Gajah Mada, Kapolda, dan Akhir Karier yang Mengenaskan oleh Sugeng Purwanto, Ketua Lembaga Informasi dan Komunikasi PWM Jawa Timur.
PWMU.CO– Nama Gajah Mada tiba-tiba mencuat. Penyebabnya Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Fadil Imran mempersonofikasikan dirinya sebagai Mahapatih Majapahit itu. Tugasnya memberantas preman.
”Preman ini merasa dirinya di atas itu, di atas hukum, bagaimana perasaan Anda kira-kira? Pastikan mau teriak tapi takut, nanti dianiaya, dikeroyok, keluarga kita diganggu, diancam. Tiba-tiba ada sosok satu orang namanya Gajah Mada datang kemudian berantem sama ini preman, preman ini terbunuh, kira-kira masyarakat ini senang enggak?” kata Fadil Imran di Mapolda Metro Jaya, Jumat (11/12/2020).
”Pasti seneng, terbebas dari narkoba, terbebas dari premanisme, terbebas dari caci maki hate speech yang dilakukan oleh preman kampung ini,” ujarnya.
Ya boleh saja dia mengidentitaskan diri sebagai sosok top dalam sejarah itu. Apalagi Bayangkara, nama pasukan pengawal raja Majapahit diambil oleh Kepolisian RI menjadi julukannya. Klop. Namun sebenarnya bagaimana sosok Mahapatih yang begitu populer dalam sejarah nasional ini?
Celengan Anak-anak
Jika kita ke Museum Majapahit di Trowulan, Mojokerto, ada beberapa artefak yang dipamerkan berupa celengan. Celengan itu bentuknya seperti gambar orang yang kita kenal sebagai wajah Gajah Mada dalam buku sejarah.
Mohammad Yamin adalah orang yang menyebut wajah yang mirip di celengan itu sebagai Gajah Mada. Tapi Yamin mendasarkan juga pada temuan potongan terakota kepala orang yang serupa itu di Puri Gajah Mada. Kalau diamat-amati wajah Gajah Mada yang divisualkan dalam buku sejarah itu malah mirip dengan lekuk karakter wajah Yamin sendiri.
Jangan-jangan dia begitu terobsesi dengan tokoh ini sehingga membayangkan dirinya tampil sebagai tokoh yang tersohor ini. Benar-benar menjadi idola tokoh sejarah. Mungkin juga Fadil Imran punya kemiripan dengan Yamin. Mengidentifikasikan diri sebagai perwira perkasa ini ketika menjadi jenderal di pasukan Bayangkara DKI Jakarta.
Simbol Pemersatu
Yamin juga yang menyusun sosok Patih Majapahit itu sebagai pemersatu bangsa saking kagumnya dia dengan Sumpah Palapa untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan seperti ditulis dalam kitab Pararaton.
Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa.
Artinya, jika telah kalah negeri asing (nusantara), aku akan hentikan puasa, setelah kalah Gurun, Seran, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah aku akan hentikan puasa.
Jika kita pahami makna kata yang dipilih dalam menyusun kalimat itu maka kita bisa tahu semangat Sumpah Palapa adalah mengalahkan kerajaan-kerajaan tetangganya. Bukan mempersatukan. Untuk mengalahkan, jalan yang ditempuh tentu saja perang.
Memang seperti itulah yang terjadi. Majapahit membangun kapal-kapal perang untuk memperkuat armada Angkatan Laut. Tujuannya merancang ekspedisi perang menggempur negara tetangganya. Penaklukan ini oleh Yamin ditafsirkan sebagai mempersatukan nusantara.
Gajah Mada oleh kalangan nasionalis dijadikan simbol pemersatu negara dan bangsa. Tak peduli dengan cara kekerasan, paksaan, dan mungkin saja preman. Tapi kalau itu dilakukan oleh negara menjadi legal. Sah. Apalagi zaman itu belum ada kampanye HAM.
Ketika sampai di Kerajaan Melayu di Tumasik (Singapura), pasukan Gajah Mada berhadapan dengan pasukan laut Melayu pimpinan Laksamana Hang Tuah. Kalau kita membaca buku sejarah Melayu, menurut versi ini, Hang Tuah berhasil memorak-porandakan pasukan dan kapal-kapal Majapahit dengan kesaktian keris Taming Sari.
Karena keperkasaan Hang Tuah maka Angkatan Laut RI mengambil namanya menjadi nama kapal perang. Hang Tuah pun menjadi pahlawan yang berhasil mengalahkan penaklukan pahlawan Gajah Mada. Kalau baca kisah ini tentu saja membingungkan. Karena ada pahlawan bertarung sesama pahlawan.
Jika kita menempatkan Gajah Mada sebagai tokoh pahlawan pemersatu negara dan bangsa, semestinya Hang Tuah diposisikan sebagai lawan. Musuh. Namun alur cerita pedalangan menjadi rusak karena Hang Tuah menjadi ikon kapal perang Angkatan Laut RI. Justru nama kapal perang untuk Gajah Mada belum ada. Yang ada malah Nala, asistennya.
Akhir Karier
Semangat penaklukan Mahapatih sang Perdana Menteri masih berkobar ketika Kerajaan Pajajaran datang membina hubungan bilateral dengan Majapahit. Hubungan itu diperkuat dengan ikatan perkawinan Raja Hayam Wuruk dengan Putri Dyah Pitaloka.
Perdana Menteri yang ambisius ini menjadikan peristiwa ini sebagai kesempatan menundukkan wilayah Pasundan. Perkawinan ini merupakan tanda Raja Pajajaran di bawah kendali Majapahit. Tentu saja Raja Pajajaran tersinggung dan membatalkan perjanjian. Diplomasi bilateral pun berantakan.
Bagi Majapahit, pembatalan ini sebagai penghinaan. Maka pasukan Bayangkara mengepung penginapan Raja Pajajaran di Lapangan Bubat di kawasan kraton. Terjadilah perang. Raja Pajajaran dan Putri Dyah Pitaloka tewas bersama pasukan pengawalnya.
Perang Bubat jadi skandal besar di Majapahit. Pembantaian tamu kerajaan. Raja Hayam Wuruk murka. Gajah Mada dicopot dari jabatannya. Lalu pasukan mengepung rumahnya untuk menangkap panglima ini.
Dalam Babad Gajah Mada, menceritakan kisah penangkapan ini dengan masih menjaga kehormatan sang Mahapatih. Akhir kariernya diceritakan dengan indah dan hormat. Dia disebutkan moksa. Menghilang menuju surga saat dikepung itu. Tidak ada cerita Gajah Mada dikeroyok, dipukuli, diborgol, digelandang ke ibukota. Apalagi jantungnya ditembus tombak. (*)
Editor Sugeng Purwanto