampak gegap-gempita. Secara politik tidak cukup menarik simpati media untuk dijadikan sebuah gerakan di tengah masyarakat. Tetapi kita tahu gerakan kultural itu hasilnya lebih nyata.
“Dan terbukti dengan cara-cara itu Muhammadiyah bisa bertahan hingga sekarang. Dengan demikian pimpinan Muhammadiyah, hemat saya, harus memahami strategi ini. Mukadimah Anggaran Dasar ini juga menyangkut aspek strategi bagaimana mencapai cita-cita yang diinginkan Muhammadiyah,” tegasnya.
Pimpinan Muhammadiyah harus paham strategi dakwah kultural (*)
Penulis Sugiran. Editor Mohammad Nurfatoni.