Republik? Ditulis oleh Daniel Mohammad Rosyid, Ketua Pendidikan Tinggi Dakwah Islam (PTDI) Jawa Timur.
PWMU.CO – Suatu pagi, Julius Caesar melalui balairung istananya melihat ke bawah ke plaza luas tempat warga Roma menikmati pagi sambil bercengkerama. Beberapa petinggi Romawi dan para senator juga tampak menikmati sinar matahari pagi itu.
Mata sang Kaisar kemudian terpaku pada seorang pengemis yang sedang tidur-tiduran berjemur menikmati sinar matahari tanpa mengindahkan siapapun yang lalu lalang di plaza yang luas itu. Sang Kaisar lalu memutuskan turun menemui pengemis tersebut.
Berdiri di dekat pengemis itu Kaisar bertanya, “Siapa namamu, wahai pengemis”.
“Namaku Diogenes Sang Anjing.”
Kaisar menimpali, “Aku Yulius Caesar, Kaisar Imperium Romawi.”
Merasa terganggu oleh bayang-bayang sang Kaisar sehingga sinar matahari terhalang menerpa tubuhnya. Diogenes pun menjawab, “Menyingkir dari sinar matahariku!!!”
Lalu sang Kaisar pun pergi tanpa marah sedikitpun.
Hilangnya Jiwa Republik
Itulah dialog antara wong cilik dan penguasa dalam sebuah Republik yang pernah dicita-citakan oleh Kaisar Marcus Aurelius dan diwasiatkan pada Maximus, Jenderal kesayangannya; bukan pada Comodus anak kandungnya sendiri.
Sejarah mencatat, Romawi adalah salah satu imperium terbesar dalam sejarah umat manusia. Kemundurannya sebagian karena semangat Republik yang digusur oleh semangat feodalisme kerajaan.
Kita pun mewarisi sebuah Republik dari para pendiri bangsa ini. Tapi jiwa Republik itu kini perlahan lenyap bersama hilangnya civil liberty and freedom ala Diogenes. Di Republik yang sakit ini, berbeda pendapat dengan penguasa bisa langsung ditangkap karena dituduh radikal, membuat kegaduhan, sakit hati, atau menghina penguasa.
Hukum dibuat dan ditafsirkan untuk kepentingan penguasa, bukan untuk kepentingan publik. Yang berlaku adalah rule by law bukan rule of law.
Sebuah Republik mensyaratkan birokrasi yang meritokratik yang bekerja secara profesional dan etis untuk melayani publik tanpa diskriminasi, bukan melayani kepentingan sesaat penguasa yang datang pergi.
Jika birokrasinya hanya melayani kepentingan elite, meminggirkan kepentingan publik, maka kehancuran Republik itu sedang dihitung mundur. (*)
Rosyid College of Arts
Gunung Anyar, Surabaya, 19 Desember 2020
Editor Mohammad Nurfatoni.