PWMU.CO – Muhammadiyah seperti anak-anak kitab putih. Hal tersebut disampaikan Yudi Latif PhD dalam Webinar dan Fachrodin Award, Sabtu (19/2/20).
Kegiatan virtual Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) Pimpinan Pusat Muhammadiyah tersebut mengambil tema Keteladanan Tokoh Lokal: Kontribusi Muhammadiyah Memajukan Negeri.
Membaca Sejarah dari Bawah
Dalam kesempatan tersebut, Yudi Latif mengapresiasi tinggi atas inisiatif Fachrodin Award setidaknya pada dua pertimbangan. “Pertama, award ini menggalakkan literasi di lingkungan Muhammadiyah yang juga secara luas di lingkungan keislaman, serta keindonesiaan,” ujarnya.
Kedua, sambungnya, dalam hal memperkuat tradisi literasi itu, juga diarahkan untuk usaha menumbuhkan kembali satu cara membaca sejarah dari bawah. “Karena selama ini kita terlalu banyak dibombardir cara membaca Indonesia dari atas. Dari Jakarta, dari orang-orang besar, seolah-olah sejarah itu isinya orang besar, the great man. Seolah-olah mereka yang berdarah-darah di akar rumput itu tidak punya peran,” ungkap Yudi Latif.
Kemarin, Yudi berseloroh di sosial media, ‘sekarang makin banyak orang Indonesia yang diakui menjadi tokoh paling berpengaruh di dunia’. “Makin banyak. Tapi pertanyaannya, apakah sungguh-sungguh membawa pengaruh bagi kehidupan sekitarnya, itu pertanyaan besar,” tanyanya.
Kitab Putih
Menurut Yudi, tulisan-tulisan yang diseleksi dalam Fachrodin Award ini, betul-betul menjungkirbalikkan cara kita melihat Indonesia, cara melihat sejarah dari bawah. Dan mungkin kita bisa datang dengan kesimpulan dan optimisme yang berbeda.
“Pertama saya apresiasi soal inisiatif memperkuat tradisi literasi, paling tidak di lingkungan Muhammadiyah. Karena seperti kita tahu, Muhammadiyah itu seperti anak-anak ‘kitab putih’. Kalau kita bayangkan dan persamakan itu kira-kira semacam ‘Protestannya Kristen’,” kata Yudi.
Yaitu, lanjutnya, mereka yang karena kalau orang dulu punya akses hanya pada manuskrip. Manuskrip itu hanya bisa dikuasai oleh segelintir orang. Dengan teknik cetak litografi hanya bisa diakses oleh segelintir orang.
“Oleh karena itu hanya sedikit orang membaca, yaitu kalangan elite-elite agamawan saja yang bisa membaca kitab itu. Padahal tadi perintah dalam ayat pertama itu kan perintah membaca. Artinya semua orang Islam itu harus rajin membaca,” papar Pria kelahiran Sukabumi, Jawa Barat itu.
Tradisi Literasi Barat
Nah, dengan adanya perubahan teknologi percetakan dari litografi ke tipografi, kemudian kitab-kitab itu mulai diproduksi dalam jumlah yang sangat luas. Karena kalau tidak mencetak luas, idle mesinnya.
“Dalam proses itulah kemudian terjadi proses pelipatgandaan memproduksi kitab-kitab, al-Quran, dan bacaan-bacaan yang lain. Nah itulah yang disebut dengan ketika manuskrip berubah menjadi buku yang accessable bagi kaum atau masyarakat awam , itulah yang kita sebut sebagai kitab putih,” tutur Yudi Latif.
Dalam tradisi Weberian, ungkap dia, kebiasaan orang-orang beragama yang tadi, mampu keluar dari jebakan manuskrip pada buku-buku yang terakses secara umum. Dan mulai, misalnya Bible yang sebelumnya hanya bisa dibaca segelintir elit agama, ketika itu direproduksi. “Terutama setelah bisa menciptakan mesin cetak itu, segera saja diproduksi Bible dalam bahasa-bahasa lokal. Akibatnya bahasa kitab suci itu akhirnya bisa diakses oleh banyak orang,” terangnya.
Di dalam sejarah kemajuan peradaban Eropa, kata dia, kebiasaan orang awam yang membaca Bible itulah yang merembes menjadi tradisi literasi yang kuat. “Terutama di lingkungan protestan yang men-drive kemajuan peradaban di barat itu,” ujarnya.
Pengondisian Membaca Kitab Suci
Hal ini, sambungnya, juga harus menjadi kesadaran, yang menjadi teka-teki besar juga. “Kenapa tradisi umat Islam membaca al-Quran, atau paling tidak membaca terjemahan al-Quran yang sudah dicetak secara luas itu oleh Kemenag dan lain-lain, terus kitab-kitab keagamaan ikutannya, kok tidak merembes menjadi tradisi literasi yang kuat di kalangan komunitas muslim. Apa yang terjadi?” tanya Yudi Latif.
Padahal justru, lanjutnya, pengondisian kita biasa membaca kitab suci itu harusnya basis untuk memperkuat literasi di berbagai bidang.
Dulu, kata dia, Muhammadiyah itu lahir dengan kepeloporan untuk meluaskan tradisi baca di lingkungan komunitas Islam. “Makanya jangan salah, dulu hampir semua orang yang sudah berpendidikan modern, mau Sukarno, Hatta, atau siapapun, itu lebih tertarik dengan Muhammadiyah karena Muhammadiyah menawarkan berbagai karya tulis yang mampu dibaca orang-orang berpendidikan modern ini,” terangnya.
Itu makanya dulu hampir sama semacam aksioma, orang dengan pendidikan modern Barat kalau mau aktif dalam keagamaan, pertama-tama mereka hanya bisa membaca kitab-kitab keagamaan yang disediakan tokoh-tokoh Muhammadiyah. “Maka secara tidak langsung kemudian mereka sangat bersimpati meskipun pasif itu menjadi pendukung Muhammadiyah itu,” terangnya.
Makanya, menurut Yudi, lulusan Stovia dan lain-lain itu seperti Tirto Adi Soerjo dan lain-lain, meskipun awalnya bukan dari kalangan agamawan, tapi begitu aktif di dalam pers kemudian terkoneksi dengan Sarekat Dagang Islam, ujungnya menjadi simpatisan Muhammadiyah.
“Jadi ini harus kita ingatkan. Tradisi literasi dan modernisasi itu bagian integral dari Kemuhammadiyahan,” tandas Yudi. (*)
Penulis Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni.