Puisi-Puisi Pembersih Hati ditulis oleh M. Anwar Djaelani, penikmat puisi serta aktif menulis artikel dan buku.
PWMU.CO – Buku berjudul Ribang Kala Aksa; Sekumpulan Puisi, tipis tapi sarat makna. Tema-tema di 68 halamannya ada di keseharian sejak di sepertiga malam akhir, pagi, siang, hingga jelang istirahat di malam hari. Pesan-pesan di buku terbitan 2020 ini bisa menjadi penerang hati dalam menyusuri “jalan pulang”.
Meski oleh si penulis, Samsudin Adlawi (SA), tak ditempatkan di urutan pertama, puisi Jalan Pulang Itu (h. 54) patut kita dahulukan. Dari spirit yang dibangunnya, kita terbekali energi positif dalam menjalani hidup ini.
Jalan Pulang Itu /sungguh, jalan pulang itu lurus/ dari sananya// kita saja yang membuatnya penuh/ kelok, menanjak, dan terjal// sungguh, bersegeralah temukan kembali/ jalan sesungguhnya// karena kita tak tahu kapan dan di jalan mana/ akan berhenti// dan tak bisa berjalan lagi/ selama-selamanya// jalan pulang itu lapang/ walau hanya selebar kain kafan// jalan pulang menjadi sempit dalam/ hati yang sakit//.
Dengan tema kuat, bahwa semua akan berpulang, puisi dengan pilihan kata sederhana itu tetap indah dan berdaya gugah. Pesannya menggetarkan dan mencerahkan. Menggetarkan, karena “/jalan pulang itu lapang/ walau hanya selebar kain kafan//. Mencerahkan dengan memberi ingat, bahwa “jalan pulang menjadi sempit dalam/ hati yang sakit//.
Agar memiliki hati sehat, SA mengajak untuk mengambil pelajaran dari apapun yang kita saksikan. Cermatilah berbagai potret kehidupan dalam sehari-semalam.
Di sepertiga malam akhir, jemputlah Sebutir Cahaya (h. 3). Bahwa /setiap hari/ aku bangun/ lebih pagi dari/ matahari// punguti embun/ kuteguk dalam zikir/ segegas-gegasnya// saat fajar pecah/ seekor angan/ datang mencuri/ inginku// ia selipkan di/ rerimbunan/awan putih//.
Lewat puisi di atas SA mengingatkan, meski kita telah berusaha mengawali kehidupan dengan berdekat-dekat bersama-Nya, tapi godaan hidup akan tetap ada. Bentuknya, iming-iming setinggi dan seelok awan. Maka, berhati–hatilah atas /seekor angan/ datang mencuri/ inginku//.
Tahajjud sudah, shalat subuh juga. Kini, bukalah kesaksian atas sekitar kita. Di antara yang segera tampak adalah berbagai potret perjuangan manusia dalam memelihara kehidupan.
Cermatilah, di pagi yang masih basah! Seseorang telah mulai Memanggul Beban (h. 66). /turun dari langgar/ aku berpapasan/ dengan puisi/ -subuh tadi// wajahnya sunyi sembunyi/ di balik juntai kangkung/ yang nyulur dari bibir keranjang di atas/ kepalanya// kakinya terus berayun merapal/ lelah/ di sepanjang jalan basah// desir angin pagi/ lenguh kendaraan/ tak bisa singkirkan/ nyanyian sunyi perut buah cintanya/ di rumah//.
Puisi di atas elok, kisah manusia yang berpagi-pagi menjemput rezeki demi sebuah tanggung-jawab. Memang, seberat apapun, kehidupan harus kita jalani sepenuh semangat. Terlebih, karena di setiap tantangan ada pelajaran yang membuat kita makin arif.
Sibaklah terus persoalan hidup. Lewat Dalam Asuhan Laut (h. 7-8), SA membuka kesadaran: /laut telah mengajarkan// hanya timangan ombak/ yang paling menidurkan// Bahtera siap menari di atas/ buaian laut//.
Pesan SA jelas: Bergeraklah, jangan takut kepada ujian karena bersama kesulitan ada kemudahan. Benar, “Hanya timangan ombak yang paling menidurkan”.
Cobaan itu tak terbilang. Siapa pernah menyangka akan “berkenalan” dengan korona? Siapa pernah mengira akan “bertemu” Covid-19?
Berkesaksianlah SA di Mengiba di Kaki Covid (h. 21). /berapa banyak/ nyawa dibawa/ bom atom pergi// hanya sehirosima/ senagasaki// lalu datang nuklir/ yang tak kunjung menyalak// Korea Utara dan Amerika/ hanya pintar/ bertukar gertak// nuklir beku dalam/ diam// Lalu/ tanpa suara/ tanpa aba-aba/ tanpa ledakan/ covid datang/ tumbangkan keangkuhan/ cincang kesombongan// yang digdaya tak bisa apa-apa// mengikat bendera putih di kepala// di kaki covid/ mengiba//.
Agar tak disapa korona, manusia berdoa. SA-pun mengingatkan tentang syarat terkabulnya doa. Bacalah Banjir Doa (h. 17). /karena korona/ langit bertaburan/ bunga-bunga doa// semua mengiba/ merayu Tuhan/ agar tak terjamah/ peluk rayu korona// sayang, duhai sayang/ berlaksa doa/ itu pulang/ tanpa ikutan// kembali ke pemiliknya/ dengan catatan kaki tebal/ warna merah tegas:/ langit itu bersih/ pantang bagi/ hati berlumur/ lumut dunia//.
Menghadapi situasi apapun, jangan pernah berburuk sangka kepada Allah. Di ujian korona, SA malah menemukan sisi positif. Bacalah Mengkat Kaki di Dalam Rumah (h. 23). /korona mengikat kaki kita/ di dalam rumah// surgamu di rumah bukan di luar sana// rumah pun mendadak masjid/ mendadak gereja mendadak pura/ mendadak vihara mendadak kelenteng// di rumah kita sembahyang/ bersama orang tersayang// di rumah kita bekerja/ ditemani ceria canda keluarga// rumah kita menjadi sekolah/ anak-anak belajar dalam peluk sayang/ ayah bunda// terima kasih karena kau sempurnakan/ ikatan tali keluarga kami//.
Jangan berburuk sangka! Segala sesuatu tergantung persangkaan kita. Resapilah, di Mana Korona di Mana Kita (h. 24). Kini, korona ada di mana-mana. /di cermin ada korona/ mirip sangat wajah kita//. Mari, ajak SA, /sapu paru-paru dan hati senantiasa/ tak ada sisa ruang korona semayam//.
Menjelang istirahat malam, bagus kita introspeksi. Simak Gars Tangan (h. 13-14). /garis tangan kita/ begitu luas dan dalam// saban hari kita arungi/ kita selami// Punguti ceceran/ mutiara kehidupan/ di dasar kegelapan//.
Pesan-pesan SA lewat rangkaian puisinya bisa kita pakai untuk bercermin, sebagai refleksi harian. Itu perlu, agar kita memiliki hati yang tak sakit, suatu kondisi yang berguna dalam menyiapkan “Jalan Pulang” yang lapang.
Alhasil, SA cakap menjadikan puisi-puisinya bisa meninggalkan jejak makna yang mendalam. Rasanya, jejak itu akan mengabadi di hati penikmat puisi. Mengabadi-saya pinjam metafora SA di halaman 39-seperti teh tinggalkan jejak rasa di lidah. Sementara, di antara petikan puisi SA yang potensial mengabadi, misalnya ini: /jalan pulang itu lapang/ walau hanya selebar kain kafan// jalan pulang menjadi sempit dalam/ hati yang sakit//. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Artikel ini adalah versi online Buletin Jumat Hanif Edisi 13 Tahun XXV, 18 Desember 2020/3 Jumadl Ula 1442.
Hanif versi cetak sejak 17 April 2020 tidak terbit karena pandemi Covid-19 masih membahayakan mobilitas fisik.