Tetap Tegak walau Tangan Terikat, Kreativitas Perlawanan, kolom ditulis oleh Ady Amar, pengamat masalah sosial-politik.
PWMU.CO – Kesedihan atas ditahannya Habib Rizieq Shihab (HRS), tidak bolehlah terlalu lama menggelayut. Itu tidak produktif. Rumah tahanan itu cuma sebagai satu episode perjalanan hidupnya.
HRS tahu konsekuensi dari apa yang diperjuangkan. Ia bisa disebut seseorang yang memilih takdirnya, jalan hidupnya. Itu pilihannya.
HRS ada di pusaran menjadi manusia bebas, manusia yang mengasingkan diri oleh keadaan—di Mekkah tiga setengah tahun—dan beberapa kali harus mendekam di balik jeruji tahanan.
Anak turunan dan pengikutnya, baik dalam Front Pembela Islam (FPI) maupun pecintanya yang tak terhitung jumlahnya, pastilah bangga menjadi bagian darinya. Bangga karena sang pemimpin di tahan bukan karena sangkutan kriminal.
Ulama dan pemimpin istiqamah semacamnya memang sudah langka, sudah sulit dicari padanannya. Ulama yang tidak silau oleh jabatan, harta, dan sejenisnya.
HRS tidak berbisnis, semacam ustadz lainnya dan lalu bermasalah, dimasalahkan oleh umatnya sendiri. Ia pyur hanya sebagai ulama, memilih hanya jalan dakwah. Maka tidak ada kepentingan duniawi yang lalu menyilaukannya. Tidak ada hak umat yang nyantol padanya.
Pilihan dakwahnya yang amar makruf nahi mungkar, itu memang terkesan lebih berat orientasi pada nahi mungkar. Katanya pada suatu ketika, yang amar makruf sudah banyak digarap oleh ormas lainnya, dan ia kebagian yang nahi mungkar.
Meski demikian, gerakan ormas yang didirikannya, FPI, selalu hadir jika terjadi bencana alam. Saat terjadi bencana alam, pastilah ormas itu hadir paling depan.
Membantu tidak saja kaum Muslimin, tapi non-Muslim pun merasakan bantuan kemanusiaan yang sama dari FPI. Tidak membedakan siapa yang mesti ditolong.
Kesaksian mereka yang merasakan bantuan moril dan materiil dari FPI saat bencana itu, jika ditulis dalam buku, maka berjilid-jilid ditulis tak habis-habis.
Kreativitas Perlawanan
Tangisan dan gundah gulana atas ditahannya HRS haruslah diakhiri. Tapi doa-doa umat untuknya tak mungkin putus dipanjatkan. Pembelaan atasnya akan terus diikhtiarkan selayaknya.
Tidak ada yang boleh berhenti membela dan mengikhtiarkan kebebasannya. Jika ada yang boleh dihentikan, maka hanya tangisan sajalah yang seharusnya disudahi.
Tangisan dan kemarahan lalu menjadi menarik, saat diikhtiarkan menjadi sesuatu. Itu adalah bentuk dari kreativitas perlawanan.
Maka muncul di media sosial kreativitas perlawanan yang ditampilkan dalam t-shirt dalam warna hitam dan putih, yang di bagian dada menyembul tangan HRS yang diangkatnya sedang terikat.
Wajah HRS sengaja tidak ditampakkan. Tapi hanya sedikit bagian sorban khas yang dikenakannya tampak menyembul bersama tangan yang terikat itu.
Pada bagian dada tertulis tulisan mencolok yang menghentak: “Tetap Tegak walau Tangan Terikat”. Sebuah simbol perlawanan tengah dimulai, dan itu lewat kreativitas.
Siapa yang bisa menahan atau melarang kreativitas dari anak-anak muda itu. Tak ada yang bisa melarangnya. Itulah bentuk “kreativitas perlawanan” tanda protes atas kesewenang-wenangan.
HRS lalu jadi simbol perlawanan itu sendiri. Kedua tangan yang terikat yang diangkatnya, sejatinya isyarat yang ditampakkan, bahwa perjuangan tidak boleh kendor apalagi berhenti.
Tangisan anak-anak muda yang mengidolakan HRS, itu pun bisa menjadi lahan bisnis baru, bisnis t-shirt. Memakainya tentu merupakan kebangaan tersendiri. (*)
Editor Mohammad Nurrfatoni.